Senin, 23 Juli 2018

SEKULERISASI SEKOLAH


Sekulerisasi sekolah, adalah sepotong fragmen dari sekulerisasi kurikulum pendidikan nasional. Artinya, apa yang terjadi di sekolah sebenarnya adalah implementasi dari struktur kurikulum pendidikan nasional. Kurikulum pendidikan kita secara faktual telah mendesain “sekulerisasi” di sekolah. Minimalisasi pendidikan agama dalam struktur kurikulum pendidikan dasar hingga pendidikan tinggi adalah fakta empirik upaya sekulerisasi sekolah.
            Sekulerisasi sekolah memiliki implikasi buruk terhadap segala upaya menanamkan nilai-nilai keimanan dan ketaqwaan (imtaq), serta peningkatan budi pekerti siswa. Infiltrasi budaya global yang menyerbu negara kita melalui teknologi informasi, sebuah keniscayaan yang sulit untuk dicegah. Ada banyak budaya global yang masuk ke negara kita jauh dari nilai-nilai agama dan budaya nasional. Pornografi, konsumerisme, gaya hidup hedonisme, menyusup dengan cepat ke dalam gaya hidup masyarakat Indonesia, termasuk remaja.
            Berbagai fakta penyimpangan sosial yang dilakukan oleh siswa, dianggap kegagalan sekolah menanamkan nilai-nilai imtaq dan budi pekerti kepada peserta didik.  Kegagalan penanaman nilai-nilai imtaq dan budi pekerti, haruskah selalu disikapi dengan menambah alokasi waktu pelajaran agama dan menambah pelajaran budi pekerti dalam kurikulum pendidikan nasional? Kritik banyak pakar pendidikan bahwa kurikulum pendidikan nasional mulai dari tingkat dasar sampai menengah terlalu padat, mestinya menyadarkan kita bahwa kemungkinan menambah jam pelajaran agama dan memunculkan mata pelajaran budi pekerti bukan pilihan yang tepat.
            Yang menjadi pertanyaan bagi kita, sudahkah kita mengoptimalkan jam pelajaran agama yang ada dan mata pelajaran yang berpotensi menjadi pelajaran integratif  materi budi pekerti? Menambah jam pelajaran agama atau menambah mata pelajaran budi pekerti kelihatannya tidak mungkin dilakukan, karena struktur kurikulum kita yang over loud, kelebihan muatan. Optimalisasi pendekatan keagamaan dan budi pekerti melalui mata pelajaran yang telah ada adalah cara terbaik mengimbangi fenomena sekulerisasi dunia pendidikan.
            Kelemahan praksis pendidikan nasional yang lebih menekankan aspek kognitif dalam evaluasi, menjadikan parameter kualitas out come pendidikan hanya berpijak pada sisi kecerdasan kognitif (Intellectual  Quotient—IQ) . Banyak guru lupa bahwa ada tugas membentuk kecerdasan emosional ( Emotional Quotient –EQ) dan kecerdasan spiritual (Spiritual Quotient—SQ)  pada peserta didiknya. Ketiga macam kecerdasan manusia itu harus semuanya diasah, sehingga tumbuh pribadi-pribadi yang adaptif terhadap berbagai situasi. Sekolah diharapkan menjadi tempat tumbuhnya pribadi-pribadi yang cerdas intelektual, emosional, dan spiritual.
            Menanamkan kecerdasan intelektual, emosional, dan spiritual tidak cukup hanya dengan penjelasan verbal. Ide memunculkan pelajaran budi pekerti, akan bernasib sama dengan pelajaran lain yang hanya berisi teori-teori dan miskin implementasi. Sekulerisasi pendidikan hanya bisa diminimalisasi dengan pembelajaran yang berorientasi pada implementasi nilai-nilai agama dan budi pekerti. Semua guru mata pelajaran harus secara simultan dan sinergis mengintegrasikan nilai-nilai agama dan budi pekerti pada mata pelajarannya masing-masing.
            Penanaman nilai-nilai imtaq dan budi pekerti bukan hanya tanggung jawab guru agama, PKN, atau Bahasa Indonesia, namun semua guru harus menyisihkan waktu untuk menyisipkan nilai-nilai imtaq dan budi pekerti kepada peserta didiknya. Tanamkan nilai-nilai imtaq dan budi pekerti dengan tauladan dan pembelajaran pengalaman langsung. Satu contoh riel aplikasi nilai-nilai imtaq dan budi pekerti akan lebih bermakna daripada seribu kata-kata. Anak-anak dan remaja sekarang akan lebih memperhatikan tauladan daripada sekedar penjelasan verbal.
            Memang, idealisme sering tak paralel dengan kenyataan. Mengimplementasikan penanaman nilai-nilai imtaq dan budi pekerti di kelas kadang harus berbenturan dengan kebijakan kurikulum pendidikan yang menerapkan pencapaian target kurikulum. Guru diharuskan menyelesaikan materi sesuai program yang telah disusun. Dan, ini dapat menjadi alasan guru untuk menolak menyisipkan penanaman nilai-nilai imtaq dan budi pekerti, dengan alasan takut target kurikulum yang harus diselesaikan tidak tercapai.
            Perlu adanya kesamaan visi antara guru, kepala sekolah, dan pengawas sekolah dalam menerapkan integrasi imtaq dan budi pekerti ke dalam semua mata pelajaran. Hal ini bertujuan untuk menghindari perbedaan persepsi terhadap integrasi imtaq dan budi pekerti dalam mata pelajaran, khususnya ketika dilakukan supervisi oleh kepala sekolah atau pengawas sekolah, sehingga guru tidak dianggap melenceng dari skenario pembelajaran saat menyisipkan materi imtaq atau budi pekerti.
            Paradigma pendidikan nasional yang meletakkan nilai UNAS sebagai komponen sangat penting dalam penentuan keberhasilan siswa menenpuh pendidikan di tingkat satuan pendidikan turut memberi andil memperbesar dampak sekulerisasi pendidikan. Praktek kecurangan UNAS di banyak sekolah dapat mementahkan upaya penanaman nilai ketaqwaan, kejujuran, dan budi pekerti. Untuk mengejar target kelulusan maksimal, sekolah melakukan penambahan jam pelajaran, dan optimalisasi materi pelajaran sehingga guru lupa melakukankan tugas mendidik dan membangun karakter peserta didiknya.
            Jika kebijakan pendidikan nasional telah menciptakan sekulerisasi pendidikan, sekolah masih memiliki peluang untuk tetap dapat membentuk karakter peserta didik yang beriman, bertaqwa, dan berbudi pekerti melalui kebijakan lokal tingkat satuan pendidikan. Untuk menanamkan nilai budi pekerti tidak harus membentuk pelajaran budi pekerti. Menanamkan nilai budi pekerti bisa dimulai dari penyambutan siswa masuk sekolah dengan cium tangan pada guru, sehingga tumbuh rasa hormat pada guru.
            Spiritualisasi pendidikan adalah cara lain mengimbangi gejala sekulerisasi pendidikan. Peserta didik selalu ditanamkan kesadarannya bahwa setiap kerja manusia termasuk menuntut ilmu memiliki nilai dan implikasi ketuhanan.  Siswa disadarkan akan pentingnya “asal dan orientasi akhir” dari perjalanan pendidikan dan kehidupan, sehingga melahirkan konsep berpikir yang lebih spiritual bukan hanya materi.
            Degradasi imtaq dan budi pekerti yang terjadi pada peserta didik sebagai imbas sekulerisasi sekolah tidak dapat ditangani secara parsial, pihak sekolah semata (ansich). Pembentukan nilai-nilai imtaq dan budi pekerti juga harus dilakukan di rumah. Konsistensi antara penanaman nilai di sekolah dengan di rumah harus selalu terjaga. Karena jika salah satu pihak, baik sekolah maupun rumah, ada yang tidak konsisten dalam menanamkan nilai-nilai imtaq dan budi pekerti maka usaha sekeras apapun untuk menciptakan pribadi yang beriman, bertaqwa, dan berbudi pekerti yang baik, akan sia-sia belaka. (Wahyudi Oetomo)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar