Senin, 23 Juli 2018

SAMPAI KAPAN IPM INDONESIA TERPURUK?

Indeks Pembangunan Manusia  (IPM)/ Human Development Index (HDI)  Indonesia tiap tahun berfluktuasi, tapi pergeserannya berkutat di level rendah (ratusan). Sungguh ironi ditengah klaim keberhasilan pembangunan oleh Pemerintahan SBY.  Berdasarkan laporan terbaru, April 2012 (Media. Juni 2012), Indonesia menempati urutan ke 117 dari 177 negara yang disurvei. Peringkat Indonesia selalu kalah dari Malaysia, Thailand, Filipina, apalagi Brunai dan Singapura, kita jauh ketinggalan.
Indikator IPM meliputi tiga aspek pengukuran yaitu,  pembangunan kesehatan, pendidikan, dan ekonomi. Variabelnya  adalah rata-rata usia harapan hidup, rata-rata lama sekolah, dan pendapatan per kapita. Ketiga variabel dasar dalam menentukan IPM berkorelasi dengan indikator keberhasilan pembangunan secara makro. Sebuah daerah (propinsi) atau negara secara keseluruhan mustahil mengklaim pembangunannya berhasil bila IPM-nya rendah. Jika klaim keberhasilan pemerintah selama ini tidak paralel dengan meningkatnya nilai IPM yang disurvei oleh United Nations Development Programme (UNDP), maka klaim tersebut dianggap oleh publik sebagai pepesan kosong, sekedar pencitraan belaka.
Mestinya pemerintah harus lebih keras bekerja agar IPM kita kian meningkat yang menjadi indikasi peningkatan kesejahteraan penduduk negeri ini, dan tidak mengklaim bahwa pemerintah telah berhasil membawa penduduknya kian sejahtera sementara faktanya tingkat kesejahteraan penduduk kian menukik tajam, angka kemiskinan kian meningkat, angka harapan hidup kian rendah, rata-rata lama sekolah sekolah tambah turun, dan pendapatan perkapita semakin rendah.
Disparitas antar propinsi khususnya propinsi-propinsi yang berada di Papua dengan propinsi lain kian tajam. Misalnya, angka  tidak/belum pernah bersekolah di Papua ada 38,38 persen, dan di Papua Barat ada 10,96 persen (sensus penduduk 2010, BPS). Sebagai wilayah yang kaya akan sumber alam, mestinya fakta memilukan di Papua itu tidak boleh terjadi. Gejolak keamanan di wilayah Papua akhir-akhir ini juga turut menghambat peningkatan kualitas pembangunan manusia diwilayah tersebut, dan bisa jadi akibat disparitas hasil pembangunan menjadikan beberapa kelompok masyarakat di Papua ingin melepaskan diri dari Indonesia, karena dianggap pemerintah telah gagal mensejahterakan rakyat Papua, sementara sumber alam Papua sangat berlimpah, sungguh ironi.
Di sektor pendidikan, berdasarkan IPM Indonesia tahun 2011 memberikan kontribusi angka 0,584, artinya rata-rata lama sekolah 5,8 tahun diukur dari penduduk berusia 25 tahun ke atas. Jadi rata-rata penduduk Indonesia yang berusia 25 tahun ke atas di negeri ini pada tahun 2011 hanya berpendidikan SD kelas enam. Lagi-lagi ini adalah fakta yang menyedihkan.
Upaya pemerintah saat ini memang baru akan terhitung dalam IPM beberapa tahun yang akan datang. Untuk meningkatkan angka rata-rata lama sekolah pemerintah mencanangkan program wajib belajar 12 tahun, hingga sekolah menengah atas.  Upaya rintisan pemerintah untuk memperluas akses pendidikan hingga tingkat SMA dengan memberikan dana BOS di tingkat SMA perlu diapresiasi, meski jumlahnya masih sangat kecil yaitu sebesar Rp.125.000,- per siswa/tahun.
Upaya baik oleh pemerintah untuk memperluas akses belajar, yang berimplikasi untuk meningkatkan rata-rata lama belajar sering tidak seiring dengan kebijakan di tingkat unit pelaksana teknis, yakni sekolah. Sekolah, oleh publik, masih dianggap sebagai penghambat upaya perluasan akses wajib belajar. Sekolah dinilai banyak orang telah terjebak pada komersialisasi, dan menjadi tidak terjangkau oleh kelompok masyarakat tidak mampu. Ketika sekolah membebaskan uang SPP, dengan kompensasi dana BOS, biaya-biaya lain sebagai biaya personal tak mampu dibayar oleh orang tua siswa. Biaya seragam, buku, les, transport, ekstrakurikuler, uang gedung, dan biaya-biaya lain yang tidak terjangkau wali murid.
Jika indikasi keberhasilan sektor pendidikan hanya didasarkan pada IPM, dimana variabel penentunya untuk bidang pendidikan hanya rata-rata lama sekolah maka akan menjebak kita pada orientasi kuantitatif. Mestinya upaya peningkatan rata-rata lama sekolah juga dibarengi dengan upaya peningkatan pendidikan secara kualitatif. Berdasarkan survei Political and Economic Risk Consultant (PERC), kualitas pendidikan di Indonesia berada pada urutan ke-12 dari 12 negara di Asia. Posisi Indonesia berada di bawah Vietnam.
Persoalan peningkatan kualitas pendidikan adalah pekerjaan paling berat yang harus dibereskan oleh setiap pemerintah yang berkuasa. Orientasi pendidikan kita yang masih “orientasi kuantitas” harus mulai memberlakukan “orientasi kualitas”. Pemberdayaan sekolah secara konsisten harus dilakukan oleh pemerintah. Intervensi pemerintah yang terlalu dalam terhadap proses pembelajaran harus segera dikurangi. Ujian Nasional (UN) sebagai salah satu contoh intervensi pemerintah pada sistem evaluasi di sekolah harus ditinjau ulang. Manipulasi hasil UN di lapangan dinilai oleh banyak pengamat pendidikan sebagai biang kerok penurunan kualitas pendidikan kita.
Upaya meningkatkan IPM dari sektor kesehatan mesti diarahkan pada peningkatan kualitas pelayanan kesehatan masyarakat. Variabel sektor kesehatan dalam IPM adalah rata-rata usia harapan hidup, yang pada tahun 2011 69,4 tahun, masih tertinggal dari negara tetangga kita Malaysia, 74,2 tahun. Program pelayanan kesehatan terhadap keluarga miskin lewat Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas) dan Jaminan Persalinan (Jampersal) pada tahun 2012 ini pemerintah menganggarkan  Rp 7,4 triliun diharapkan menjadi pintu untuk meningkatkan angka rata-rata harapan hidup penduduk Indonesia. Jangan lagi muncul slogan lucu tapi menyakitkan yaitu “orang miskin dilarang sakit”. Slogan itu muncul atas keprihatinan masyarakat akan mahalnya biaya pelayanan kesehatan di negeri ini.
Peningkatan kualitas kesehatan masyarakat, sangat berkait erat dengan kemampuan ekonomi masyarakat. Pendapatan perkapita penduduk adalah indikator sektor ekonomi dalam IPM. Namun, ketika pendapatan perkapita dihitung dalam angka rata-rata sedangkan pemerataan ekonomi tidak merata di semua wilayah negeri ini, maka angka pendapatan perkapita masyarakat akan menjadi angka semu.
Jika pemerintah beritikat meningkatkan pendapatan perkapita penduduk, maka orientasinya adalah pemberdayaan sektor usaha mikro, kecil, menengah(UMKM), dan koperasi. Karena pelaku sektor tersebut angkanya relatif besar, berdasarkan publikasi Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Republik Indonesia berjumlah 51,3 juta unit usaha, sebuah angka yang cukup besar. Dan, sektor UMKM dan koperasi, selain jumlahnya besar juga daya tahannya terhadap krisis lebih kuat, sehingga pemberdayaan sektor ini lebih aman dan akan berimplikasi langsung pada peningkatan pendapatan masyarakat di lapisan menengah ke bawah.
Jika kita hanya mengandalkan pemerintah, dan masyarakat hanya berpangku tangan tanpa turut serta berperan secara gigih maka upaya berat untuk meningkatkan kualitas manusia indonesia (IPM) akan gagal total, Kita harus bersama-sama membangun negeri ini. Kita pasti akan bisa sejajar atau bahkan mengungguli negara lain. Semoga. (Wahyudi Oetomo)

Belajar Calistung Seraya Bermain


Saat kurikulum pendidikan sebuah lembaga pendidikan terlalu didikte oleh keinginan orang tua, sementara tuntatan dan keinginan orang tua bertentangan dengan konsep kurikulum baku yang terstandarisasi, maka lembaga pendidikan yang demikian tersebut telah menggadaikan  esensi pendidikan yang benar dengan “pemuasan” ambisi sebagian orang tua. Praktik penerapan materi membaca, menulis  dan berhitung (calistung) di Taman Kanak-kanak (TK) secara terstruktur dalam kurikulum pendidikannya adalah contoh bentuk pemaksaan lembaga pendidikan mengakomodasi ambisi orang tua meskipun lembaga pendidikan itu tahu bahwa penerapan Calistung di TK secara terstruktur tidak diperbolehkan.
            Mengacu pada surat edaran Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar Dan Menengah Nomor 1839/C.C2/TU/2009 perihal penyelenggaraan pendidikan Taman Kanak-Kanak dan Penerimaan Siswa Baru Sekolah Dasar, “ pengenalan membaca, menulis dan berhitung (calistung) dilakukan melalui pendekatan yang sesuai dengan tahap perkembangan anak. Oleh karena itu pendidikan di TK tidak diperkenankan mengajarkan materi calistung secara langsung sebagai pembelajaran sendiri-sendiri (fragmented) kepada anak-anak. Konteks pembelajaran calistung di TK hendaknya dilakukan dalam kerangka pengembangan seluruh aspek tumbuh kembang anak, dilakukan melalui pendekatan bermain, dan disesuaikan dengan tugas perkembangan anak. Menciptakan lingkungan yang kaya dengan “keaksaraan“ akan lebih mamacu kesiapan anak untuk memulai kegiatan calistung.”
            Fakta empirik di lapangan, banyak sekolah TK menerapkan materi calistung melampui bingkai yang dibenarkan dalam mengenalkan calistung. Standar pengajaran calistung di TK yang hanya pengenalan banyak terdefiasi menjadi pembelajaran terstruktur. Tidak dapat dipungkiri banyak orang tua ketika menyekolahkan anaknya ke TK memiliki harapan anaknya segera bisa calistung, sebuah niat yang tidak sejalan dengan standard kurikulum yang baku. Anehnya, penyelenggara TK pun mengamini keinginan orang tua itu dan mengabaikan standard kurikulum yang seharusnya diterapkan dalam kurikulum TK.
            Mengajarkan calistung di TK, tidak salah, selama berada pada koridor pengenalan melalui pendekatan bermain dan disesuaikan dengan perkembangan anak. Membiarkan  anak fase praoperasional (2-6 tahun), belajar menggunakan bahasa dan menggambarkan objek dengan imajinasi dan kata-kata melalui aktivitas bermain adalah pembelajaran yang sesuai dengan fase perkembangan kognitif anak TK.
            Memaksakan anak TK untuk belajar calistung secara terstruktur kita bisa analogikan dengan memaksa mangga yang dipetik sebelum matang kemudian kita karbit, pasti rasa mangga yang matang karena karbit dengan yang matang secara alami di pohon akan berbeda. Minimnya edukasi kepada orang tua tentang konsep pendidikan TK yang benar membuat kondisi salah kaprah ini akan terus terjadi. Sekolah TK “terpaksa” mengikuti selera orang tua karena mempertimbangkan nasib pengajar dan eksistensi lembaganya. Ketika sebuah  TK tidak memenuhi selera orang tua, maka TK tersebut akan ditinggalkan dan lama kelamaan TK tersebut akan tutup karena tidak memiliki murid.
            Keinginan orang tua terhadap kemampuan calistung anaknya di TK sering merupakan implikasi dari sebuah sistem kebijakan di sekolah dasar (SD). Meski dilarang, ada beberapa sekolah SD favorit menerapkan pola seleksi masuk dengan menitikberatkan kemampuan calistung pada calon peserta didiknya. Kebijakan ini jelas bertentangan dengan surat edaran Direktorat Jendral Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah yang melarang adanya tes masuk bagi calon peserta didik di SD.
            Sebuah fakta yang memperjelas bahwa terjadinya penyimpangan pembelajaran calistung di TK tidak bisa berdiri sendiri namun adalah implikasi sistem pendidikan di atasnya (SD) adalah kasus dikeluarkannya delapan murid SD yang terletak di Kecamatan Cibalang Garut baru-baru ini karena tidak bisa membaca. Terus,  tugasnya guru SD itu apa?
            Mendikbud saat melakukan sosialisasi Kurikulum 2013 di depan sekitar 350 rektor, pejabat Dinas Pendidikan, kepala sekolah, dan guru se-Jawa Tengah, memerintahkan kepada Kepala Dinas Pendidikan untuk melarang sekolah dasar melakukan tes calistung atau membaca, menulis, dan berhitung saat masuk SD. Menurut Mendikbud, idealnya seorang siswa yang masuk SD baru bisa membaca, menulis, dan berhitung, bukan diajarkan saat taman kanak-kanak.  Mendikbud mengatakan taman kanak-kanak seharusnya diisi siswa untuk bersosialisasi, bukan untuk belajar calistung. "Taman kanak-kanak itu bukan sekolah. Sebab, yang namanya sekolah adalah dimulai dari SD, dan seterusnya," katanya. Oleh karena itu, kata M. Nuh (Mendikbud), untuk mengurangi beban siswa dalam melakukan belajar, sebaiknya di TK tidak diajarkan calistung, dan calistung diajarkan saat kelas 1 SD. "Dalam Kurikulum 2013 beban siswa dalam belajar justru akan menjadi ringan," katanya.
            Saat instruksi Menteri Pendidikan tidak lagi menjadi acuan penyelenggaraan pendidikan di lapangan, maka praksis pendidikan di negeri ini akan kacau. Dengan dalih mengikuti perkembangan zaman, acuan penyelenggaraan pendidikan menjadi diacuhkan. Sekali lagi, di TK hanya diperbolehkan pengenalan calistung, karena perkembangan kognitifnya hanya mampu sebatas itu, bukan pembelajaran calistung terstruktur. Bila dijumpai peserta didik yang memiliki kemampuan di atas rata-rata, bisa karena memiliki kecerdasan lebih atau karena pengenalan lebih dini pembelajaran calistung oleh orang tua di rumah, dan jumlahnya mungkin  tidak banyak, tetap perlu ada perlakuan khusus. Anak-anak berkemampuan lebih tersebut memerlukan bimbingan terpisah agar pengenalan calistung bagi siswa yang lain tetap berjalan efektif.
            Kontradiksi pendapat tentang pengenalan calistung di TK mestinya tidak perlu diperdebatkan lagi. Kita semua (Kemdikbud, TK dan orang tua) harus memegang teguh konsep pelaksanaan pendidikan di TK yang  menganut prinsip: ”Bermain sambil Belajar dan Belajar seraya Bermain”. Memaksakan anak belajar di luar kemampuan kognitifnya sama artinya memaksa mematangkan buah yang belum waktunya. Biarlah anak tumbuh secara alami sesuai tahapan fase perkembangan kognitifnya ! (Wahyudi Oetomo)

Penggajian Berkeadilan dan Tidak Melanggar UU Guru dan Dosen


Semenjak guru menerima Tunjangan Profesi Guru (TPG), para guru kerap dibuat “olahraga jantung” oleh berbagai kabar “tidak jelas” mengenai TPG. Beberapa waktu yang lalu, para guru dibuat resah ketika ada kabar bahwa Uji Kompetensi Guru (UKG) yang akan dilaksanakan bulan Nopember berhubungan dengan penerimaan TPG. Kabar yang meresahkan terbaru di kalangan guru adalah akan diterapkannya sistem penggajian tunggal (single salary) yang membawa konsekuensi dihapuskannya TPG. Dalam sistem ini hanya ada 2 komponen gaji PNS yakni gaji pokok yang mencapai 75% dari total penghasilan serta capaian kinerja yang prosentasenya adalah 25%.
            Sebenarnya kabar pemberlakuan sistem penggajian tunggal telah santer terdengar pada awal tahun 2015. Namun, hingga usia tahun 2015 hampir berakhir rupanya pemerintah masih belum menerapkan aturan tersebut. Karena sistem penggajian tunggal merupakan amanat Undang-Undang Aparatur Sipil Negara (ASN) maka penerepan UU tersebut tinggal menunggu waktu. Apakah Kementerian Pendayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemenpan RB) akan menerapkan tahun 2016, belum ada informasi yang jelas. Mestinya pemerintah melalui Kemenpan RB harus menyosialisasikan kebijakan tersebut khususnya kepada PNS yang akan terkena dampak dari penerapan aturan tersebut. Jangan sampai ketika aturan tersebut mulai diterapkan muncul gelombang protes dari PNS guru sebagai salah satu pihak yang akan terkena dampak penerapan sistem penggajian tunggal. Jika selama ini PNS guru menerima TPG, maka saat sistem penggajian tunggal diterapkan tunjangan sertifikasi itu akan dihapus.
            Jika benar pemberlakuan sistem penggajian tunggal akan menghapus TPG dan take home pay PNS guru mengalami penurunan drastis pasti akan menimbulkan aksi penolakan dari para guru PNS yang jumlahnya sekitar 1,7 orang. Penulis khawatir aksi penolakan itu akan memicu gerakan mogok mengajar secara nasional, dan itu adalah implikasi serius yang harus diantisipasi oleh pemerintah sebelum merealisasi aturan penggajian tunggal. Jangan sampai tujuan pemerintah melalui Kemenpan RB untuk menerapkan sistem penggajian tunggal yang muaranya adalah agar PNS memberikan pelayanan secara optimal kepada masyarakat justru menjadi kontraproduktif akibat ada sebagian PNS justru merasa dirugikan akibat dari penerapan aturan tersebut.
            Proporsi komponen gaji pokok dan capaian kinerja bagi guru PNS tak begitu penting, karena yang terpenting bagi guru PNS jumlah uang yang mereka bawa pulang (take home pay) besarnya tidak kurang dari jumlah gaji mereka ditambah dengan satu kali gaji pokok. Pemberian tambahan TPG bagi guru yang telah lulus sertifikasi merupakan realisasi UU Guru dan Dosen. Saat muncul kebijakan baru, sementara UU yang lama masih berlaku dan memiliki kekuatan hukum dilaksanakan maka rentan muncul penolakan oleh guru PNS yang selama ini merasakan “nikmatnya” tambahan penghasilan melalui TPG.
            Niat baik pemerintah untuk mengapresiasi PNS yang memiliki kinerja baik dengan memberikan reward yang lebih besar daripada PNS yang malas tentu kita sambut positif. Demikian juga guru PNS, guru yang rajin dan berdedikasi tinggi akan mendapat penghargaan dalam bentuk penghasilan yang lebih dari pada guru yang jarang masuk, mengajar seenaknya, dan tak berprestasi. Mudah-mudahan aturan yang tengah disiapkan pemerintah berkaitan kebijakan penggajian tunggal, yang berangkat dari keinginan meningkatkan kualitas kinerja PNS tidak akan sedikitpun merugikan guru.
            Penulis sepakat jika PNS termasuk guru di dalamnya yang memiliki kinerja baik akan mendapat penghasilan lebih dalam bentuk tunjangan kinerja. Azas keadilan dalam penggajian adalah tuntutan terhadap peningkatan kualitas dan kinerja PNS. Gaji PNS yang rajin dengan yang malas mestinya memang harus berbeda. Bila selama ini antara yang rajin bekerja dengan yang rajin main catur di jam kerja gajinya sama saja. Saatnya pemerintah menghargainya PNS yang berkinerja baik.
            Kita respek terhadap sikat ketua PB PGRI Sulistyo selama ini memperjuangkan nasib guru agar kesejahteraannya lebih baik. Banyak statemen ketua PGRI yang memposisikan membela guru. Mudah-mudahan suara ketua PGRI ini masih di dengar oleh pemerintah sehingga aturan yang akan dikeluarkan oleh pemerintah tidak merugikan guru, aturan penggajian yang berkeadilan dan tidak melanggar UU Guru dan Gosen. Semoga ! (Wahyudi Oetomo)

Merekrut Guru Hebat untuk Kemajuan Bangsa

Berbagai terobosan baru dilakukan oleh perintah saat ini untuk memperbaiki semua aspek kehidupan bangsa ini untuk menuju Indonesia yang lebih baik. Salah satu yang akan dirubah adalah pola rekrutmen guru PNS.  Menurut Mendikbud Anies Baswedan, perlu ada reformasi dalam rekrutmen guru,  karena selama ini menurutnya rekrutmen guru begitu longgar, tanpa ada seleksi kompetensi.
            Meski baru sebatas lontaran pernyataan lisan oleh pejabat Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, namun karena yang berbicara adalah orang nomor satu di Kemdikbud dan diperkuat oleh Direktur Pendidik dan Tenaga Kependidikan (Dirdiktendik) Kemenristekdikti, Supriadi Rustad, tentang perubahan pola rekrutmen guru PNS layak kita anggap sebagai informasi akurat. Ini berarti, bagi sarjana kependidikan yang ingin diangkat menjadi PNS (Pegawai Negeri Sipil) wajib lulus program pendidikan profesi guru (PPG) yang wujudnya adalah praktik mengajar di daerah pedalaman, sama dengan program SM3T (Sarjana Mengajar di Daerah Terdepan, Terluar, dan Tertinggal), setelah mengikuti program mengajar di daerah pedalaman mereka akan diasramakan, total waktu yang diperlukan kedua kegiatan tersebut adalah dua tahun.
            Program guru mendidik di daerah pedalaman, adalah program yang tepat untuk menumbuhkan mental guru sejati, bukan sekedar guru biasa. Guru-guru muda yang mengikuti  praktik mengajar di pedalaman  akan diuji kecintaannya pada negara, komitmennya untuk memajukan bangsa melalui pendidikan. Jika guru-guru yang baru tumbuh dari guru-guru yang memiliki nasionalisme yang tinggi, maka akan lebih mudah membangun dunia pendidikan yang berkualitas.
            Selepas mengikuti program SM3T, guru-guru yang ingin menjadi PNS harus menjalani pendidikan yang diasramakan. Menurut penjelasan Dirdiktendik, Supriadi Rustad, “ketika masa pendidikan asrama, mereka bukan berarti enak-enakan saja. Calon guru pada tahap ini dilatih disiplin waktu yang ketat.” Negeri ini membutuhkan guru-guru yang cinta pada negerinya, sehingga memiliki kesungguhan untuk memajukan negeri ini melalui pendidikan, dan diimplementasikan dengan cara menjadi guru yang bertanggung jawab pada tugasnya. Pola perekrutan guru PNS melalui kombinasi program SM3T dan pendidikan asrama yang disiplin, diharapkan menghasilkan guru-guru hebat yang memiliki semua kompetensi yang dibutuhkan, kompetensi paedagogik, personal, maupun sosial.
            Sebagai sebuah terobosan baru dalam merekrut guru PNS, optimisme terhadap perbaikan kualitas pendidikan di masa depan harus dimunculkan saat pola  ini diterapkan. Namun begitu, ada beberapa hal yang mesti dicermati agar pola baru perekrutan guru PNS ini tidak sekedar bagus pada tataran teori namun tidak konsisten dalam implementasinya. Misalnya, saat program baru ini juga dijadikan sebagai pemetaan kebutuhan guru, maka guru-guru baru yang lolos dalam perekrutan harus bersedia ditempatkan di daerah pedalaman dalam jangka waktu tertentu, misal minimal lima tahun. Jangan sampai guru-guru baru itu hanya menjalani satu sampai dua tahun di pedalaman setelah itu  minta mutasi ke wilayah kabupaten/kota.
            Hal lain yang juga harus diperhatikan oleh pemerintah sebelum merekrut guru-guru baru adalah koordinasi antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah dalam hal formasi guru PNS di daerah. Jangan sampai calon-calon guru yang lolos dalam seleksi PPG, tidak terserap oleh pemerintah daerah karena  tidak ada formasi untuk mereka.
                Kebijakan pemerintah memberi kesempatan kepada sarjana non kependidikan untuk mengikuti seleksi PPG jangan sampai menimbulkan gejolak di kemudian hari. Jika Sarjana non kependidikan hanya diproyeksikan untuk guru produktif di SMK dan tidak kepada semua jurusan maka resiko penentangan dari mahasiswa jurusan kependidikan dapat diminimalisir. Tiga tahun silam puluhan mahasiswa Universitas Negeri Surabaya (UNESA) berdemo di gedung DRPD menolak sistem penerimaan guru melalui PPG yang memberikan kesempatan yang sama kepada sarjana kependidikan dan non kependidikan, dimana menurut mereka tidak adil.
            Kita semua berharap program baru untuk merekrut guru PNS dapat melahirkan guru-guru hebat yang memiliki komitmen untuk memajukan dunia pendidikan nasional. Guru sebagai komponen penting dalam upaya meningkat kualitas pendidikan sudah saatnya digawangi anak-anak bangsa yang hebat, cinta tanah airnya, dan memiliki seluruh kompetensi yang diperlukan oleh seorang guru. Anies Baswedan, Mendikbud, sepakat jika rekrutmen guru diperketat kita akan  mendapatkan guru-guru yang berkualitas. Semoga! (Wahyudi Oetomo)

Menumbuhkan Budi Pekerti Mencegah Kemerosotan Moral Bangsa


Bangsa kita yang terkenal dengan penduduknya yang ramah, santun, suka menolong, hormat pada orang yang lebih tua, toleran, dan sederet sifat yang lain sebagai refleksi bangsa yang berbudi pekerti luhur kini ditengarai  mulai mengalami kemerosotan budi pekerti. Kini, penduduk negeri ini kerap berprilaku sangat bringas, destruktif, egois, individualis, intoleran, tak lagi memiliki sopan santun pada orang yang lebih tua, dan  perilaku lain yang tak mencerminkan sebagai bangsa yang menjunjung tinggi  moral dan budi pekerti luhur. Jika melihat berbagai fakta kemerosotan budi pekerti  penduduk negeri ini maka penumbuhan kembali nilai-nilai luhur bangsa ini melalui penumbuhan budi pekerti di sekolah cukup urgen. Jika tidak, negeri ini terus akan terpuruk karena moral dan budi pekerti rakyatnya terus mengalami kemerosotan.
                   Tempat yang dianggap paling efektif untuk menumbuhkan budi pekerti di dada penduduk negeri ini dimulai di sekolah. Pencanangan program Penumbuhan Budi Pekerti (PBP)  oleh Mendikbud Anies Baswedan salah satu tujuannya adalah menumbuhkan budi pekerti anak bangsa. Menumbuhkan budi pekerti anak di sekolah melalui kegiatan nonkurikuler yang sederhana jelas adalah investasi yang tidak dapat dipetik seketika. Menumbuhkan budi pekerti bisa diibaratkan menanam pohon berusia tahunan, yang bisa kita rasakan buahnya setelah bertahun-tahun kita merawat dan menjaganya.
            Apa yang dicanangkan oleh Mendikbud tentang penumbuhan budi pekerti disekolah sejatinya bukan sesuatu yang baru. Pencanangan program PBP oleh Mendikbud  ini menurut penulis adalah upaya menciptakan momentum baru untuk menggugah kesadaran para praktisi pendidikan dan orang tua akan perlunya upaya terus menerus menumbuhkan budi pekerti peserta didik. Jika kita melihat lingkup kegiatan PBP beserta pengembangannya, terlihat sangat jelas bahwa tujuh hal dalam lingkup kegiatan PBP adalah kegiatan yang sudah biasa dilakukan di sekolah. Misalnya, kegiatan berdoa sebelum dan sesudah pelajaran, melaksanakan upacara bendera, belajar kelompok, pertemuan sekolah dengan orang tua, menggunakan 15 menit sebelum pelajaran untuk membaca buku selain buku mata pelajaran, membiasakan penggunakan sumber daya sekolah (air, listrik, telepon, dan lain-lain) secara efisien, dan mengadakan pameran karya siswa.
            Sebagai upaya menciptakan momentum agar upaya penumbuhan budi pekerti terus dilakukan oleh sekolah dan orang tua maka pencanangan PBP melalui Permendikbud No. 23 Tahun 2015 harus tetap disambut dengan positif dan optimis. Gerakan PBP di sekolah sejatinya telah dilakukan sejak lama dan bersifat rutin. Pertanyaan yang muncul, jika sekolah sudah sejak lama menerapkan PBP dan rutin, mengapa moral dan budi pekerti penduduk negeri ini kian hari terus mengalami kemerosotan? Apa yang salah dengan dunia pendidikan kita?
            Sekali lagi, gerakan penumbuhan budi pekerti adalah investasi jangka panjang. Hasil usaha penumbuhan budi pekerti baru bisa dilihat setelah melewati rangkaian proses yang panjang. Tahapan penumbuhan budi pekerti mengikuti alur : diajarkan – dibiasakan – dilatih konsisten – menjadi kebiasaan – menjadi karakter – menjadi budaya. Upaya penumbuhan budi pekerti yang berujung pada terbentuknya individu-individu berbudi pekerti baik tidak mungkin selesai di satu jenjang pendidikan. Untuk itu, mengukur keberhasilan PBP pada setiap jenjang pendidikan cukup mengukur proses. Pengawas sekolah bisa melakukan monitoring dan evaluasi proses berlangsungnya penumbuhan budi pekerti di sebuah sekolah.
            Untuk mengetahui apakah sebuah sekolah telah melaksanakan tujuh langkah upaya penumbuhan budi pekerti secara konsisten atau tidak, pengawas sekolah dapat melakukan visitasi “dadakan”  ke sekolah binaannya. Datanglah hari senin pagi untuk mengetahui sekolah tersebut rutin mengadakan upacara bendera atau tidak, budaya membuang sampah di tempatnya bisa diamati saat istirahat, untuk mengamati budaya baca lihatlah  volume peminjaman buku non pelajaran di perpustakaan. Menciptakan sekolah sebagai pusat pengajaran dan pusat pendidikan adalah tugas penyelenggara sekolah dan pengawas sekolah punya kewajiban menegur kepala sekolah jika proses penumbuhan budi pekerti sebagai bagian dari proses pendidikan peserta didik tidak berjalan optimal.
            Kita semua pasti sepakat bahwa upaya menumbuhkan budi pekerti yang baik dalam diri peserta didik perlu dilakukan secara sinergi antara sekolah dengan orang tua. Konsistensi penanaman nilai-nilai budi pekerti luhur antara sekolah dan orang tua harus terjaga. Jangan sampai usaha keras dari salah satu pihak untuk membentuk manusia yang berkarakter dan berbudaya baik dimentahkan oleh pihak yang lain. Orang tua perlu juga melakukan fungsi kontrol terhadap optimalisasi usaha sekolah dalam menumbuhkan budi perkerti. Akses orang tua bisa melalui pertemuan rutin antara sekolah dengan orang tua.
            Akhirnya, kita semua tahu bahwa semua sekolah di negeri ini pasti telah melakukan berbagai upaya untuk menumbuhkan budi pekerti peserta didiknya,  jauh sebelum terbitnya Permendiknas tentang PBP. Kehadiran Permendiknas tersebut, mari kita sambut dengan prasangka baik bahwa Mendikbud perlu momentum untuk mengingatkan sekolah dan orang tua bahwa penumbuhan budi pekerti adalah upaya terus menerus. Investasi jangka panjang ini akan kita petik di masa depan.
(Wahyudi Oetomo)

PEKERJA ANAK, PROBLEM KITA SEMUA

Semua anak di negeri ini adalah asset bangsa ini kelak di masa depan. Dan semuanya pasti sepakat bahwa seluruh anak di negeri ini harus tumbuh secara wajar dan sehat, secara fisik dan mental. Tak ada satu pun orang tua yang rela membiarkan anak-anaknya turut bertanggung jawab terhadap kebutuhan keluarga. Meski pada akhirnya sebagian orang tua “terpaksa” membiarkan anak-anak mereka turut membantu ekonomi keluarga karena ketidakmampuan orang tua memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga.
            Pekerja anak (child labour), merujuk pada pekerja  di bawah usia 18 tahun. Pekerja anak tumbuh karena ketidakmampuan orang tua memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga . Sebagian besar tumbuhnya pekerja anak karena faktor kemiskinan. Semakin besar jumlah pekerja anak di negeri ini. maka bisa menjadi indikasi bahwa  angka kemiskinan di negeri ini juga tinggi. Menurut data Komisi Nasional Perlindungan Anak, jumlah pekerja anak di Indonesia pada tahun 2010 sekitar 3,5 juta anak, sedangkan menurut data BPS ada sekitar 4 juta anak usia 7 sampai dengan 18 tahum terpaksa bekerja untuk memenuhi kebutuhan ekonomi keluarganya. Anak-anak pekerja tersebut terdapat diseluruh wilayah Indonesia, tersebar di daerah yang menjadi tempat pekerja seperti pelabuhan, industri, pertambangan, perkebunan, dan rumah tangga.
            Jika angka kemiskinan di negeri ini terus meningkat, maka upaya untuk mengurangi atau bahkan menghapus pekerja anak sangat sulit dilakukan (kalau tidak mau dikatakan mustahil). Tugas mengurangi dan menghapus pekerja anak  secara formal memang ada pada pemerintah, namun bila tidak didukung oleh pihak lain yang bersentuhan dengan persoalan pekerja anak, maka usaha ini akan sangat berat bagi pemerintah.
                Pada tahun 2011 ini, pemerintah menargetkan sebanyak 3.360 pekerja anak dapat ditarik dari tempat kerjanya. Menakertrans Muhaimin Iskandar dalam Rapat Kerja dengan Komisi IX DPR RI mengatakan: "Saya menyatakan warning kepada perusahaan dan orang tua yang memperkerjakan anak. Itu peringatan yang tegas, kami peringatkan sekali lagi,  siapa saja yang melanggar akan segera ditindak sesuai hukum yang berlaku.”
            Menurut Menakertrans, pemerintah berkomitmen untuk menghapus pekerja anak. Komitmen ini terlihat dengan diratifikasinya kedua Konvensi ILO (Organisasi Buruh Internasional) Nomor 138 mengenai Usia Minimum untuk diperbolehkan Bekerja dan Nomor 182 mengenai Pelarangan dan Tindakan segera penghapusan Bentuk-bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak. Selain itu isi substansi tehnis kedua Konvensi ILO terdapat pada Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Oleh  karena itu, para pelanggar bisa dijerat Undang-undang Ketenagakerjaan (UU No. 13 Tahun 2003) dan UU tentang Ratifikasi Konvensi ILO pada Pekerjaan terburuk untuk anak (UU No.20 Tahun 1999 dan UU No 1. Tahun 2000) atau UU Kekerasan Dalam Rumah Tangga.
            Lalu, apakah sekedar memberikan warning kepada perusahan dan orang tua dengan ancaman hukuman yang berat persoalan pekerja anak dengan mudah dapat diselesaikan? Jika tumbuhnya pekerja anak hanya sekedar mengeksploitasi anak untuk memperoleh kepentingan ekonomi, karena upah pekerja anak jauh lebih  murah dari pekerja dewasa, maka memberantas pekerja anak akan mudah dilakukan. Tapi, jika tumbuhnya pekerja anak karena tuntutan pemenuhan kebutuhan perut, maka persoalan pekerja anak tidak cukup diselesaikan dengan cara memberikan peringatan dan ancaman kepada perusahaan dan orang tua yang mendorong praktik pekerja anak.
            Saat orang tua tidak punya pilihan untuk memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga selain memperkerjakan anak adalah memperdagangkan anak (Child trafficking). Kedua bentuk eksploitasi anak tersebut semestinya memang harus dihentikan. Alasan kemiskinan bukan pembenaran untuk mengeksploitasi anak, sehingga masa depannya akan gelap, terutama karena anak-anak tersebut tidak punya kesempatan untuk mengenyam pendidikan yang baik.
            Melakukan penyadaran mengenai pentingnya memberikan ruang tumbuh dan berkembang bagi anak secara sehat dan wajar, kepada orang tua yang berasal dari keluarga miskin harus senantiasa dilakukan oleh pemerintah melalui dinas terkait, atau oleh lembaga swadaya masyarakat, agar anak tumbuh menjadi pribadi yang sehat, mandiri, dan trampil tanpa harus menjadi pekerja anak.
            Upaya penting mengurangi semakin meningkatnya jumlah pekerja anak di negeri ini adalah melalui sentuhan dunia pendidikan. Dunia sekolah melalui guru dapat secara intens memberikan pemahaman khususnya kepada peserta didik yang berasal dari keluarga tidak mampu agar selalu tetap memelihara semangat untuk bersekolah. Sekolah harus selalu mengupayakan agar peserta didik tidak putus sekolah, terutama karena alasan ketidakmampuan membayar biaya sekolah.
            Penanaman kesadaran kepada orang tua agar tidak memaksakan anak turut menanggung beban ekonomi keluarga harus dilakukan secara intens lewat penyuluhan secara berkala di kantong-kantong kemiskinan, ini bisa dilakukan oleh pemerintah melalui dinas sosial, atau oleh komisi perlindungan anak. Pelibatan lembaga swadaya masyarakat yang concern pada penyelamatan masa depan anak juga harus dilakukan. Meskipun upaya menghapus praktik pekerja anak sama sekali adalah pekerjaan mustahil selama kemiskinan mendera sebagian masyarakat kita, namun upaya untuk mengurangi angka pekerja anak di negeri ini harus tetap dilakukan dengan sekuat tenaga. Semua anak di negeri ini harus tumbuh dan berkembang secara wajar, dan memperoleh layanan pendidikan yang optimal. Upaya ini harus dilakukan oleh kita semua, karena masalah pekerja anak adalah masalah kita semua. (Wahyudi Oetomo)

ALASAN GURU MENGAJUKAN PENSIUN DINI HANYA SEKEDAR UANG?


Saat banyak anak muda mulai mendambakan berprofesi sebagai guru, ada fenomena ”aneh” di kalangan guru-guru senior, yaitu semakin meningkatnya guru yang mengajukan pensiun dini. Di Jawa Timur saja ada sekitar 300-an guru pada bulan Maret hingga April 2015 mengajukan pensiun dini ke pemerintah. Kesempatan yang dibuka oleh KemenPAN-RB  kepada PNS untuk mengajukan pensiun dini bagi yang sudah memiliki masa kerja minimal 25 tahun, demi kepentingan efisiensi anggaran dan kinerja birokrasi ternyata pada tataran implementasi tidak mudah dilakukan. Dengan alasan di beberapa daerah masih kekurangan guru, maka pengajuan pensiun dini oleh beberapa guru ditolak pemerintah, seperti di Jawa Timur.
            Fenonema pengajuan pensiun dini di kalangan guru sungguh pasti mengundang banyak tanya. Saat kesejahteraan guru kian meningkat sejalan dengan diberlakukannya program sertifikasi guru, ada yang aneh ketika para guru yang mengalami peningkatan kesejahteraan itu lalu memilih untuk mengajukan pensiun dini.  Ketika ada yang beralasan ingin berwirausaha dengan modal hasil sertifikasi, rasanya alasan itu terlalu pragmatis dan sangat merendahkan profesi guru karena profesi guru hanya dijadikan sarana untuk mencari uang banyak, setelah terkumpul banyak lalu ditinggallah profesi itu.
            Guru-guru yang telah melewati masa kerja 25 tahun tentulah bukan guru yang kebetulan, juga bukan guru-guru “instan”, guru-guru yang telah melewati masa kerja 25 tahun tentulah bukan guru-guru materialistis, karena pasti mereka berangkat dari gaji kecil, dan mereka menjalaninya bertahun-tahun. Pasti akan sangat menyakitkan bila guru-guru senior itu divonis hanya berorientasi materi ketika menjadi seorang guru. Jika guru-guru itu materialistis tentulah tidak akan meninggalkan profesi sebagai guru, apalagi mereka adalah guru yang sudah sertifikasi.  Dana sertfiifikasi yang mereka terima tiap tiga bulan sekali adalah pendapatan pasti, belum tentu jumlah nominal yang sama akan mereka peroleh bila beralih sebagai wirausahawan, apalagi mereka belum punya pengalaman sebagai seorang wirausahawan.
            Perlu ada kajian dan penelitian yang shahih untuk menjawab secara pas mengapa banyak guru senior lebih memilih mengajukan pensiun dini daripada terus menjadi seorang guru dengan tunjangan sertifikasi. Kita semua mungkin sepakat bahwa itikat pemerintah untuk memberikan tunjangan sertifikasi adalah sebagian cara meningkatkan kesejahteraan guru, yang diharapkan dapat meningkatkan kinerjanya dan lebih fokus menjalankan tugasnya. Namun, yang terjadi di lapangan justru kerap membuat suasana di tempat kerja kurang kondusif. Jumlah jam mengajar minimal 24 jam seminggu  sering  menimbulkan konflik antar guru. Ada sebagian guru harus mencari tambahan jam mengajar di sekolah yang lain, dan ini bagi sebagian guru bukan kondisi yang nyaman. Mungkin saja ini menjadi salah satu penyebab bagi sebagian guru memilih mengajukan pensiun dini daripada membuat repot mereka.
            Dugaan penyebab yang lain fenomena pengajuan pensiun dini di kalangan guru adalah penerapan penilaian kinerja guru (PKG). Penilaian kinerja guru bagi sebagian guru juga dianggap merepotkan. Tahapan penilaian kinerja guru mulai dari tahap sebelum pengamatan, selama pengamatan, hingga setelah pengamatan bagi beberapa guru  yang tidak terbiasa diobservasi atau disupervisi adalah momen yang menegangkan. Penilaian kinerja guru dilaksanakan untuk mewujudkan guru yang profesional, namun bagi sebagian guru dianggap menyulitkan guru.  Integrasi antara PKG dengan penghitungan nilai angka kredit guru atas kinerja pembelajaran, pembimbingan, atau pelaksanaan tugas tambahan yang relevan untuk kenaikan pangkat dan jabatan fungsionalnya telah membuat sebagian guru berfikir bahwa untuk naik pangkat saja terlalu banyak prosedur yang harus dilalui oleh seorang guru, lalu mereka akan membandingkan dengan pegawai negeri lain yang bisa naik tanpa melalui prosedur yang rumit.
            Saat bertahun-tahun guru tidak merasa nyaman dengan apa yang dialami maka ketika ada peluang untuk mengajukan pensiun dini maka kesempatan itu akan diambil. Jangan katakan pada guru-guru yang mengajukan pensiun dini itu tidak punya idealisme. Bila yang mengatakan itu adalah pejabat pemerintah di lingkungan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mestinya perlu introspeksi mengapa mulai banyak guru merasa jenuh menjadi guru disaat guru memperoleh pendapatan yang lumayan besar.
Kerap guru harus mengalah dengan sistem dan guru tidak punya keberanian untuk melawannya meskipun bertentangan dengan idealismenya. Ini juga mungkin menjadi penyebab mulai banyak guru mengajukan pensiun dini. Ada banyak guru yang tak mampu mengelak dari tuntutan sistem karena resikonya terlalu besar jika melawan arus, mereka akhirnya memilih patuh. Dengan dalih prestise sekolah dan tekanan penguasa banyak guru terpaksa tunduk pada praktik “kotor” dalam pelaksanaan ujian nasional. Ketika ada peluang untuk mengakhiri itu semua dengan cara mengajukan pensiun dini, maka ditempuhlah jalan itu.
            Jangan buru-buru menuduh pada guru-guru yang mengajukan pensiun dini adalah guru-guru yang tidak punya idealisme dan hanya berorientasi materi. Kita boleh memvonis guru-guru tersebut tidak pantas menjadi guru bila terbukti alasan mereka mengajukan pensiun dini karena ingin berwirausaha bermodalkan uang hasil sertifikasi. Namun, bila bukan itu alasannya tapi karena jenuh dengan sistem yang ada dan membuat mereka tidak bisa berkembang dalam karir dan jabatan, serta karena tidak tahannya para guru itu  terhadap berbagai praktik kotor yang terjadi di sekitar lingkungan kerjanya, maka ada yang perlu diperbaiki dengan sistem yang bersentuhan dengan aktivitas guru sebagai sebuah profesi. Menuntut guru profesional dalam tugasnya adalah kewajiban negara, namun membebani guru terlalu berlebihan dengan tuntutan yang sulit dilaksanakan oleh guru juga tidak bijak. (Wahyudi Oetomo)

Membangun Generasi Cerdas Komprehensif

Ibarat generasi emas Indonesia adalah sebuah busana kebesaran yang kelak akan dipakai menjadi busana kebangggaan, saat ini kita tengah merendanya menjadi busana yang indah. Sebuah pekerjaan yang tidak ringan, dan cukup banyak pernak-pernik yang harus disiapkan dalam rangka mencetak generasi emas Indonesia.
            Dalam sambutan memperingati hari pendidikan nasional 2014, Mendikbud, M. Nuh, menyampaikan: “Insya Allah, melalui kurikulum 2013, anak-anak kita akan memiliki kompetensi utuh yang mencakup sikap, pengetahuan, dan keterampilan. Itu semua kita lakukan dalam rangka mempersiapkan generasi emas, yaitu generasi yang kreatif, inovatif, produktif, mampu berpikir orde tinggi, berkarakter, serta cinta dan bangga menjadi bangsa Indonesia, Dengan generasi emas itulah, kita bangun peradaban Indonesia yang unggul, menuju kejayaan Indonesia 2045.”
                Di tengah kontroversi pemberlakuan kurikulum 2013, ternyata bagian penting dari bangunan pendidikan nasional, yakni kurikulum 2013 diletakkan sebagai bagian yang sangat sentral dalam mempersiapkan generasi emas. Kurikulum 2013 yang menurut sebagian pemerhati pendidikan terlalu dipaksakan untuk diterapkan pada tahun pelajaran yang akan datang (2014/2015) telah dianggap sebagai sarana ideal untuk menyiapkan generasi yang unggul.
            Investasi sumber daya manusia (SDM) adalah investasi jangka panjang. Membangun generasi emas di masa depan, sebagai bentuk investasi SDM jangka panjang, dibangun melalui dunia pendidikan yang bermutu. Jangan pernah bermimpi membangun generasi emas yang cerdas komprehensif di masa depan bila kualitas pendidikan nasional masih termarjinalisasi oleh paradigma pendidikan yang berorientasi kuantitas. Bila insan pendidikan beserta pemangku kepentingannya lebih bangga akan kelulusan seratus persen dari pada mengedepankan kejujuran, maka obsesi membangun generasi emas yang cerdas komprehensif hanyalah fatamorgana.
            Harapan membentuk generasi emas melalui grand design pendidikan, yang menekankan pada pendidikan dasar berkualitas dan merata, tentu saja harus tetap ditumbuhkan. Bonus demografi, yakni jumlah penduduk usia produktif yang lebih tinggi dibandingkan jumlah usia anak-anak dan orang tua  pada tahun 2045, akan menjadi bonus yang memiliki nilai tambah jika desain pendidikan nasional mampu membangun generasi yang saat ini masih berada di rentang usia 0 – 20 tahun  menjadi generasi unggul. Namun, bonus itu justru jadi beban bila dunia pendidikan kita tidak mampu mengantarkan generasi “bonus” itu menjadi generasi cerdas komprehensif. Pendidikan yang mencerdaskan sikap, pengetahuan, dan keterampilan yang kini sedang dibangun oleh Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) untuk merealisasikan generasi emas di tahun 2045, sebagai hadiah ulang tahun ke-100 kemerdekaan RI.
            Dinamika dunia pendidikan dua tahun terakhir, sebagai bagian merenda generasi emas, secara objektif sebagian orang mungkin kehilangan optimisme. Berbagai peristiwa dalam dunia pendidikan belakangan ini mendegradasi optimisme itu. Kasus kebocoran soal UN, perkelahian pelajar, kekerasan di sekolah, pelecehan seksual di sekolah, pemalsuan ijazah, penjiplakan karya ilmiah, korupsi dana BOS, penolakan penerapan kurikulum baru, dan beberapa peristiwa lain yang kurang lebih memiliki “rasa” yang sama.
            Jika obsesi merenda generasi emas benar-benar ingin diwujudkan, pemerintah melalui Kemdikbud harus melakukan langkah frontal yang bermuara pada peningkatan kualitas pendidikan. Langkah pertama, menyusun kurikulum yang mengakomodasi kebutuhan siswa yang menguasai kompetensi sikap, pengetahuan, dan keterampilan. Bukan kurikulum yang ganti menteri ganti kurikulum. Kurikulum yang hebat tak akan banyak bermakna bila guru pelaksana di lapangan bukan guru-guru hebat yang berkualitas. Kemdikbud memiliki kewajiban merekrut guru-guru yang berkualitas untuk mengantar generasi emas yang kita diimpikan. Langkah lain yang harus juga dilakukan oleh Kemdikbud adalah menghilangkan praktik-praktik kontraproduktif terhadap peningkatan kualitas pendidikan. Misalnya, penghapusan Ujian Nasional, atau dibiarkan tetap ada namun hanya sebagai alat pemetaan kualitas pendidikan nasional.
            Membebankan upaya menciptakan generasi emas yang cerdas komprehensif hanya kepada pemerintah melalui Kemdikbud sangat tidak adil. Upaya merenda generasi emas melalui peningkatan kualitas pendidikan harus juga dipikul oleh masyarakat dan orang tua. Kontribusi masyarakat dan orang tua bisa dalam bentuk kontribusi apa saja yang penting muaranya memberikan efek stimulasi pada peningkatan kualitas pendidikan, baik formal maupun informal.
            Akhirnya, kita berharap grand desaign yang telah dibangun oleh pemerintahan yang sekarang (era Presiden SBY), sebagai desain jangka panjang tidak serta merta diganti total oleh pemerintahan yang baru. Penyesuaian tetap perlu dilakukan agar seirama dengan visi pemerintahan yang baru, namun  kita berharap road map pendidikan jangka panjang yang konsisten tetap harus kita miliki. (Wahyudi Oetomo)

MENGEMBALIKAN PANCASILA KE SEKOLAH, MENGAPA TIDAK?


Di manakah kini Pancasila berada? Pancasila telah hilang? Maraknya  radikalisme dan kekerasan atas nama suku, agama, ras, budaya dan kian kronisnya korupsi diyakini oleh sebagian orang diakibatkan oleh kian dilupakannya Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara .
            Orde reformasi, memunculkan euforia pada saat itu, dan simbol-simbol orde baru dianggap sebagai bahaya laten yang mesti dikubur dalam-dalam, dan Pancasila ikut dipinggirkan dalam dialektika kehidupan berbangsa. Pancasila pun dalam pendidikan nasional dikikis keberadaannya. Pendidikan Moral Pancasila (PMP), sebagai sebuah mata pelajaran berubah nama menjadi Pendidikan Kewarganegaraan (PKN) tanpa ada embel-embel Pancasila-nya.
Namun, saat reformasi tak mampu memenuhi obsesi sebagian besar masyarakat berupa kesejahteraan dan keamanan, kini banyak orang merindukan masa-masa ketika masa orde baru. Masyarakat semakin muak dengan tontonan kekerasan di media massa berbalut ras, suku, agama, dan budaya. Degradasi nilai-nilai karakter bangsa telah demikian tajam menggejala di sebagian besar masyarakat kita.  Tengok saja tayangan televisi, bentrok antar kampung, peperangan antar suku, tawuran antar pelajar, tawuran antar mahasiswa, pengeboman tempat ibadah, saling hujat antar elit politik, dan kasus korupsi menjadi menu yang tak pernah sepi di layar kaca.
Lalu kemanakah karakter asli bangsa ini? Karakter penduduk Indonesia yang berbudi pekerti luhur, suka menolong, ramah-tamah, sopan-santun, toleransi, dan agamis telah ditelan bumi?  Membiarkan negeri ini terus-menerus dalam kondisi kehilangan karakter aslinya ini akan membuat negeri ini kian terpuruk, bahkan bisa jadi negeri ini akan tercerai-berai. Harus ada gerakan massif untuk menumbuhkan kembali karakter asli bangsa ini yang mulai hilang tergerus oleh pusaran arus zaman.
Dalam kurikulum pendidikan saat ini gencar disosialisasikan penyisipan (integrasi) karakter bangsa pada seluruh mata pelajaran di sekolah. Dunia pendidikan masih dipandang sebagai medium paling efektif untuk menumbuhkan kembali karakter bangsa yang perlahan tapi pasti mulai hilang dalam relung hati penduduk negeri ini. Lalu, apakah cara reaktualisasi karakter bangsa cukup efektif lewat integrasi pada seluruh mata pelajaran yang diajarkan mulai pendidikan dasar hingga menengah atas?
Kenapa tidak memilih cara menghidupkan kembali nilai-nilai budaya bangsa lewat mengembalikan format pendidikan kewarganegaraan ke pendidikan moral Pancasila? Menurut survey Biro Pusat Statistik (BPS) sekitar 80 persen masyarakat melihat Pancasila sebagai sesuatu yang dibutuhkan dan masyarakat menyadari Pancasila merupakan pilar kehidupan berbangsa dan bernegara. Mantan Presiden BJ. Habibie, dalam pidato Peringatan Hari Pancasila di  Jakarta, (1 Juni 2011)  sepakat jika akhirnya pemerintah  mengembalikan Pancasila ke sekolah.
Bagaimana format yang pas mengembalikan Pancasila ke sekolah terserah Kementerian Pendidikan Nasional (Kemendiknas). Bisa mengembalikan pelajaran kewarganegaraan menjadi PMP, bisa juga diintegrasikan kepada mata pelajaran yang ada, atau dalam bentuk muatan lokal. Harus ada kajian yang betul-betul dalam mengenai format penyajian pendidikan pancasila dalam semua jenjang pendidikan. Karena jika tidak, penanaman nilai-nilai pancasila hanya akan menjadi teori-teori verbal yang tidak pernah bersemayam dalam jiwa peserta didik.
Pendidikan Moral Pancasila (PMP) dan penataran P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila), tereleminasi dalam konten pendidikan nasional di era reformasi karena dipandang sebagai bagian simbol orde baru. Untung saja setiap upacara bendera hari senin, teks Pancasila masih dikumandangkan, sehingga anak-anak kita masih mendengar kata Pancasila dan sila-silanya. Saat orde reformasi tak mampu mewujudkan mimpi banyak rakyat akan kesejahteraan dan keamanan, banyak orang merindukan masa-masa orde baru, termasuk sebagian orang menginginkan agar Pancasila kembali diajarkan di sekolah. Keinginan itu didasarkan pada fakta kian hilangnya karakter asli bangsa ini tergerus pusaran waktu dan gempuran budaya asing.
Saat bangsa ini mulai kehilangan karakter aslinya Kemendiknas secara gencar mensosialisasi pengintegrasian nilai-nilai karakter bangsa dalam semua mata pelajaran di semua jenjang pendidikan. Kurikulum pendidikan kita sering diwarnai munculnya program dadakan yang tidak terkonsep secara matang dan instan. Beberapa tahun silam pernah ada program integrasi imtaq dalam semua mata pelajaran, kini program itu nyaris tak berbekas. Jika program integrasi  nilai-nilai karakter bangsa dalam semua mata pelajaran dilakukan tanpa konsep yang jelas dan terencana nasibnya akan sama dengan program-program sebelumnya yang hilang tak berbekas.
Kurikulum pendidikan dasar hingga menengah menurut banyak pengamat dipandang terlalu padat. Memasukkan pelajaran nilai-nilai Pancasila dalam kurikulum yang sudah ada rasanya mustahil, kasihan anak-anak kita yang terlalu banyak pelajaran yang harus dipelajari. Mengintegrasikan dengan pelajaran kewarganegaraan seperti jaman PMP adalah alternatif yang mungkin bisa dipilih. Atau menyempurnakan integrasi karakter bangsa menjadi integrasi nilai-nilai Pancasila dalam pelajaran yang sudah ada rasanya lebih realistis.
Kunci keberhasilan penanaman nilai-nilai termasuk nilai-nilai Pancasila di sekolah adalah pembelajaran kontekstual dan pengalaman nyata. Peserta didik perlu contoh tindakan nyata, bukan teori-teori verbal yang tidak ada faktanya. Sekolah adalah miniatur masyarakat nyata yang mesti konsisten dengan dunia di luar sekolah. Saat peserta didik di sekolah diajarkan budaya antri melalui pengalaman langsung, namun saat di luar sekolah mereka tidak menyaksikan budaya tersebut diterapkan oleh sebagian besar masyarakat, maka penilaian nilai-nilai di sekolah akan menjadi sia-sia.
Akhirnya, penulis berharap keinginan untuk mengembalikan pendidikan Pancasila di sekolah oleh sebagian masyarakat, dikaji secara dalam oleh Kemendiknas. Jangan sampai saat program itu diluncurkan ada kontroversi yang berkembang di masyarakat sehingga program itu tidak efektif dan ujung-ujungnya dihentikan. Kita semua masih berharap negeri ini tetap tegak kokoh dengan karakter aslinya, jika itu bisa diwujudkan dengan mengembalikan Pancasila ke sekolah, mengapa tidak? Semoga. (Wahyudi Oetomo)

Mbah Google, Membuat Siswa Tidak Kreatif?

Teknologi tumbuh bersama perjalanan waktu. Dua puluh lima tahun silam, saat penulis masih kuliah teknologi informasi masih sangat bersahaja, dan sumber informasi ilmiah hanya bisa diperoleh secara maksimal lewat buku diktat, jurnal, majalah, dan koran. Tapi, kini hadir sumber informasi ilmiah baru yang dapat kita hadirkan di mana saja kita berada tanpa harus kehadiran benda fisik yang bertumpuk-tumpuk. Sumber informasi itu bernama internet.
            Internet kini telah menjadi kebutuhan primer baru setelah sandang, pangan, dan papan. Internet telah menjelma menjadi piranti yang mampu melayani hampir semua kebutuhan hidup manusia. Pesan tiket kereta api, transfer uang, beli barang, daftar kerja, pendaftaran siswa baru, pendaftaran mahasiswa baru, bayar listrik, mengirim surat, komunikasi jarak jauh, melihat berita, nonton televisi, mencari referensi tulisan, dan banyak kegiatan lain yang mampu dilakukan lewat internet.
            Dalam dunia pendidikan, keberadaan internet telah melayani banyak keperluan. Termasuk kebutuhan siswa-siswa kita mencari rujukan dalam mengerjakan tugas-tugasnya. Dalam dunia internet, ada mesin pencari (search engine) yang sangat akrab dikalangan siswa, bahkan menjadi andalan dalam mengerjakan berbagai tugas sekolah, yakni Google. Sebenarnya banyak mesin pencari yang lain, seperti Yahoo, Bing, Ask, dan banyak lagi, namun yang paling akrab di kalangan pelajar adalah Google, atau orang sering menyebutnya dengan mbah Google.
            Google selama ini menjadi sumber informasi yang paling baik bagi pelajar. Google selalu bisa menjawab apa saja yang ditanyakan pelajar. Bila kita sebagai guru memberi tugas karya tulis tentang apa saja kepada siswa kita, bisa ditebak sebagian besar karya tulis mereka berasal dari copy paste materi-materi yang dicari lewat mbah Google. Fenomena tugas copy paste, tumbuh dalam dunia pendidikan kita. Lalu, apakah fenomena ini menggembirakan karena siswa kita melek internet, atau justru menyedihkan karena mereka menjadi tidak kreatif dengan hanya menyalin tugasnya dari internet tanpa ada proses berpikir.
            Perkembangan teknologi akan terus berjalan, dan tidak mungkin terbendung. Menjadi bijak dalam memanfatkan teknologi adalah keharusan. Jangan sampai kehadiran teknologi justru membuat cara berpikir kita terpasung dan kian tidak kreatif. Jika ada seorang dosen mewajibkan  mahasiswanya mengerjakan tugas dengan ketentuan harus ditulis tangan jangan langsung divonis dosen jadul, gaptek,atau dengan sebutan lain yang memiliki arti yang sama. Bisa sang dosen punya maksud yang baik, yakni agar mahasiswanya tidak menjadi mahasiswa malas, hanya bisa copy paste pekerjaan temannya. Kalau ada juga guru yang seperti itu, juga jangan disindir dengan julukan sejenis dengan dosen tadi.
            Pemanfaatan perkembangan teknologi informasi dalam kegiatan pembelajaran harus dilihat sebagai kebutuhan. Namun, kehadiran teknologi meski membawa banyak manfaat akan muncul sisi-sisi negatif yang bila tidak diantisipasi akan sangat merugikan. Memang belum ada studi mengenai pengaruh internet sebagai sebuah produk teknologi terhadap kreativitas siswa. Jika memang kreativitas siswa menjadi rendah akibat keberadaan internet, maka jangan langsung memutuskan untuk tidak lagi menggunakan internet sebagai sumber belajar.
            Kreativitas guru mutlak diperlukan untuk menciptakan jenis kegiatan atau tugas yang meminimalisir kesempatan siswa hanya sekedar menyalin dari internet dalam menyelesaikan tugasnya. Jadikanlah internet sebagai referensi dalam menyelesaikan tugas, bukan sebagai sumber jiplakan tugas yang hanya butuh waktu beberapa menit untuk mengunduhnya, lalu mengeditnya, jadilah tugas mereka.
            Sikap mengkambinghitamkan teknologi informasi sebagai penyebab tidak kreatifnya siswa kita perlu dihilangkan. Bila kemajuan teknologi selalu disikapi dengan apriori padahal kemajuan teknologi banyak membantu pekerjaan manusia, akibatnya kita akan semakin ketinggalan dari bangsa lain. Jadikanlah kemajuan teknologi sebagai sarana meningkatkan kualitas pendidikan. Ibarat sebuah pisau, bisa menjadi barang yang sangat berguna untuk memotong sesuatu, namun dapat juga menjadi senjata pembunuh untuk alat kejahatan. Demikinan juga dengan internet, bisa juga memberikan ekses negatif, namun banyak juga manfaat yang bisa diambil terutama untuk membantu kegiatan pembelajaran di kelas.
            Mengakhiri tulisan ini, penulis berkesimpulan bahwa siswa-siswa kreatif akan tumbuh dari suasana belajar yang menumbuhkan jiwa kreatif. Tugas guru adalah menciptakan suasana belajar kreatif itu. Kreativitas siswa bisa ditumbuhkan melalui fasilitas apa saja, termasuk keberadaan teknologi internet. (Wahyudi Oetomo)

KONTRIBUSI GURU BAGI PERKEMBANGAN KOPERASI

Setiap tanggal 12 Juli kita selalu memperingati hari koperasi, dan saat itu pula kita diingatkan jasa Bapak Koperasi Indonesia, Drs. Moh. Hatta. Berbagai seremonial dilakukan untuk memperingati hari koperasi, mulai dari upacara, lomba-lomba, hingga seminar. Pada saat yang bersamaan kita disadarkan bahwa  banyak orang memperoleh manfaat dari keberadaan koperasi.
            Kehadiran koperasi sangat membantu menopang kebutuhan finansial keluarga anggotanya. Saat anggota koperasi memerlukan dana yang tidak terlalu besar dan bersifat mendadak maka koperasi sering hadir sebagai “dewa penyelamat”. Dengan jasa yang tidak terlalu besar dibandingkan perbankan, serta diakhir tahun mendapat sisa hasil usaha (SHU), koperasi mampu menjadi pilihan utama dalam hal pendanaan bagi anggotanya.
            Koperasi tumbuh menjadi kekuatan ekonomi yang paling kuat menghadapi krisis ekonomi. Saat banyak perbankan runtuh ketika terjadi krisis ekonomi pada tahun 1998, koperasi tampil sebagai kekuatan ekonomi yang mampu eksis menghadapi berbagai macam tantangan eksternal. Memang ada koperasi yang akhirnya rontok dan bubar, namun itu terjadi akibat ulah oknum pengurus yang melakukan penyimpangan .
            Dunia koperasi sempat “galau” dengan hadirnya  UU Koperasi No.17 Tahun 2012, menggantikan UU Koperasi sebelumnya yaitu UU Koperasi  No. 25 Tahun 1992. Kegalauan pegiat koperasi terhadap UU baru tersebut berpangkal dari beberapa pasal dalam UU baru  tersebut yang dikhawatirkan menyebabkan koperasi kehilangan jatidirinya, dan merubah koperasi menjadi badan yang hanya berorietansi pada modal dan bisnis, aspek kekeluargaan dan  demokrasi ekonomi dikhawatirkan menjadi hilang.

            Ditengah kegalauan itu beberapa orang pegiat koperasi dari Jawa Timur mengajukan uji materiel UU No. 17 Tahun 2012 tersebut ke Mahkamah Konstitusi (MK). Melalui proses yang panjang akhirnya MK memutuskan untuk mencabut UU No. 17 Tahun 2012 secara keseluruhan dan memberlakukan kembali UU No. 25 Tahun 1993 hinggal lahir UU yang baru.
Kontribusi Guru Bagi Perkembangan Koperasi
            Ketika berbicara koperasi dan guru, maka ada sinergi yang tidak bisa dipisahkan. Koperasi dan guru telah membentuk pola simbiosis mutualisme, keduanya sama-sama memperoleh keuntungan. Kehadiran koperasi bagi kebanyakan guru sangat terasa manfaatnya,  sedangkan bagi koperasi kontribusi guru baik sebagai anggota, pengurus dan pengawas telah membuat koperasi tetap eksis dan tumbuh kian besar.
            Hampir semua sekolah memiliki koperasi pegawai, baik yang sudah berbadan hukum maupun yang belum.  Koperasi yang tidak berbadan hukum biasanya berwujud koperasi simpan pinjam dan saat modalnya mulai membesar, sebagian modalnya kadang diserahkan kembali kepada anggotanya agar resiko terjadinya penyimpangan dan kredit macet menjadi kecil. Namun, ada juga koperasi yang tidak berbadan hukum yang anggotanya guru-guru memiliki omzet hingga ratusan juta rupiah.
            Ada banyak guru di negeri ini yang memiliki tugas tambahan sebagai pengurus atau pengawas koperasi. Sebagian besar dari guru-guru itu tidak memiliki pengetahuan yang cukup tentang akuntansi. Meski begitu, dengan ketekunan dan hati ikhlas mereka belajar dan pada akhirnya guru-guru tersebut memiliki kompetensi di bidang perkoperasian. Tak jarang pula akhirnya mereka lahir sebagai praktisi koperasi andalan dan menjadi “pakar” koperasi di daerahnya.
            Menjadi pengurus atau pengawas koperasi, bagi seorang guru, menurut penulis,  lebih banyak sebagai kerja sosial. Honor yang mereka terima dengan beban tugas yang kerjakan tidaklah imbang. Saat seorang guru yang merangkap sebagai pengurus koperasi  berhadapan dengan guru lain yang berposisi sebagai anggota yang “nakal” kerap menimbulkan konflik batin. Akhirnya, banyak guru yang tidak tahan menjadi pengurus koperasi karena tak mampu untuk selalu berkonflik dengan teman yang lain dengan alasan menegakkan peraturan yang telah disepakati.
Koperasi dan Sertifikasi Guru
            Bagi guru yang menjadi pengurus atau pengawas koperasi yang tidak memiliki karyawan sehingga semua pekerjaan dirangkap oleh pengurus, maka perlu kepiawaian sang guru untuk membagi waktu antara tugas sekolah yang merupakan tugas wajib dengan tugas sebagai seorang pengurus atau pengawas koperasi. Sejak program sertifikasi guru diberlakukan dan guru wajib mengajar minimal 24 jam pelajaran setiap minggu, hanya sedikit waktu luang bagi guru untuk melakukan aktivitas lain di luar kegiatan belajar mengajar.
            Jumlah guru yang merangkap sebagai pengurus dan pengawas koperasi di negeri ini pasti tidak sedikit. Oleh karena itu perlu ada apresiasi dari pembuat kebijakan terhadap guru yang memiliki tugas ganda tersebut, misalnya mengkonversi jabatan pengurus koperasi dengan sejumlah jam pelajaran. Bila tidak, jabatan sebagai pengurus atau pengawas koperasi akan mulai ditinggalkan oleh guru karena menyita waktu dan lebih memilih fokus dengan kegiatan mengajar. Padahal, koperasi membutuhkan tenaga dan pikiran guru untuk tumbuh menjadi besar dan mapan.
            Kita semua berharap koperasi sebagai kekuatan ekonomi yang tahan banting tetap eksis di semua elemen masyarakat, termasuk di lembaga-lembaga pendidikan (sekolah). Meski guru sekarang telah memiliki pendapatan yang besar, namun kehadiran koperasi di tengah-tengah mereka kelihatannya tetap dibutuhkan. Buktinya transaksi pinjaman guru ke koperasi terus tetap ada. Itu artinya koperasi masih diperlukan guru, dan koperasi masih membutuhkan tenaga dan pemikiran guru agar tumbuh menjadi kekuatan ekonomi yang terus membesar dan mensejahterakan seluruh anggotanya. (Wahyudi Oetomo)

Pembelajaran Remedial Tutorial Sebaya Menggunakan Metode Jigsaw


Sistem belajar tuntas (mastery learning) yang masih dianut oleh sistem pendidikan kita, menyajikan fakta dikotomi antara siswa tuntas belajar dan tidak tuntas belajar. Siswa pandai akan menguasai semua tujuan instruksional (sebagian besar) dan siswa tidak pandai hanya menguasai sebagian kecil saja atau tidak sama sekali.
            Perbedaan-perbedaan siswa di dalam kelas, khususnya yang menyangkut laju kemajuan atau kecepatan dalam belajar, memerlukan perhatian khusus. Pada pembelajaran klasikal, perbedaan-perbedaan siswa sering dilupakan oleh guru. Akibatnya, ada sekelompok siswa menjadi frustasi, motivasi belajar menghilang dan rasa percaya diri lenyap disebabkan karena dalam pembelajaran mereka tidak mencapai apa-apa.
            Materi pelajaran pada kurikulum 2006 (KTSP), misalnya pada pelajaran IPA, dijabarkan atas sejumlah unit satuan bahan yang dirangkaikan secara berurutan. Satuan bahan yang satu harus dikuasai lebih dahulu, sebelum satuan bahan berikutnya dihadapi. Dengan kata lain, “yang berikutnya” tidak dimulai, sebelum “yang sebelumnya” dikuasai. Siswa yang ternyata belum menguasai satuan bahan tertentu, nampak dari hasil pada suatu tes formatif (ulangan harian), harus melakukan usaha-usaha perbaikan dilakukan melalui pembelajaran perbaikan (remedial). Salah satu model  pembelajaran perbaikan adalah digabungkan dengan pembelajaran pengayaan melalui teknik tutorial sebaya.
            Efektivitas pembelajaran remedial adalah salah satu elemen penting dalam sistem  pembelajaran secara keseluruhan. Ada banyak teknik mengelola pembelajaran remedial, namun yang harus terus digali adalah menciptakan pembelajaran remedial menjadi menarik dan tepat guna. Fakta empiris, pembelajaran remedial hanya dilakukan sekedar untuk menggugurkan kewajiban. Bahkan, banyak guru yang mengabaikan pelaksanaan pembelajaran remedial dalam kegiatan pembelajaran keseluruhan di dalam kelas.
            Pembelajaran remedial yang digabungkan dengan pembelajaran pengayaan dengan teknik tutorial sebaya sudah banyak dikenal. Penulis mencoba menambah variasi dengan melakukan kombinasi sinergis antara model tutorial sebaya dengan model pembelajaran jigsaw.
            Pembelajaran tutorial sebaya yang selama ini banyak dilakukan oleh guru dalam pembelajaran remedial perlu terus dikembangkan dengan teknik baru yang bermuara pada efektifitas pembelajaran.  Metode pembelajaran jigsaw, adalah salah satu metode pembelajaran kooperatif yang dicoba dikombinasi dengan teknik / metode lain sehingga menjadi pembelajaran yang menarik namun tepat sasaran.
Tutorial Sebaya
Dalam sebuah pembelajaran siswa dapat mengambil peran sebagai pengajar (tutoring) dalam kelompok dengan dimaksudkan mendampingi seorang teman atau beberapa teman dalam mengejar ketertinggalan atau mengatasi kesulitan tertentu (kelompok remedial) (Winkel W.S., 1996)
            Tutor sebaya adalah teman sekelas yang memiliki kecepatan belajar lebih. Mereka perlu dimanfaatkan untuk memberikan tutorial kepada rekannya yang mengalami kelambatan belajar. Dengan teman sebaya diharapkan peserta didik yang mengalami kesulitan belajar akan lebih terbuka dan akrab (Depdiknas, 2008).
            Untuk menjadi tutor yang baik, diperlukan taraf penguasaan bahan pelajaran yang memadai dan kemampuan serta ketrampilan untuk memberikan pengajaran kepada sesama teman.
            Tutor sebaya dalam sebuah pembelajaran perbaikan sekaligus pengayaan adalah siswa yang telah menguasai bahan pengajaran tertentu melalui tes formatif. Menurut Winkel, W. S. (1996), dalam sebuah pembelajaran tutorial sebaya, tenaga pengajar (guru) masih harus mendampingi tutor, lebih-lebih bila timbul kesulitan yang tidak terantisipasi. Serta evaluasi mengenai kemajuan belajar dari siswa yang diberi pengajaran oleh rekan sekelas, harus ditangani oleh guru sendiri.
Pembelajaran Kooperatif Jigsaw
Pembelajaran model jigsaw pertama kali dikembangkan dan diujicobakan oleh Elliot Aronson dan teman-teman di Universitas Texas, dan kemudian diadaptasi oleh  Slavin dan teman-teman di Universitas John Hopkins  (Arend, 2001 dalam Siman, 2009)  sebagai  metode Cooperative Learning.  Pembelajaran kooperatif tipe jigsaw adalah suatu tipe pembelajaran kooperatif yang terdiri dari beberapa anggota dalam satu kelompok yang bertanggung jawab atas penguasaan bagian materi belajar  dan mampu mengajarkan materi tersebut kepada anggota lain  dalam kelompoknya. Model  pembelajaran kooperatif tipe jigsaw merupakan model pembelajaran kooperatif dimana siswa belajar dalam kelompok kecil yang terdiri dari 4 – 6 orang secara heterogen dan bekerja sama saling ketergantungan yang positif dan bertanggung jawab atas ketuntasan bagian materi pelajaran yang harus dipelajari dan menyampaikan materi tersebut kepada anggota kelompok yang lain (Arends, 1997 dalam Siman, 2009).
            Jigsaw didesain untuk meningkatkan rasa tanggung jawab siswa terhadap pembelajarannya sendiri  dan juga pembelajaran orang lain. Siswa tidak hanya mempelajari materi yang diberikan, tetapi mereka juga harus siap memberikan dan mengajarkan materi  tersebut pada anggota kelompoknya yang lain. Dengan demikian, “siswa saling tergantung satu dengan yang lain dan harus bekerja sama secara kooperatif untuk mempelajari materi yang ditugaskan” (Lie, A., 1994 dalam Siman, 2009).
            Para anggota dari tim-tim yang berbeda dengan topik yang sama bertemu untuk diskusi (tim ahli) saling membantu satu sama lain tentang topik pembelajaran yang ditugaskan kepada mereka. Kemudian siswa-siswa itu kembali pada tim / kelompok asal untuk menjelaskan kepada anggota kelompok yang lain tentang apa yang telah mereka pelajari sebelumnya pada pertemuan  tim ahli.
            Pada model pembelajaran kooperatif tipe jigsaw, terdapat kelompok asal dan kelompok ahli. Kelompok asal yaitu kelompok induk siswa yang beranggotakan siswa dengan kemampuan, asal, dan latar belakang keluarga yang beragam. Kelompok asal merupakan merupakan gabungan dari beberapa ahli. Kelompok ahli yaitu kelompok siswa yang terdiri dari anggota kelompok asal yang berbeda yang ditugaskan untuk mempelajari dan mendalami topik tertentu dan menyelesaikan tugas-tugas yang berhubungan dengan topiknya untuk kemudian dijelaskan kepada anggota kelompok asal.
            Model pembelajaran Jigsaw termasuk pembelajaran kooperatif dengan sintaks seperti berikut ini: pengarahan, informasi bahan ajar, membuat kelompok heterogen, memberikan bahan ajar (LKS) yang terdiri dari beberapa bagian sesuai dengan banyaknya siswa dalam kelompok, tiap anggota kelompok bertugas membahas bagian tertentu, tiap kelompok bahan belajar sama, membuat kelompok ahli sesuai bagian bahan ajar yang sama sehingga terjadi kerja sama dan diskusi, kembali ke kelompok asal, pelaksanaan tutorial pada kelompok asal oleh anggota kelompok ahli, penyimpulan dan evaluasi, refleksi.
Pembelajaran Remedial Tutorial Sebaya dengan Metode Jigsaw
Pembelajaran remedial tutorial sebaya dengan metode jigsaw dapat dilakukan dengan urutan kegiatan sebagai berikut :
(a)    Guru membagi siswa yang mengikuti pembelajaran perbaikan menjadi beberapa kelompok. Hal yang sama dilakukan pada kelompok program pengayaan yang nantinya akan bertindak sebagai tutor dalam kelompok program remedial. Kelompok peserta program pengayaan nantinya akan menjadi kelompok ahli dalam pembelajaran kooperatif jigsaw. Jumlah kelompok menyesuaikan dengan jumlah siswa peserta remedial dan materi ajar. Pembagian kelompok minimal satu hari sebelum pelaksanaan proses pembelajaran.
(b)   Setelah terbentuk kelompok, yang di dalamnya terdapat tutor (kelompok ahli) dan siswa tutorial (perbaikan), guru memberikan bahan ajar berupa rangkuman materi kepada kelompok ahli di mana tiap kelompok mendapat bagian materi yang berbeda. Guru memberi tugas kepada  kelompok ahli dilakukan secara berkelompok di rumah berupa merangkum pokok bahasan yang telah ditentukan oleh guru serta memberi beberapa  soal (permasalahan) yang harus diselesaikan dalam tutorial. Permasalahan (soal) yang diberikan mengacu kepada tujuan instruksional. Pemberian tugas kepada kelompok ahli (peserta pengayaan) dilakukan satu hari sebelum pelaksanaan tutorial.
(c)    Selama pelaksanaan tutorial kelompok tutor (ahli) menempati tempat permanen dan di setiap meja diberi identitas misalnya: adaptasi morfologi, adaptasi fisiologi, adaptasi tingkah laku, seleksi alam, dan perkembangbiakan. Kegiatan tutorial adalah diskusi informasi rangkuman materi dan soal-soal yang telah dibagikan oleh guru. 
(d)   Tutor memberikan bimbingan kepada siswa tutorialnya apabila dijumpai permasalahan dalam memecahkan soal.
(e)    Kegiatan tutorial setiap satu topik dilakukan selama 7 menit. Selama kegiatan tutorial, guru secara aktif mengamati kegiatan tutorial untuk membantu tutor yang kesulitan memecahkan permasalahan siswa tutorialnya.
(f)    Pada tujuh menit kedua, siswa yang mengikuti program remedial (kelompok asal) melakukan perpindahan tempat (moving) ke meja topik yang lain. Kegiatan tutorial dilakukan seperti pada tahap sebelumnya, hingga setiap kelompok remedial telah menyinggahi semua meja topik.
(g)   Selama kegiatan tutorial guru  berkeliling ke setiap meja topik untuk membantu kegiatan tutorial apabila dijumpai kesulitan. Selain itu, guru juga mengobservasi keaktifan peserta pembelajaran tutorial sebaya. Observasi keaktifan siswa dibantu oleh siswa yang mengikuti program pengayaan dimana lembar obervasi sudah disiapkan oleh guru sebelum kegiatan berlangsung.
(h)   Setelah kegiatan tutorial selesai, guru mengembalikan suasana kelas untuk melakukan penguatan. Permasalahan yang muncul di masing-masing meja topik dan tidak terselesaikan secara tuntas, didiskusikan di diskusi kelas dengan dipandu oleh guru.
(i)     Kegiatan remedial dan pengayaan yang dilakukan dengan teknik tutorial sebaya yang dipadu dengan metode kooperatif jigsaw ditutup dengan menyimpulkan  materi yang telah dibahas.
Berdasarkan fakta empirik, kegiatan pembelajaran remedial dengan teknik tutorial sebaya menggunakan metode jigsaw dapat mengaktifkan kegiatan pembelajaran remedial serta meningkatkan hasil belajar peserta remedial. Bagi peserta pengayaan, kegiatan ini memiliki nilai tambah pada penguasaan konsep, baik pada waktu pemberian tugas sebelum kegiatan remedial maupun pada waktu proses tutorial berlangsung.
Daftar Pustaka
Bistok, A.S., Peranan Guru dalam Melaksanakan Keterampilan Proses. Media
            Komunikasi Pendidikan Menengah Umum, Thn. III Nomor 11, Proyek
            Pemantapan Implementasi Kurikulum SMU, Jakarta, 1985
Direktorat PLP, Pedoman Pembelajaran Tuntas, Jakarta: Depdiknas,  2004.
Murtadlo, Penanganan Terapeutik Siswa Kesulitan Belajar di Sekolah Dasar
            Melalui Pelibatan Tutor Teman Sebaya, Guru, dan Orang Tua. Media Pendidikan  Dan Ilmu Pengetahuan, No. 4 / Th. XVIII, IKIP Surabaya, 1996..
Siman,” Pembelajaran Kooperatif: Jigsaw” , www.idonbiu.com,  7 Agustus 2009.
Winkel, W.S.,. Psikologi Pengajaran, Cetakan Kelima, Jakarta : PT. Gramedia
            Widia Sarana Indonesia, Jakarta, 1996.