Senin, 31 Desember 2018

Datang dan Pergi Pemain Sinetron Tukang Ojek Pengkolan

Sinetron “Tukang Ojek Pengkolan” (TOP) adalah sinetron yang hingga kini masih digemari banyak orang. Para pemeran di sinetron ini lucu-lucu sehingga membuat kita tertawa. Ceritanya sederhana saja yaitu kisah tentang kehidupan para tukang ojek di Pengkolan. Ada tiga tukang Ojek di dalam sinetron TOP ini yaitu Ojak yang diperankan Eza Yayang, ada Purnomo yang sok ganteng, dan ada juga Tisna yang lugu. Sinetron ini diproduksi oleh rumah produksi MNC Pictures dan tayang sejak tanggal 25 April 2015. Setelah lebih dari tiga tahun, sinetron bergenre komedi ini terus berupaya agar pemirsanya tidak jenuh. Salah satu caranya dengan memasukkan pemain-pemain baru. Berikut adalah beberapa artis yang pernah menjadi pemain TOP dan artis masih menjadi tokoh ikon yang terus bertahan di sinetron TOP.
Pemeran sinetron "Tukang Ojek Pengkolan (TOP)"
Eza Yayang sebagai pemeran Ojak

Ojak untuk menghidupi keluarganya menjadi tukang ojek dengan motor bututnya
Fitrie Rachmadhina sebagai pemeran Tati

Tati ini istri Ojak yang . Dia juga usaha bikin kue yang resepnya dikasih oleh emaknya. Tokoh Tati ini ini dibuat meninggal sehingga tidak bisa lagi kita saksikan perannya di TOP.
Ranty Purnamasari sebagai pemeran Emak, ibunya Tati

Emak selalu ngomong "Ooo seperti itu?" .. Emak ini ibu kandung Tati dan mertuanya Ojak. Tokoh Emak ini cukup lama bertahan di TOP, namun setelah menikah dengan Bang Simin (Jaja Miharja) tokoh Emak ini tidak pernah muncul lagi di TOP.

Furry Setya sebagai pemeran Purnomo (Pur)
Purnomo yang tidak mau disebut Purno ini merupakan tukang Ojek yang sok keren. Tiap ada cewek cantik dia selalu berusaha mendekatinya. Si Pur, saat ini lagi berjuang merebut hati Siska (tokoh baru) yang kos di kontrakannya Bang Simin

Andri Sulistiandri sebagai pemeran Sutisna (Tisna)
Tisna yang suka ngomong "Kata Bapak Saya" ini agak lugu. Tokoh Tisna ini adalah suami yang sangat penurut pada istri. Setelah bercerai dengan istrinya, dia menikah lagi dengan Yuli, yang saat ini sedang hamil.

Jawir sebagai pemeran Jono
Awalnya Jono di TOP berperan sebagai penjual dawet yang suka update status. Saat ini Jono berprofesi sebagai pengemudi ojek online Gober.

Kamis, 13 Desember 2018

Sehat Itu Murah

Saya percaya sakit itu banyak berasal dari pikiran yang sakit. Jika pikiran dan jiwa kita sehat, badan kita akan sehat. Logika " di dalam badan yang sehat terdapat jiwa yang sehat" menurut saya terbalik. Jiwa dan pikiran yang sehat akan membuat raga menjadi sehat.

Saya tidak akan membuat data pembanding melalui hasil kajian ilmiah sebagai referensi, namun saya akan menggunakan referensi badan sendiri. Mudah-mudahan kajian ini relevan untuk digunakan pada tubuh orang lain.

Saya beri judul tulisan ini, sehat itu murah. Kelihatannya "anti mainstream" judul tulisan ini, karena dalam mindset orang kebanyakan berlaku konsep "sehat itu mahal". Sehat itu menjadi mahal ketika seseorang sudah mengalami sakit. Biaya berobat mahal. " Kan ada BPJS, kenapa harus mahal?" Banyak orang tidak sabar dengan pelayanan kesehatan melalui BPJS karena sering harus antri, dan kualitas obat yang diberikan dianggap masyarakat sebagai obat kelas dua. Kondisi seperti itu yang akhirnya menyebabkan banyak orang memilih menjadi pasien umum, karena tidak perlu antri dan mendapat kualitas obat bermerk. Sebagai pasien umum, otomatis biaya yang harus dikeluarkan jadi lebih mahal dari pada memanfaatkan pelayanan BPJS.

Sebenarnya, bila kita mau sedikit bersabar sedikit antri di tempat pengobatan umum, maka kita bisa menghemat biaya yang lumayan banyak. Kualias pelayanan medis yang diberikan oleh pelaksana kesehatan BPJS jangan dipersepsikan berkualitas rendah. Rumah sakit yang memberikan pelayanan kesehatan yang didukung BPJS juga ditangani oleh dokter-dokter berpengalaman. Obat generik yang sering diberikan kepada peserta BPJS, secara kualitas sama saja dengan obat paten. Berhubung kebanyakan "orang mampu" sering tidak sabar dengan pelayanan rumah sakit atau puskesmas yang harus antri mengular, akhirnya lebih memilih ditempat dokter praktek pribadi. Dan itulah yang menyebabkan "sehat itu mahal".

Menurut saya, agar "sehat itu murah", maka upaya preventif harus dilakukan agar kita tidak sakit. Mencegah supaya tidak sakit, barangkali sudah banyak dibahas orang. Kajian standar supaya badan tetap sehat sangat biasa dikaji. Beberapa upaya yang umum harus dilakukan agar tubuh kita tidak sakit antara lain: makan makanan yang bergizi, berolahraga yang cukup, istirahat yang cukup, dan pola hidup sehat. Mudah dan murah, namun banyak orang sulit merealisasikan.

Ada beberapa hal lain yang menurut saya sering luput dari kajian, mencapai hidup sehat dengan cara murah. Ketika kita yakin bahwa tubuh yang sehat itu bisa dibangun dari jiwa yang sehat, maka upaya pelengkap yang juga harus dilakukan agar tubuh kita sehat adalah membangun jiwa yang sehat dari jiwa spiritul, personal, dan sosial. Seseorang yang mampu membangun spirit keagamaan yang diyakininya maka akan memunculkan ketenangan jiwa. Bagi seorang muslim, ritual ibadah wajib dan sunnah bila dilakukan secara istiqomah (konsisten), maka ketenangan jiwanya akan terpelihara. Ibadah sholah, puasa sunnah, sholat malam, shadaqah, silaturahmi, adalah sebagian dari ibadah yang dijalankan oleh seorang muslim yang memiliki kekuatan membangun ketenangan jiwa. Ketika ketenangan jiwa telah diraih akan berdampak pada ketenangan irama denyut jantung, tekanan darah, relaksasi badan. Dan itu menyehatkan.

Jiwa dalam kondisi tertekan akan meyebabkan keseimbangan tubuh akan terganggu. Keseimbangan tubuh bisa juga dibangun dari kesadaran personal. Seseorang yang bijak memperlakukan tubuhnya, serta tidak "mendholimi" tubuhnya, orang itu akan mencapai keseimbangan personal. Sering tubuh lelah karena harus beraktivitas melebihi kemampuan tubuhnya. Tubuh kita perlu istirahat. Memaksa tubuh beraktivitas melebihi kemampuannya adalah pangkal munculnya beberapa penyakit, seperi liver.

Ada sebuah  hadits Nabi Muhammad SAW yang berbunyi, "Barangsiapa yang suka diluaskan rizkinya dan ditangguhkan kematiannya, hendaklah ia menyambung tali silaturahmi". Dengan bahasa lain, silaturahmi bisa memanjangkan umur dan meluaskan rizki. Makna dipanjangkan umurnya, bisa pahami juga dengan akan disehatkan tubuhnya sehingga umurnya akan menjadi panjang. Silaturahmi yang paling murah adalah bersilaturahmi dengan tetangga kanan dan kiri. Di zaman sekarang, apalagi yang tinggal di daerah perkotaan, silaturahmi dengan tetangga kanan dan kiri sering sulit untuk dilakukan karena alasan kesibukan.

Dari tulisan singkat ini mudah-mudahan muncul kesadaran, bahwa untuk memiliki tubuh yang sehat itu tidak perlu harus berbiaya mahal. Jika usaha untuk menjadi sehat sudah dilakukan tetapi tetap masih terserang penyakit, itu berarti takdir yang harus diterima. Mungkin dengan sakit kita akan menjadi lebih taat menjalankan perintahNya, atau sakit menjadi ujian kesabaran kita. Wallahu a'lam bishawab

Kamal, 7 Oktober 2018

Rabu, 24 Oktober 2018

Tim Indonesia U 19 menang 1-0 atas Emirat Arab

Tim U 19 asuhan Indra Syafri berhasil memenangkan pertandingan melawan tim Emirat melalui pertandingan yang melelahkan. Gol tunggal yang dicetak Witan Sulaiman di babak pertama mampu dipertahankan hingga pertandingan usai.

Bermain dengan hanya 10 orang dibabak kedua, tim Indonesia terus diserbu tim Emirat Arab, sambil sesekali melakukan serangan balik. 

Dengan kemenangan ini Indonesia memastikan diri lolos ke babak perempat final. Selamat untuk seluruh tim garuda muda beserta tim pelatih. 

Selasa, 23 Oktober 2018

Jadwal Tes CPNS 2018 diumumkan Tanggal 25 Oktober

Setelah mengetahui bahwa dirinya lolos seleksi administrasi, peserta tes CPNS tinggal menunggu jawal tes CPNS. Kepala Biro Humas BKN, Mohammad Ridwan, menyampaikan bahwa jadwal tes bisa dilihat disitus instansi mulai tanggal 25 Oktober.

Setelah calon peserta tes CPNS lolos administrasi selanjutnya mereka akan mengikuti Tes Seleksi Kompetensi Dasar (SKD), yang meliputi tes karakteristik pribadi (TKP), tes intelegensia umum (TIU), dan tes wawasan kebangsaan (TWK). 

Sementara ketiga tes tersebut mempunyai passing grade atau nilai ambang batas SKD berbeda untuk masing-masing formasi. Nilai ambang SKD untuk formasi umum adalah 143 untuk TKP, 80 untuk TIU, dan 75 untuk TWK. Sementara untuk formasi cumlaude akumulatif nilai ambang batas SKDnya 298. Sementara untuk formasi disabilitas dan formasi eks tenaga honorer kategori II, akumulatif nilai ambang batas SKD-nya sama, yaitu 260.


Rabu, 10 Oktober 2018

Premium Naik, Lalu Dibatalkan, Ada Apa?

Pemerintah sore tadi mengumumkan kenaikan harga BBM jenis premium, setelah siang hari mengumumkan kenaikan harga pertamax dan solar non subsidi. Selang sejam, ada pengumuman susulan bahwa kenaikan harga premium dibatalkan hingga menunggu kesiapan Pertamina.

Menyaksikan kejadian kita jadi bingung, ada apa dengan pemerintah kita? Ada apa pak jokowi? Rasanya aneh, keputusan strategis dan penting harus direvisi selang satu jam hanya karena alasan menunggu kesiapan Pertamina. Pasti banyak yang beranggapan bahwa pemerintah sedang "bersenda gurau", atau menuduh pemerintah melakukan pencitraan untuk kepentingan pilpres.

Kebijakan kenaikan BBM pasti dihasilkan dari kajian yang panjang, dan tidak mungkin keputusan itu dihasilkan dari hasil pembicaran sektoral tanpa koordinasi dengan semua elemen terkait. Masyarakat yang menyaksikan jadi gaduh. Kegaduhan yang sengaja diciptakan? Entahlah, hanya pemerintah yang tahu. 

Para konsumen premium tentu merasa senang dengan pembatalan kenaikan itu. Tapi sampai kapan pemerintah mampu menahan kenaikan harga BBM bersubsidi tersebut? Harga minyak mentah dunia yang terus naik akan membuat keuangan negara akan tersedot karena sebagian komsumsi BBM kita diperoleh dari impor. Menurut pengamat ekonomi, harga keekonomian premium berada dikisaran Rp.8.500 sampai Rp.9.000. Sedangkan pemerintah masih menggunakan harga premium sebesar  Rp.6.550.

Jika dalam seminggu ke depan, atau hingga akhir tahun pemerintah tidak jadi menaikkan harga premium, padahal harga mentah dunia terus naik, maka tuduhan pencitraan akan semakin terarah pada pemerintah. Kita tunggu saja, apakah pemerintah bertindak realistis atau sekedar pencintraan untuk kepentingan pilpres 2019.

Senin, 08 Oktober 2018

Rupiah Melemah Sampai Kapan?

Sore ini rupiah ditutup melemah, Rp. 15.217 per dollar AS. Depreasiasi rupiah sejak 1 Januari 2018 hingga 8 Oktober 2018 menjadi 12,26 persen. Kondisi yang cukup menggelisahkan. Namun, Menkeu Sri Mulyani berusaha mendinginkan suasana. Lagi-lagi dikatakan penyebabnya faktor eksternal, yakni akibat kenaikan imbal hasil (yield) obligasi AS (T-bond) tenor 10 tahun yang telah melewati 3 persen.


Menteri Keuangan, Sri Mulyani, berusaha meyakinkan masyarakat bahwa fundamental ekonomi Indonesia masih relatif kuat, dan aman. Padahal pada satu sisi, cadangan devisa kita terus tergerus karena digunakan untuk mengintervensi pasar agar rupiah tidak melemah kian dalam dan untuk keperluan impor BBM.

Pertanyaannya, hingga kapan rupiah akan terus melemah terhadap dollar? Jika pelemahan rupiah terus terjadi maka efek domino yang ditimbulkan akan dirasakan masyarakat, karena produk yang beredar di masyarakat banyak yang memiliki konten impor. Misalnya, tempe akan menjadi mahal karena sebagian besar konsumsi kedelai masyarakat berasal dari impor. 

Kita juga sangat khawatir efek sosial politik terhadap pelemahan rupiah atas dollar. Di tahun politik ini, semua hal yang bersentuhan dengan kehidupan masyarakat akan memiliki resiko "digoreng" sebagai komoditi politik untuk mengambil keuntungan elektabilitas.

Memori tahun 1998, yang diawali pelemahan rupiah terhadap dollar, lalu ekonomi negara ambruk. Akibatnya muncul gerakan demonstrasi yang dimotori mahasiswa. Ujungnya, presiden Soeharto menyatakan berhenti.

Mudah-mudahan peristiwa buruk itu tidak terjadi lagi, dan ekonomi negeri ini kembali menguat bersama siapa pun presidennya. Aamiin 

Minggu, 07 Oktober 2018

Tak seperti dulu

Bila kau tanya mengapa aku tidak seperti dulu
Jawabnya  sederhana, karena waktu dua puluh satu tahun telah berlalu
Kalau aku masih seperti yang dulu, berarti waktu berjalan stagnan
Waktu telah memutihkan sebagian rambutku
Waktu telah mengerutkan garis-garis mukaku

Jangan kau tanya lagi, mengapa aku tak seperti yang dulu
Itu karena waktu
Tapi cintaku padamu, tak berubah karena waktu


Kamal, 7 Oktober 2018
20.46

Kamis, 13 September 2018

Pengenalan Lapangan Persekolahan UTM di SMPN 1 Kamal

Lama sekali tidak nulis. Kalimat pendek itu yang saat ini mewakili gundahnya proses kreatifku. Berminggu-minggu, bahkan berbilang tahun ruh menulisku entah hilang kemana? Aku menjadi seperti mesin, yang hanya berkerja saat tombol saklar dipijit. Proses kreatif betul-betul hilang. Malam ini aku ingin menulis lagi.

Hari ini aku mendadak jadi termehek-mehek, ketika mengikuti pelepasan mahasiswa PLP II, yang praktik mengajar di sekolah tempatku mengajar. Kebersamaan karena interaksi membuat mereka, mahasiswa bimbinganku sudah seperti anakku sendiri. Mereka hampir sepantaran anak sulungku yang juga kuliah di UTM. Jika akhirnya saat perpisahan itu tiba, sering membuat "kornea mata" tersapu basah oleh rasa haru.

Interaksi dua bulan bersama mereka terasa seperti sudah sangat lama. Mudah-mudahan berbagi pengalaman mengajar bersama kalian, dapat menjadi tambahan rujukan saat mengajar yang sebenarnya. Kalian akan menjadi guru-guru hebat. Maafkan bila tak banyak ilmu yang kalian dapat.

Sukses buat "anak-anak" bimbinganku Linayanti, Feby Permata Sari, Nor Fitriyah. Ketika kalian menjadi guru yang sebenarnya, dunia persekolahan sangat berwarna. Menjadi guru bukan hanya harus mengajar tapi juga bisa mendidik. Teruslah menjadi agen perubahan, dan penerus tugas nabi membentuk karakter umat melalui anak-anak didik kalian masing-masing. Jangan lelah mengajarkan kebaikan, dan membantu orang lain.

Kamal, 14 September 2018

Senin, 23 Juli 2018

SAMPAI KAPAN IPM INDONESIA TERPURUK?

Indeks Pembangunan Manusia  (IPM)/ Human Development Index (HDI)  Indonesia tiap tahun berfluktuasi, tapi pergeserannya berkutat di level rendah (ratusan). Sungguh ironi ditengah klaim keberhasilan pembangunan oleh Pemerintahan SBY.  Berdasarkan laporan terbaru, April 2012 (Media. Juni 2012), Indonesia menempati urutan ke 117 dari 177 negara yang disurvei. Peringkat Indonesia selalu kalah dari Malaysia, Thailand, Filipina, apalagi Brunai dan Singapura, kita jauh ketinggalan.
Indikator IPM meliputi tiga aspek pengukuran yaitu,  pembangunan kesehatan, pendidikan, dan ekonomi. Variabelnya  adalah rata-rata usia harapan hidup, rata-rata lama sekolah, dan pendapatan per kapita. Ketiga variabel dasar dalam menentukan IPM berkorelasi dengan indikator keberhasilan pembangunan secara makro. Sebuah daerah (propinsi) atau negara secara keseluruhan mustahil mengklaim pembangunannya berhasil bila IPM-nya rendah. Jika klaim keberhasilan pemerintah selama ini tidak paralel dengan meningkatnya nilai IPM yang disurvei oleh United Nations Development Programme (UNDP), maka klaim tersebut dianggap oleh publik sebagai pepesan kosong, sekedar pencitraan belaka.
Mestinya pemerintah harus lebih keras bekerja agar IPM kita kian meningkat yang menjadi indikasi peningkatan kesejahteraan penduduk negeri ini, dan tidak mengklaim bahwa pemerintah telah berhasil membawa penduduknya kian sejahtera sementara faktanya tingkat kesejahteraan penduduk kian menukik tajam, angka kemiskinan kian meningkat, angka harapan hidup kian rendah, rata-rata lama sekolah sekolah tambah turun, dan pendapatan perkapita semakin rendah.
Disparitas antar propinsi khususnya propinsi-propinsi yang berada di Papua dengan propinsi lain kian tajam. Misalnya, angka  tidak/belum pernah bersekolah di Papua ada 38,38 persen, dan di Papua Barat ada 10,96 persen (sensus penduduk 2010, BPS). Sebagai wilayah yang kaya akan sumber alam, mestinya fakta memilukan di Papua itu tidak boleh terjadi. Gejolak keamanan di wilayah Papua akhir-akhir ini juga turut menghambat peningkatan kualitas pembangunan manusia diwilayah tersebut, dan bisa jadi akibat disparitas hasil pembangunan menjadikan beberapa kelompok masyarakat di Papua ingin melepaskan diri dari Indonesia, karena dianggap pemerintah telah gagal mensejahterakan rakyat Papua, sementara sumber alam Papua sangat berlimpah, sungguh ironi.
Di sektor pendidikan, berdasarkan IPM Indonesia tahun 2011 memberikan kontribusi angka 0,584, artinya rata-rata lama sekolah 5,8 tahun diukur dari penduduk berusia 25 tahun ke atas. Jadi rata-rata penduduk Indonesia yang berusia 25 tahun ke atas di negeri ini pada tahun 2011 hanya berpendidikan SD kelas enam. Lagi-lagi ini adalah fakta yang menyedihkan.
Upaya pemerintah saat ini memang baru akan terhitung dalam IPM beberapa tahun yang akan datang. Untuk meningkatkan angka rata-rata lama sekolah pemerintah mencanangkan program wajib belajar 12 tahun, hingga sekolah menengah atas.  Upaya rintisan pemerintah untuk memperluas akses pendidikan hingga tingkat SMA dengan memberikan dana BOS di tingkat SMA perlu diapresiasi, meski jumlahnya masih sangat kecil yaitu sebesar Rp.125.000,- per siswa/tahun.
Upaya baik oleh pemerintah untuk memperluas akses belajar, yang berimplikasi untuk meningkatkan rata-rata lama belajar sering tidak seiring dengan kebijakan di tingkat unit pelaksana teknis, yakni sekolah. Sekolah, oleh publik, masih dianggap sebagai penghambat upaya perluasan akses wajib belajar. Sekolah dinilai banyak orang telah terjebak pada komersialisasi, dan menjadi tidak terjangkau oleh kelompok masyarakat tidak mampu. Ketika sekolah membebaskan uang SPP, dengan kompensasi dana BOS, biaya-biaya lain sebagai biaya personal tak mampu dibayar oleh orang tua siswa. Biaya seragam, buku, les, transport, ekstrakurikuler, uang gedung, dan biaya-biaya lain yang tidak terjangkau wali murid.
Jika indikasi keberhasilan sektor pendidikan hanya didasarkan pada IPM, dimana variabel penentunya untuk bidang pendidikan hanya rata-rata lama sekolah maka akan menjebak kita pada orientasi kuantitatif. Mestinya upaya peningkatan rata-rata lama sekolah juga dibarengi dengan upaya peningkatan pendidikan secara kualitatif. Berdasarkan survei Political and Economic Risk Consultant (PERC), kualitas pendidikan di Indonesia berada pada urutan ke-12 dari 12 negara di Asia. Posisi Indonesia berada di bawah Vietnam.
Persoalan peningkatan kualitas pendidikan adalah pekerjaan paling berat yang harus dibereskan oleh setiap pemerintah yang berkuasa. Orientasi pendidikan kita yang masih “orientasi kuantitas” harus mulai memberlakukan “orientasi kualitas”. Pemberdayaan sekolah secara konsisten harus dilakukan oleh pemerintah. Intervensi pemerintah yang terlalu dalam terhadap proses pembelajaran harus segera dikurangi. Ujian Nasional (UN) sebagai salah satu contoh intervensi pemerintah pada sistem evaluasi di sekolah harus ditinjau ulang. Manipulasi hasil UN di lapangan dinilai oleh banyak pengamat pendidikan sebagai biang kerok penurunan kualitas pendidikan kita.
Upaya meningkatkan IPM dari sektor kesehatan mesti diarahkan pada peningkatan kualitas pelayanan kesehatan masyarakat. Variabel sektor kesehatan dalam IPM adalah rata-rata usia harapan hidup, yang pada tahun 2011 69,4 tahun, masih tertinggal dari negara tetangga kita Malaysia, 74,2 tahun. Program pelayanan kesehatan terhadap keluarga miskin lewat Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas) dan Jaminan Persalinan (Jampersal) pada tahun 2012 ini pemerintah menganggarkan  Rp 7,4 triliun diharapkan menjadi pintu untuk meningkatkan angka rata-rata harapan hidup penduduk Indonesia. Jangan lagi muncul slogan lucu tapi menyakitkan yaitu “orang miskin dilarang sakit”. Slogan itu muncul atas keprihatinan masyarakat akan mahalnya biaya pelayanan kesehatan di negeri ini.
Peningkatan kualitas kesehatan masyarakat, sangat berkait erat dengan kemampuan ekonomi masyarakat. Pendapatan perkapita penduduk adalah indikator sektor ekonomi dalam IPM. Namun, ketika pendapatan perkapita dihitung dalam angka rata-rata sedangkan pemerataan ekonomi tidak merata di semua wilayah negeri ini, maka angka pendapatan perkapita masyarakat akan menjadi angka semu.
Jika pemerintah beritikat meningkatkan pendapatan perkapita penduduk, maka orientasinya adalah pemberdayaan sektor usaha mikro, kecil, menengah(UMKM), dan koperasi. Karena pelaku sektor tersebut angkanya relatif besar, berdasarkan publikasi Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Republik Indonesia berjumlah 51,3 juta unit usaha, sebuah angka yang cukup besar. Dan, sektor UMKM dan koperasi, selain jumlahnya besar juga daya tahannya terhadap krisis lebih kuat, sehingga pemberdayaan sektor ini lebih aman dan akan berimplikasi langsung pada peningkatan pendapatan masyarakat di lapisan menengah ke bawah.
Jika kita hanya mengandalkan pemerintah, dan masyarakat hanya berpangku tangan tanpa turut serta berperan secara gigih maka upaya berat untuk meningkatkan kualitas manusia indonesia (IPM) akan gagal total, Kita harus bersama-sama membangun negeri ini. Kita pasti akan bisa sejajar atau bahkan mengungguli negara lain. Semoga. (Wahyudi Oetomo)

Belajar Calistung Seraya Bermain


Saat kurikulum pendidikan sebuah lembaga pendidikan terlalu didikte oleh keinginan orang tua, sementara tuntatan dan keinginan orang tua bertentangan dengan konsep kurikulum baku yang terstandarisasi, maka lembaga pendidikan yang demikian tersebut telah menggadaikan  esensi pendidikan yang benar dengan “pemuasan” ambisi sebagian orang tua. Praktik penerapan materi membaca, menulis  dan berhitung (calistung) di Taman Kanak-kanak (TK) secara terstruktur dalam kurikulum pendidikannya adalah contoh bentuk pemaksaan lembaga pendidikan mengakomodasi ambisi orang tua meskipun lembaga pendidikan itu tahu bahwa penerapan Calistung di TK secara terstruktur tidak diperbolehkan.
            Mengacu pada surat edaran Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar Dan Menengah Nomor 1839/C.C2/TU/2009 perihal penyelenggaraan pendidikan Taman Kanak-Kanak dan Penerimaan Siswa Baru Sekolah Dasar, “ pengenalan membaca, menulis dan berhitung (calistung) dilakukan melalui pendekatan yang sesuai dengan tahap perkembangan anak. Oleh karena itu pendidikan di TK tidak diperkenankan mengajarkan materi calistung secara langsung sebagai pembelajaran sendiri-sendiri (fragmented) kepada anak-anak. Konteks pembelajaran calistung di TK hendaknya dilakukan dalam kerangka pengembangan seluruh aspek tumbuh kembang anak, dilakukan melalui pendekatan bermain, dan disesuaikan dengan tugas perkembangan anak. Menciptakan lingkungan yang kaya dengan “keaksaraan“ akan lebih mamacu kesiapan anak untuk memulai kegiatan calistung.”
            Fakta empirik di lapangan, banyak sekolah TK menerapkan materi calistung melampui bingkai yang dibenarkan dalam mengenalkan calistung. Standar pengajaran calistung di TK yang hanya pengenalan banyak terdefiasi menjadi pembelajaran terstruktur. Tidak dapat dipungkiri banyak orang tua ketika menyekolahkan anaknya ke TK memiliki harapan anaknya segera bisa calistung, sebuah niat yang tidak sejalan dengan standard kurikulum yang baku. Anehnya, penyelenggara TK pun mengamini keinginan orang tua itu dan mengabaikan standard kurikulum yang seharusnya diterapkan dalam kurikulum TK.
            Mengajarkan calistung di TK, tidak salah, selama berada pada koridor pengenalan melalui pendekatan bermain dan disesuaikan dengan perkembangan anak. Membiarkan  anak fase praoperasional (2-6 tahun), belajar menggunakan bahasa dan menggambarkan objek dengan imajinasi dan kata-kata melalui aktivitas bermain adalah pembelajaran yang sesuai dengan fase perkembangan kognitif anak TK.
            Memaksakan anak TK untuk belajar calistung secara terstruktur kita bisa analogikan dengan memaksa mangga yang dipetik sebelum matang kemudian kita karbit, pasti rasa mangga yang matang karena karbit dengan yang matang secara alami di pohon akan berbeda. Minimnya edukasi kepada orang tua tentang konsep pendidikan TK yang benar membuat kondisi salah kaprah ini akan terus terjadi. Sekolah TK “terpaksa” mengikuti selera orang tua karena mempertimbangkan nasib pengajar dan eksistensi lembaganya. Ketika sebuah  TK tidak memenuhi selera orang tua, maka TK tersebut akan ditinggalkan dan lama kelamaan TK tersebut akan tutup karena tidak memiliki murid.
            Keinginan orang tua terhadap kemampuan calistung anaknya di TK sering merupakan implikasi dari sebuah sistem kebijakan di sekolah dasar (SD). Meski dilarang, ada beberapa sekolah SD favorit menerapkan pola seleksi masuk dengan menitikberatkan kemampuan calistung pada calon peserta didiknya. Kebijakan ini jelas bertentangan dengan surat edaran Direktorat Jendral Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah yang melarang adanya tes masuk bagi calon peserta didik di SD.
            Sebuah fakta yang memperjelas bahwa terjadinya penyimpangan pembelajaran calistung di TK tidak bisa berdiri sendiri namun adalah implikasi sistem pendidikan di atasnya (SD) adalah kasus dikeluarkannya delapan murid SD yang terletak di Kecamatan Cibalang Garut baru-baru ini karena tidak bisa membaca. Terus,  tugasnya guru SD itu apa?
            Mendikbud saat melakukan sosialisasi Kurikulum 2013 di depan sekitar 350 rektor, pejabat Dinas Pendidikan, kepala sekolah, dan guru se-Jawa Tengah, memerintahkan kepada Kepala Dinas Pendidikan untuk melarang sekolah dasar melakukan tes calistung atau membaca, menulis, dan berhitung saat masuk SD. Menurut Mendikbud, idealnya seorang siswa yang masuk SD baru bisa membaca, menulis, dan berhitung, bukan diajarkan saat taman kanak-kanak.  Mendikbud mengatakan taman kanak-kanak seharusnya diisi siswa untuk bersosialisasi, bukan untuk belajar calistung. "Taman kanak-kanak itu bukan sekolah. Sebab, yang namanya sekolah adalah dimulai dari SD, dan seterusnya," katanya. Oleh karena itu, kata M. Nuh (Mendikbud), untuk mengurangi beban siswa dalam melakukan belajar, sebaiknya di TK tidak diajarkan calistung, dan calistung diajarkan saat kelas 1 SD. "Dalam Kurikulum 2013 beban siswa dalam belajar justru akan menjadi ringan," katanya.
            Saat instruksi Menteri Pendidikan tidak lagi menjadi acuan penyelenggaraan pendidikan di lapangan, maka praksis pendidikan di negeri ini akan kacau. Dengan dalih mengikuti perkembangan zaman, acuan penyelenggaraan pendidikan menjadi diacuhkan. Sekali lagi, di TK hanya diperbolehkan pengenalan calistung, karena perkembangan kognitifnya hanya mampu sebatas itu, bukan pembelajaran calistung terstruktur. Bila dijumpai peserta didik yang memiliki kemampuan di atas rata-rata, bisa karena memiliki kecerdasan lebih atau karena pengenalan lebih dini pembelajaran calistung oleh orang tua di rumah, dan jumlahnya mungkin  tidak banyak, tetap perlu ada perlakuan khusus. Anak-anak berkemampuan lebih tersebut memerlukan bimbingan terpisah agar pengenalan calistung bagi siswa yang lain tetap berjalan efektif.
            Kontradiksi pendapat tentang pengenalan calistung di TK mestinya tidak perlu diperdebatkan lagi. Kita semua (Kemdikbud, TK dan orang tua) harus memegang teguh konsep pelaksanaan pendidikan di TK yang  menganut prinsip: ”Bermain sambil Belajar dan Belajar seraya Bermain”. Memaksakan anak belajar di luar kemampuan kognitifnya sama artinya memaksa mematangkan buah yang belum waktunya. Biarlah anak tumbuh secara alami sesuai tahapan fase perkembangan kognitifnya ! (Wahyudi Oetomo)

Penggajian Berkeadilan dan Tidak Melanggar UU Guru dan Dosen


Semenjak guru menerima Tunjangan Profesi Guru (TPG), para guru kerap dibuat “olahraga jantung” oleh berbagai kabar “tidak jelas” mengenai TPG. Beberapa waktu yang lalu, para guru dibuat resah ketika ada kabar bahwa Uji Kompetensi Guru (UKG) yang akan dilaksanakan bulan Nopember berhubungan dengan penerimaan TPG. Kabar yang meresahkan terbaru di kalangan guru adalah akan diterapkannya sistem penggajian tunggal (single salary) yang membawa konsekuensi dihapuskannya TPG. Dalam sistem ini hanya ada 2 komponen gaji PNS yakni gaji pokok yang mencapai 75% dari total penghasilan serta capaian kinerja yang prosentasenya adalah 25%.
            Sebenarnya kabar pemberlakuan sistem penggajian tunggal telah santer terdengar pada awal tahun 2015. Namun, hingga usia tahun 2015 hampir berakhir rupanya pemerintah masih belum menerapkan aturan tersebut. Karena sistem penggajian tunggal merupakan amanat Undang-Undang Aparatur Sipil Negara (ASN) maka penerepan UU tersebut tinggal menunggu waktu. Apakah Kementerian Pendayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemenpan RB) akan menerapkan tahun 2016, belum ada informasi yang jelas. Mestinya pemerintah melalui Kemenpan RB harus menyosialisasikan kebijakan tersebut khususnya kepada PNS yang akan terkena dampak dari penerapan aturan tersebut. Jangan sampai ketika aturan tersebut mulai diterapkan muncul gelombang protes dari PNS guru sebagai salah satu pihak yang akan terkena dampak penerapan sistem penggajian tunggal. Jika selama ini PNS guru menerima TPG, maka saat sistem penggajian tunggal diterapkan tunjangan sertifikasi itu akan dihapus.
            Jika benar pemberlakuan sistem penggajian tunggal akan menghapus TPG dan take home pay PNS guru mengalami penurunan drastis pasti akan menimbulkan aksi penolakan dari para guru PNS yang jumlahnya sekitar 1,7 orang. Penulis khawatir aksi penolakan itu akan memicu gerakan mogok mengajar secara nasional, dan itu adalah implikasi serius yang harus diantisipasi oleh pemerintah sebelum merealisasi aturan penggajian tunggal. Jangan sampai tujuan pemerintah melalui Kemenpan RB untuk menerapkan sistem penggajian tunggal yang muaranya adalah agar PNS memberikan pelayanan secara optimal kepada masyarakat justru menjadi kontraproduktif akibat ada sebagian PNS justru merasa dirugikan akibat dari penerapan aturan tersebut.
            Proporsi komponen gaji pokok dan capaian kinerja bagi guru PNS tak begitu penting, karena yang terpenting bagi guru PNS jumlah uang yang mereka bawa pulang (take home pay) besarnya tidak kurang dari jumlah gaji mereka ditambah dengan satu kali gaji pokok. Pemberian tambahan TPG bagi guru yang telah lulus sertifikasi merupakan realisasi UU Guru dan Dosen. Saat muncul kebijakan baru, sementara UU yang lama masih berlaku dan memiliki kekuatan hukum dilaksanakan maka rentan muncul penolakan oleh guru PNS yang selama ini merasakan “nikmatnya” tambahan penghasilan melalui TPG.
            Niat baik pemerintah untuk mengapresiasi PNS yang memiliki kinerja baik dengan memberikan reward yang lebih besar daripada PNS yang malas tentu kita sambut positif. Demikian juga guru PNS, guru yang rajin dan berdedikasi tinggi akan mendapat penghargaan dalam bentuk penghasilan yang lebih dari pada guru yang jarang masuk, mengajar seenaknya, dan tak berprestasi. Mudah-mudahan aturan yang tengah disiapkan pemerintah berkaitan kebijakan penggajian tunggal, yang berangkat dari keinginan meningkatkan kualitas kinerja PNS tidak akan sedikitpun merugikan guru.
            Penulis sepakat jika PNS termasuk guru di dalamnya yang memiliki kinerja baik akan mendapat penghasilan lebih dalam bentuk tunjangan kinerja. Azas keadilan dalam penggajian adalah tuntutan terhadap peningkatan kualitas dan kinerja PNS. Gaji PNS yang rajin dengan yang malas mestinya memang harus berbeda. Bila selama ini antara yang rajin bekerja dengan yang rajin main catur di jam kerja gajinya sama saja. Saatnya pemerintah menghargainya PNS yang berkinerja baik.
            Kita respek terhadap sikat ketua PB PGRI Sulistyo selama ini memperjuangkan nasib guru agar kesejahteraannya lebih baik. Banyak statemen ketua PGRI yang memposisikan membela guru. Mudah-mudahan suara ketua PGRI ini masih di dengar oleh pemerintah sehingga aturan yang akan dikeluarkan oleh pemerintah tidak merugikan guru, aturan penggajian yang berkeadilan dan tidak melanggar UU Guru dan Gosen. Semoga ! (Wahyudi Oetomo)

Merekrut Guru Hebat untuk Kemajuan Bangsa

Berbagai terobosan baru dilakukan oleh perintah saat ini untuk memperbaiki semua aspek kehidupan bangsa ini untuk menuju Indonesia yang lebih baik. Salah satu yang akan dirubah adalah pola rekrutmen guru PNS.  Menurut Mendikbud Anies Baswedan, perlu ada reformasi dalam rekrutmen guru,  karena selama ini menurutnya rekrutmen guru begitu longgar, tanpa ada seleksi kompetensi.
            Meski baru sebatas lontaran pernyataan lisan oleh pejabat Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, namun karena yang berbicara adalah orang nomor satu di Kemdikbud dan diperkuat oleh Direktur Pendidik dan Tenaga Kependidikan (Dirdiktendik) Kemenristekdikti, Supriadi Rustad, tentang perubahan pola rekrutmen guru PNS layak kita anggap sebagai informasi akurat. Ini berarti, bagi sarjana kependidikan yang ingin diangkat menjadi PNS (Pegawai Negeri Sipil) wajib lulus program pendidikan profesi guru (PPG) yang wujudnya adalah praktik mengajar di daerah pedalaman, sama dengan program SM3T (Sarjana Mengajar di Daerah Terdepan, Terluar, dan Tertinggal), setelah mengikuti program mengajar di daerah pedalaman mereka akan diasramakan, total waktu yang diperlukan kedua kegiatan tersebut adalah dua tahun.
            Program guru mendidik di daerah pedalaman, adalah program yang tepat untuk menumbuhkan mental guru sejati, bukan sekedar guru biasa. Guru-guru muda yang mengikuti  praktik mengajar di pedalaman  akan diuji kecintaannya pada negara, komitmennya untuk memajukan bangsa melalui pendidikan. Jika guru-guru yang baru tumbuh dari guru-guru yang memiliki nasionalisme yang tinggi, maka akan lebih mudah membangun dunia pendidikan yang berkualitas.
            Selepas mengikuti program SM3T, guru-guru yang ingin menjadi PNS harus menjalani pendidikan yang diasramakan. Menurut penjelasan Dirdiktendik, Supriadi Rustad, “ketika masa pendidikan asrama, mereka bukan berarti enak-enakan saja. Calon guru pada tahap ini dilatih disiplin waktu yang ketat.” Negeri ini membutuhkan guru-guru yang cinta pada negerinya, sehingga memiliki kesungguhan untuk memajukan negeri ini melalui pendidikan, dan diimplementasikan dengan cara menjadi guru yang bertanggung jawab pada tugasnya. Pola perekrutan guru PNS melalui kombinasi program SM3T dan pendidikan asrama yang disiplin, diharapkan menghasilkan guru-guru hebat yang memiliki semua kompetensi yang dibutuhkan, kompetensi paedagogik, personal, maupun sosial.
            Sebagai sebuah terobosan baru dalam merekrut guru PNS, optimisme terhadap perbaikan kualitas pendidikan di masa depan harus dimunculkan saat pola  ini diterapkan. Namun begitu, ada beberapa hal yang mesti dicermati agar pola baru perekrutan guru PNS ini tidak sekedar bagus pada tataran teori namun tidak konsisten dalam implementasinya. Misalnya, saat program baru ini juga dijadikan sebagai pemetaan kebutuhan guru, maka guru-guru baru yang lolos dalam perekrutan harus bersedia ditempatkan di daerah pedalaman dalam jangka waktu tertentu, misal minimal lima tahun. Jangan sampai guru-guru baru itu hanya menjalani satu sampai dua tahun di pedalaman setelah itu  minta mutasi ke wilayah kabupaten/kota.
            Hal lain yang juga harus diperhatikan oleh pemerintah sebelum merekrut guru-guru baru adalah koordinasi antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah dalam hal formasi guru PNS di daerah. Jangan sampai calon-calon guru yang lolos dalam seleksi PPG, tidak terserap oleh pemerintah daerah karena  tidak ada formasi untuk mereka.
                Kebijakan pemerintah memberi kesempatan kepada sarjana non kependidikan untuk mengikuti seleksi PPG jangan sampai menimbulkan gejolak di kemudian hari. Jika Sarjana non kependidikan hanya diproyeksikan untuk guru produktif di SMK dan tidak kepada semua jurusan maka resiko penentangan dari mahasiswa jurusan kependidikan dapat diminimalisir. Tiga tahun silam puluhan mahasiswa Universitas Negeri Surabaya (UNESA) berdemo di gedung DRPD menolak sistem penerimaan guru melalui PPG yang memberikan kesempatan yang sama kepada sarjana kependidikan dan non kependidikan, dimana menurut mereka tidak adil.
            Kita semua berharap program baru untuk merekrut guru PNS dapat melahirkan guru-guru hebat yang memiliki komitmen untuk memajukan dunia pendidikan nasional. Guru sebagai komponen penting dalam upaya meningkat kualitas pendidikan sudah saatnya digawangi anak-anak bangsa yang hebat, cinta tanah airnya, dan memiliki seluruh kompetensi yang diperlukan oleh seorang guru. Anies Baswedan, Mendikbud, sepakat jika rekrutmen guru diperketat kita akan  mendapatkan guru-guru yang berkualitas. Semoga! (Wahyudi Oetomo)

Menumbuhkan Budi Pekerti Mencegah Kemerosotan Moral Bangsa


Bangsa kita yang terkenal dengan penduduknya yang ramah, santun, suka menolong, hormat pada orang yang lebih tua, toleran, dan sederet sifat yang lain sebagai refleksi bangsa yang berbudi pekerti luhur kini ditengarai  mulai mengalami kemerosotan budi pekerti. Kini, penduduk negeri ini kerap berprilaku sangat bringas, destruktif, egois, individualis, intoleran, tak lagi memiliki sopan santun pada orang yang lebih tua, dan  perilaku lain yang tak mencerminkan sebagai bangsa yang menjunjung tinggi  moral dan budi pekerti luhur. Jika melihat berbagai fakta kemerosotan budi pekerti  penduduk negeri ini maka penumbuhan kembali nilai-nilai luhur bangsa ini melalui penumbuhan budi pekerti di sekolah cukup urgen. Jika tidak, negeri ini terus akan terpuruk karena moral dan budi pekerti rakyatnya terus mengalami kemerosotan.
                   Tempat yang dianggap paling efektif untuk menumbuhkan budi pekerti di dada penduduk negeri ini dimulai di sekolah. Pencanangan program Penumbuhan Budi Pekerti (PBP)  oleh Mendikbud Anies Baswedan salah satu tujuannya adalah menumbuhkan budi pekerti anak bangsa. Menumbuhkan budi pekerti anak di sekolah melalui kegiatan nonkurikuler yang sederhana jelas adalah investasi yang tidak dapat dipetik seketika. Menumbuhkan budi pekerti bisa diibaratkan menanam pohon berusia tahunan, yang bisa kita rasakan buahnya setelah bertahun-tahun kita merawat dan menjaganya.
            Apa yang dicanangkan oleh Mendikbud tentang penumbuhan budi pekerti disekolah sejatinya bukan sesuatu yang baru. Pencanangan program PBP oleh Mendikbud  ini menurut penulis adalah upaya menciptakan momentum baru untuk menggugah kesadaran para praktisi pendidikan dan orang tua akan perlunya upaya terus menerus menumbuhkan budi pekerti peserta didik. Jika kita melihat lingkup kegiatan PBP beserta pengembangannya, terlihat sangat jelas bahwa tujuh hal dalam lingkup kegiatan PBP adalah kegiatan yang sudah biasa dilakukan di sekolah. Misalnya, kegiatan berdoa sebelum dan sesudah pelajaran, melaksanakan upacara bendera, belajar kelompok, pertemuan sekolah dengan orang tua, menggunakan 15 menit sebelum pelajaran untuk membaca buku selain buku mata pelajaran, membiasakan penggunakan sumber daya sekolah (air, listrik, telepon, dan lain-lain) secara efisien, dan mengadakan pameran karya siswa.
            Sebagai upaya menciptakan momentum agar upaya penumbuhan budi pekerti terus dilakukan oleh sekolah dan orang tua maka pencanangan PBP melalui Permendikbud No. 23 Tahun 2015 harus tetap disambut dengan positif dan optimis. Gerakan PBP di sekolah sejatinya telah dilakukan sejak lama dan bersifat rutin. Pertanyaan yang muncul, jika sekolah sudah sejak lama menerapkan PBP dan rutin, mengapa moral dan budi pekerti penduduk negeri ini kian hari terus mengalami kemerosotan? Apa yang salah dengan dunia pendidikan kita?
            Sekali lagi, gerakan penumbuhan budi pekerti adalah investasi jangka panjang. Hasil usaha penumbuhan budi pekerti baru bisa dilihat setelah melewati rangkaian proses yang panjang. Tahapan penumbuhan budi pekerti mengikuti alur : diajarkan – dibiasakan – dilatih konsisten – menjadi kebiasaan – menjadi karakter – menjadi budaya. Upaya penumbuhan budi pekerti yang berujung pada terbentuknya individu-individu berbudi pekerti baik tidak mungkin selesai di satu jenjang pendidikan. Untuk itu, mengukur keberhasilan PBP pada setiap jenjang pendidikan cukup mengukur proses. Pengawas sekolah bisa melakukan monitoring dan evaluasi proses berlangsungnya penumbuhan budi pekerti di sebuah sekolah.
            Untuk mengetahui apakah sebuah sekolah telah melaksanakan tujuh langkah upaya penumbuhan budi pekerti secara konsisten atau tidak, pengawas sekolah dapat melakukan visitasi “dadakan”  ke sekolah binaannya. Datanglah hari senin pagi untuk mengetahui sekolah tersebut rutin mengadakan upacara bendera atau tidak, budaya membuang sampah di tempatnya bisa diamati saat istirahat, untuk mengamati budaya baca lihatlah  volume peminjaman buku non pelajaran di perpustakaan. Menciptakan sekolah sebagai pusat pengajaran dan pusat pendidikan adalah tugas penyelenggara sekolah dan pengawas sekolah punya kewajiban menegur kepala sekolah jika proses penumbuhan budi pekerti sebagai bagian dari proses pendidikan peserta didik tidak berjalan optimal.
            Kita semua pasti sepakat bahwa upaya menumbuhkan budi pekerti yang baik dalam diri peserta didik perlu dilakukan secara sinergi antara sekolah dengan orang tua. Konsistensi penanaman nilai-nilai budi pekerti luhur antara sekolah dan orang tua harus terjaga. Jangan sampai usaha keras dari salah satu pihak untuk membentuk manusia yang berkarakter dan berbudaya baik dimentahkan oleh pihak yang lain. Orang tua perlu juga melakukan fungsi kontrol terhadap optimalisasi usaha sekolah dalam menumbuhkan budi perkerti. Akses orang tua bisa melalui pertemuan rutin antara sekolah dengan orang tua.
            Akhirnya, kita semua tahu bahwa semua sekolah di negeri ini pasti telah melakukan berbagai upaya untuk menumbuhkan budi pekerti peserta didiknya,  jauh sebelum terbitnya Permendiknas tentang PBP. Kehadiran Permendiknas tersebut, mari kita sambut dengan prasangka baik bahwa Mendikbud perlu momentum untuk mengingatkan sekolah dan orang tua bahwa penumbuhan budi pekerti adalah upaya terus menerus. Investasi jangka panjang ini akan kita petik di masa depan.
(Wahyudi Oetomo)

PEKERJA ANAK, PROBLEM KITA SEMUA

Semua anak di negeri ini adalah asset bangsa ini kelak di masa depan. Dan semuanya pasti sepakat bahwa seluruh anak di negeri ini harus tumbuh secara wajar dan sehat, secara fisik dan mental. Tak ada satu pun orang tua yang rela membiarkan anak-anaknya turut bertanggung jawab terhadap kebutuhan keluarga. Meski pada akhirnya sebagian orang tua “terpaksa” membiarkan anak-anak mereka turut membantu ekonomi keluarga karena ketidakmampuan orang tua memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga.
            Pekerja anak (child labour), merujuk pada pekerja  di bawah usia 18 tahun. Pekerja anak tumbuh karena ketidakmampuan orang tua memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga . Sebagian besar tumbuhnya pekerja anak karena faktor kemiskinan. Semakin besar jumlah pekerja anak di negeri ini. maka bisa menjadi indikasi bahwa  angka kemiskinan di negeri ini juga tinggi. Menurut data Komisi Nasional Perlindungan Anak, jumlah pekerja anak di Indonesia pada tahun 2010 sekitar 3,5 juta anak, sedangkan menurut data BPS ada sekitar 4 juta anak usia 7 sampai dengan 18 tahum terpaksa bekerja untuk memenuhi kebutuhan ekonomi keluarganya. Anak-anak pekerja tersebut terdapat diseluruh wilayah Indonesia, tersebar di daerah yang menjadi tempat pekerja seperti pelabuhan, industri, pertambangan, perkebunan, dan rumah tangga.
            Jika angka kemiskinan di negeri ini terus meningkat, maka upaya untuk mengurangi atau bahkan menghapus pekerja anak sangat sulit dilakukan (kalau tidak mau dikatakan mustahil). Tugas mengurangi dan menghapus pekerja anak  secara formal memang ada pada pemerintah, namun bila tidak didukung oleh pihak lain yang bersentuhan dengan persoalan pekerja anak, maka usaha ini akan sangat berat bagi pemerintah.
                Pada tahun 2011 ini, pemerintah menargetkan sebanyak 3.360 pekerja anak dapat ditarik dari tempat kerjanya. Menakertrans Muhaimin Iskandar dalam Rapat Kerja dengan Komisi IX DPR RI mengatakan: "Saya menyatakan warning kepada perusahaan dan orang tua yang memperkerjakan anak. Itu peringatan yang tegas, kami peringatkan sekali lagi,  siapa saja yang melanggar akan segera ditindak sesuai hukum yang berlaku.”
            Menurut Menakertrans, pemerintah berkomitmen untuk menghapus pekerja anak. Komitmen ini terlihat dengan diratifikasinya kedua Konvensi ILO (Organisasi Buruh Internasional) Nomor 138 mengenai Usia Minimum untuk diperbolehkan Bekerja dan Nomor 182 mengenai Pelarangan dan Tindakan segera penghapusan Bentuk-bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak. Selain itu isi substansi tehnis kedua Konvensi ILO terdapat pada Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Oleh  karena itu, para pelanggar bisa dijerat Undang-undang Ketenagakerjaan (UU No. 13 Tahun 2003) dan UU tentang Ratifikasi Konvensi ILO pada Pekerjaan terburuk untuk anak (UU No.20 Tahun 1999 dan UU No 1. Tahun 2000) atau UU Kekerasan Dalam Rumah Tangga.
            Lalu, apakah sekedar memberikan warning kepada perusahan dan orang tua dengan ancaman hukuman yang berat persoalan pekerja anak dengan mudah dapat diselesaikan? Jika tumbuhnya pekerja anak hanya sekedar mengeksploitasi anak untuk memperoleh kepentingan ekonomi, karena upah pekerja anak jauh lebih  murah dari pekerja dewasa, maka memberantas pekerja anak akan mudah dilakukan. Tapi, jika tumbuhnya pekerja anak karena tuntutan pemenuhan kebutuhan perut, maka persoalan pekerja anak tidak cukup diselesaikan dengan cara memberikan peringatan dan ancaman kepada perusahaan dan orang tua yang mendorong praktik pekerja anak.
            Saat orang tua tidak punya pilihan untuk memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga selain memperkerjakan anak adalah memperdagangkan anak (Child trafficking). Kedua bentuk eksploitasi anak tersebut semestinya memang harus dihentikan. Alasan kemiskinan bukan pembenaran untuk mengeksploitasi anak, sehingga masa depannya akan gelap, terutama karena anak-anak tersebut tidak punya kesempatan untuk mengenyam pendidikan yang baik.
            Melakukan penyadaran mengenai pentingnya memberikan ruang tumbuh dan berkembang bagi anak secara sehat dan wajar, kepada orang tua yang berasal dari keluarga miskin harus senantiasa dilakukan oleh pemerintah melalui dinas terkait, atau oleh lembaga swadaya masyarakat, agar anak tumbuh menjadi pribadi yang sehat, mandiri, dan trampil tanpa harus menjadi pekerja anak.
            Upaya penting mengurangi semakin meningkatnya jumlah pekerja anak di negeri ini adalah melalui sentuhan dunia pendidikan. Dunia sekolah melalui guru dapat secara intens memberikan pemahaman khususnya kepada peserta didik yang berasal dari keluarga tidak mampu agar selalu tetap memelihara semangat untuk bersekolah. Sekolah harus selalu mengupayakan agar peserta didik tidak putus sekolah, terutama karena alasan ketidakmampuan membayar biaya sekolah.
            Penanaman kesadaran kepada orang tua agar tidak memaksakan anak turut menanggung beban ekonomi keluarga harus dilakukan secara intens lewat penyuluhan secara berkala di kantong-kantong kemiskinan, ini bisa dilakukan oleh pemerintah melalui dinas sosial, atau oleh komisi perlindungan anak. Pelibatan lembaga swadaya masyarakat yang concern pada penyelamatan masa depan anak juga harus dilakukan. Meskipun upaya menghapus praktik pekerja anak sama sekali adalah pekerjaan mustahil selama kemiskinan mendera sebagian masyarakat kita, namun upaya untuk mengurangi angka pekerja anak di negeri ini harus tetap dilakukan dengan sekuat tenaga. Semua anak di negeri ini harus tumbuh dan berkembang secara wajar, dan memperoleh layanan pendidikan yang optimal. Upaya ini harus dilakukan oleh kita semua, karena masalah pekerja anak adalah masalah kita semua. (Wahyudi Oetomo)

ALASAN GURU MENGAJUKAN PENSIUN DINI HANYA SEKEDAR UANG?


Saat banyak anak muda mulai mendambakan berprofesi sebagai guru, ada fenomena ”aneh” di kalangan guru-guru senior, yaitu semakin meningkatnya guru yang mengajukan pensiun dini. Di Jawa Timur saja ada sekitar 300-an guru pada bulan Maret hingga April 2015 mengajukan pensiun dini ke pemerintah. Kesempatan yang dibuka oleh KemenPAN-RB  kepada PNS untuk mengajukan pensiun dini bagi yang sudah memiliki masa kerja minimal 25 tahun, demi kepentingan efisiensi anggaran dan kinerja birokrasi ternyata pada tataran implementasi tidak mudah dilakukan. Dengan alasan di beberapa daerah masih kekurangan guru, maka pengajuan pensiun dini oleh beberapa guru ditolak pemerintah, seperti di Jawa Timur.
            Fenonema pengajuan pensiun dini di kalangan guru sungguh pasti mengundang banyak tanya. Saat kesejahteraan guru kian meningkat sejalan dengan diberlakukannya program sertifikasi guru, ada yang aneh ketika para guru yang mengalami peningkatan kesejahteraan itu lalu memilih untuk mengajukan pensiun dini.  Ketika ada yang beralasan ingin berwirausaha dengan modal hasil sertifikasi, rasanya alasan itu terlalu pragmatis dan sangat merendahkan profesi guru karena profesi guru hanya dijadikan sarana untuk mencari uang banyak, setelah terkumpul banyak lalu ditinggallah profesi itu.
            Guru-guru yang telah melewati masa kerja 25 tahun tentulah bukan guru yang kebetulan, juga bukan guru-guru “instan”, guru-guru yang telah melewati masa kerja 25 tahun tentulah bukan guru-guru materialistis, karena pasti mereka berangkat dari gaji kecil, dan mereka menjalaninya bertahun-tahun. Pasti akan sangat menyakitkan bila guru-guru senior itu divonis hanya berorientasi materi ketika menjadi seorang guru. Jika guru-guru itu materialistis tentulah tidak akan meninggalkan profesi sebagai guru, apalagi mereka adalah guru yang sudah sertifikasi.  Dana sertfiifikasi yang mereka terima tiap tiga bulan sekali adalah pendapatan pasti, belum tentu jumlah nominal yang sama akan mereka peroleh bila beralih sebagai wirausahawan, apalagi mereka belum punya pengalaman sebagai seorang wirausahawan.
            Perlu ada kajian dan penelitian yang shahih untuk menjawab secara pas mengapa banyak guru senior lebih memilih mengajukan pensiun dini daripada terus menjadi seorang guru dengan tunjangan sertifikasi. Kita semua mungkin sepakat bahwa itikat pemerintah untuk memberikan tunjangan sertifikasi adalah sebagian cara meningkatkan kesejahteraan guru, yang diharapkan dapat meningkatkan kinerjanya dan lebih fokus menjalankan tugasnya. Namun, yang terjadi di lapangan justru kerap membuat suasana di tempat kerja kurang kondusif. Jumlah jam mengajar minimal 24 jam seminggu  sering  menimbulkan konflik antar guru. Ada sebagian guru harus mencari tambahan jam mengajar di sekolah yang lain, dan ini bagi sebagian guru bukan kondisi yang nyaman. Mungkin saja ini menjadi salah satu penyebab bagi sebagian guru memilih mengajukan pensiun dini daripada membuat repot mereka.
            Dugaan penyebab yang lain fenomena pengajuan pensiun dini di kalangan guru adalah penerapan penilaian kinerja guru (PKG). Penilaian kinerja guru bagi sebagian guru juga dianggap merepotkan. Tahapan penilaian kinerja guru mulai dari tahap sebelum pengamatan, selama pengamatan, hingga setelah pengamatan bagi beberapa guru  yang tidak terbiasa diobservasi atau disupervisi adalah momen yang menegangkan. Penilaian kinerja guru dilaksanakan untuk mewujudkan guru yang profesional, namun bagi sebagian guru dianggap menyulitkan guru.  Integrasi antara PKG dengan penghitungan nilai angka kredit guru atas kinerja pembelajaran, pembimbingan, atau pelaksanaan tugas tambahan yang relevan untuk kenaikan pangkat dan jabatan fungsionalnya telah membuat sebagian guru berfikir bahwa untuk naik pangkat saja terlalu banyak prosedur yang harus dilalui oleh seorang guru, lalu mereka akan membandingkan dengan pegawai negeri lain yang bisa naik tanpa melalui prosedur yang rumit.
            Saat bertahun-tahun guru tidak merasa nyaman dengan apa yang dialami maka ketika ada peluang untuk mengajukan pensiun dini maka kesempatan itu akan diambil. Jangan katakan pada guru-guru yang mengajukan pensiun dini itu tidak punya idealisme. Bila yang mengatakan itu adalah pejabat pemerintah di lingkungan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mestinya perlu introspeksi mengapa mulai banyak guru merasa jenuh menjadi guru disaat guru memperoleh pendapatan yang lumayan besar.
Kerap guru harus mengalah dengan sistem dan guru tidak punya keberanian untuk melawannya meskipun bertentangan dengan idealismenya. Ini juga mungkin menjadi penyebab mulai banyak guru mengajukan pensiun dini. Ada banyak guru yang tak mampu mengelak dari tuntutan sistem karena resikonya terlalu besar jika melawan arus, mereka akhirnya memilih patuh. Dengan dalih prestise sekolah dan tekanan penguasa banyak guru terpaksa tunduk pada praktik “kotor” dalam pelaksanaan ujian nasional. Ketika ada peluang untuk mengakhiri itu semua dengan cara mengajukan pensiun dini, maka ditempuhlah jalan itu.
            Jangan buru-buru menuduh pada guru-guru yang mengajukan pensiun dini adalah guru-guru yang tidak punya idealisme dan hanya berorientasi materi. Kita boleh memvonis guru-guru tersebut tidak pantas menjadi guru bila terbukti alasan mereka mengajukan pensiun dini karena ingin berwirausaha bermodalkan uang hasil sertifikasi. Namun, bila bukan itu alasannya tapi karena jenuh dengan sistem yang ada dan membuat mereka tidak bisa berkembang dalam karir dan jabatan, serta karena tidak tahannya para guru itu  terhadap berbagai praktik kotor yang terjadi di sekitar lingkungan kerjanya, maka ada yang perlu diperbaiki dengan sistem yang bersentuhan dengan aktivitas guru sebagai sebuah profesi. Menuntut guru profesional dalam tugasnya adalah kewajiban negara, namun membebani guru terlalu berlebihan dengan tuntutan yang sulit dilaksanakan oleh guru juga tidak bijak. (Wahyudi Oetomo)

Membangun Generasi Cerdas Komprehensif

Ibarat generasi emas Indonesia adalah sebuah busana kebesaran yang kelak akan dipakai menjadi busana kebangggaan, saat ini kita tengah merendanya menjadi busana yang indah. Sebuah pekerjaan yang tidak ringan, dan cukup banyak pernak-pernik yang harus disiapkan dalam rangka mencetak generasi emas Indonesia.
            Dalam sambutan memperingati hari pendidikan nasional 2014, Mendikbud, M. Nuh, menyampaikan: “Insya Allah, melalui kurikulum 2013, anak-anak kita akan memiliki kompetensi utuh yang mencakup sikap, pengetahuan, dan keterampilan. Itu semua kita lakukan dalam rangka mempersiapkan generasi emas, yaitu generasi yang kreatif, inovatif, produktif, mampu berpikir orde tinggi, berkarakter, serta cinta dan bangga menjadi bangsa Indonesia, Dengan generasi emas itulah, kita bangun peradaban Indonesia yang unggul, menuju kejayaan Indonesia 2045.”
                Di tengah kontroversi pemberlakuan kurikulum 2013, ternyata bagian penting dari bangunan pendidikan nasional, yakni kurikulum 2013 diletakkan sebagai bagian yang sangat sentral dalam mempersiapkan generasi emas. Kurikulum 2013 yang menurut sebagian pemerhati pendidikan terlalu dipaksakan untuk diterapkan pada tahun pelajaran yang akan datang (2014/2015) telah dianggap sebagai sarana ideal untuk menyiapkan generasi yang unggul.
            Investasi sumber daya manusia (SDM) adalah investasi jangka panjang. Membangun generasi emas di masa depan, sebagai bentuk investasi SDM jangka panjang, dibangun melalui dunia pendidikan yang bermutu. Jangan pernah bermimpi membangun generasi emas yang cerdas komprehensif di masa depan bila kualitas pendidikan nasional masih termarjinalisasi oleh paradigma pendidikan yang berorientasi kuantitas. Bila insan pendidikan beserta pemangku kepentingannya lebih bangga akan kelulusan seratus persen dari pada mengedepankan kejujuran, maka obsesi membangun generasi emas yang cerdas komprehensif hanyalah fatamorgana.
            Harapan membentuk generasi emas melalui grand design pendidikan, yang menekankan pada pendidikan dasar berkualitas dan merata, tentu saja harus tetap ditumbuhkan. Bonus demografi, yakni jumlah penduduk usia produktif yang lebih tinggi dibandingkan jumlah usia anak-anak dan orang tua  pada tahun 2045, akan menjadi bonus yang memiliki nilai tambah jika desain pendidikan nasional mampu membangun generasi yang saat ini masih berada di rentang usia 0 – 20 tahun  menjadi generasi unggul. Namun, bonus itu justru jadi beban bila dunia pendidikan kita tidak mampu mengantarkan generasi “bonus” itu menjadi generasi cerdas komprehensif. Pendidikan yang mencerdaskan sikap, pengetahuan, dan keterampilan yang kini sedang dibangun oleh Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) untuk merealisasikan generasi emas di tahun 2045, sebagai hadiah ulang tahun ke-100 kemerdekaan RI.
            Dinamika dunia pendidikan dua tahun terakhir, sebagai bagian merenda generasi emas, secara objektif sebagian orang mungkin kehilangan optimisme. Berbagai peristiwa dalam dunia pendidikan belakangan ini mendegradasi optimisme itu. Kasus kebocoran soal UN, perkelahian pelajar, kekerasan di sekolah, pelecehan seksual di sekolah, pemalsuan ijazah, penjiplakan karya ilmiah, korupsi dana BOS, penolakan penerapan kurikulum baru, dan beberapa peristiwa lain yang kurang lebih memiliki “rasa” yang sama.
            Jika obsesi merenda generasi emas benar-benar ingin diwujudkan, pemerintah melalui Kemdikbud harus melakukan langkah frontal yang bermuara pada peningkatan kualitas pendidikan. Langkah pertama, menyusun kurikulum yang mengakomodasi kebutuhan siswa yang menguasai kompetensi sikap, pengetahuan, dan keterampilan. Bukan kurikulum yang ganti menteri ganti kurikulum. Kurikulum yang hebat tak akan banyak bermakna bila guru pelaksana di lapangan bukan guru-guru hebat yang berkualitas. Kemdikbud memiliki kewajiban merekrut guru-guru yang berkualitas untuk mengantar generasi emas yang kita diimpikan. Langkah lain yang harus juga dilakukan oleh Kemdikbud adalah menghilangkan praktik-praktik kontraproduktif terhadap peningkatan kualitas pendidikan. Misalnya, penghapusan Ujian Nasional, atau dibiarkan tetap ada namun hanya sebagai alat pemetaan kualitas pendidikan nasional.
            Membebankan upaya menciptakan generasi emas yang cerdas komprehensif hanya kepada pemerintah melalui Kemdikbud sangat tidak adil. Upaya merenda generasi emas melalui peningkatan kualitas pendidikan harus juga dipikul oleh masyarakat dan orang tua. Kontribusi masyarakat dan orang tua bisa dalam bentuk kontribusi apa saja yang penting muaranya memberikan efek stimulasi pada peningkatan kualitas pendidikan, baik formal maupun informal.
            Akhirnya, kita berharap grand desaign yang telah dibangun oleh pemerintahan yang sekarang (era Presiden SBY), sebagai desain jangka panjang tidak serta merta diganti total oleh pemerintahan yang baru. Penyesuaian tetap perlu dilakukan agar seirama dengan visi pemerintahan yang baru, namun  kita berharap road map pendidikan jangka panjang yang konsisten tetap harus kita miliki. (Wahyudi Oetomo)

MENGEMBALIKAN PANCASILA KE SEKOLAH, MENGAPA TIDAK?


Di manakah kini Pancasila berada? Pancasila telah hilang? Maraknya  radikalisme dan kekerasan atas nama suku, agama, ras, budaya dan kian kronisnya korupsi diyakini oleh sebagian orang diakibatkan oleh kian dilupakannya Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara .
            Orde reformasi, memunculkan euforia pada saat itu, dan simbol-simbol orde baru dianggap sebagai bahaya laten yang mesti dikubur dalam-dalam, dan Pancasila ikut dipinggirkan dalam dialektika kehidupan berbangsa. Pancasila pun dalam pendidikan nasional dikikis keberadaannya. Pendidikan Moral Pancasila (PMP), sebagai sebuah mata pelajaran berubah nama menjadi Pendidikan Kewarganegaraan (PKN) tanpa ada embel-embel Pancasila-nya.
Namun, saat reformasi tak mampu memenuhi obsesi sebagian besar masyarakat berupa kesejahteraan dan keamanan, kini banyak orang merindukan masa-masa ketika masa orde baru. Masyarakat semakin muak dengan tontonan kekerasan di media massa berbalut ras, suku, agama, dan budaya. Degradasi nilai-nilai karakter bangsa telah demikian tajam menggejala di sebagian besar masyarakat kita.  Tengok saja tayangan televisi, bentrok antar kampung, peperangan antar suku, tawuran antar pelajar, tawuran antar mahasiswa, pengeboman tempat ibadah, saling hujat antar elit politik, dan kasus korupsi menjadi menu yang tak pernah sepi di layar kaca.
Lalu kemanakah karakter asli bangsa ini? Karakter penduduk Indonesia yang berbudi pekerti luhur, suka menolong, ramah-tamah, sopan-santun, toleransi, dan agamis telah ditelan bumi?  Membiarkan negeri ini terus-menerus dalam kondisi kehilangan karakter aslinya ini akan membuat negeri ini kian terpuruk, bahkan bisa jadi negeri ini akan tercerai-berai. Harus ada gerakan massif untuk menumbuhkan kembali karakter asli bangsa ini yang mulai hilang tergerus oleh pusaran arus zaman.
Dalam kurikulum pendidikan saat ini gencar disosialisasikan penyisipan (integrasi) karakter bangsa pada seluruh mata pelajaran di sekolah. Dunia pendidikan masih dipandang sebagai medium paling efektif untuk menumbuhkan kembali karakter bangsa yang perlahan tapi pasti mulai hilang dalam relung hati penduduk negeri ini. Lalu, apakah cara reaktualisasi karakter bangsa cukup efektif lewat integrasi pada seluruh mata pelajaran yang diajarkan mulai pendidikan dasar hingga menengah atas?
Kenapa tidak memilih cara menghidupkan kembali nilai-nilai budaya bangsa lewat mengembalikan format pendidikan kewarganegaraan ke pendidikan moral Pancasila? Menurut survey Biro Pusat Statistik (BPS) sekitar 80 persen masyarakat melihat Pancasila sebagai sesuatu yang dibutuhkan dan masyarakat menyadari Pancasila merupakan pilar kehidupan berbangsa dan bernegara. Mantan Presiden BJ. Habibie, dalam pidato Peringatan Hari Pancasila di  Jakarta, (1 Juni 2011)  sepakat jika akhirnya pemerintah  mengembalikan Pancasila ke sekolah.
Bagaimana format yang pas mengembalikan Pancasila ke sekolah terserah Kementerian Pendidikan Nasional (Kemendiknas). Bisa mengembalikan pelajaran kewarganegaraan menjadi PMP, bisa juga diintegrasikan kepada mata pelajaran yang ada, atau dalam bentuk muatan lokal. Harus ada kajian yang betul-betul dalam mengenai format penyajian pendidikan pancasila dalam semua jenjang pendidikan. Karena jika tidak, penanaman nilai-nilai pancasila hanya akan menjadi teori-teori verbal yang tidak pernah bersemayam dalam jiwa peserta didik.
Pendidikan Moral Pancasila (PMP) dan penataran P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila), tereleminasi dalam konten pendidikan nasional di era reformasi karena dipandang sebagai bagian simbol orde baru. Untung saja setiap upacara bendera hari senin, teks Pancasila masih dikumandangkan, sehingga anak-anak kita masih mendengar kata Pancasila dan sila-silanya. Saat orde reformasi tak mampu mewujudkan mimpi banyak rakyat akan kesejahteraan dan keamanan, banyak orang merindukan masa-masa orde baru, termasuk sebagian orang menginginkan agar Pancasila kembali diajarkan di sekolah. Keinginan itu didasarkan pada fakta kian hilangnya karakter asli bangsa ini tergerus pusaran waktu dan gempuran budaya asing.
Saat bangsa ini mulai kehilangan karakter aslinya Kemendiknas secara gencar mensosialisasi pengintegrasian nilai-nilai karakter bangsa dalam semua mata pelajaran di semua jenjang pendidikan. Kurikulum pendidikan kita sering diwarnai munculnya program dadakan yang tidak terkonsep secara matang dan instan. Beberapa tahun silam pernah ada program integrasi imtaq dalam semua mata pelajaran, kini program itu nyaris tak berbekas. Jika program integrasi  nilai-nilai karakter bangsa dalam semua mata pelajaran dilakukan tanpa konsep yang jelas dan terencana nasibnya akan sama dengan program-program sebelumnya yang hilang tak berbekas.
Kurikulum pendidikan dasar hingga menengah menurut banyak pengamat dipandang terlalu padat. Memasukkan pelajaran nilai-nilai Pancasila dalam kurikulum yang sudah ada rasanya mustahil, kasihan anak-anak kita yang terlalu banyak pelajaran yang harus dipelajari. Mengintegrasikan dengan pelajaran kewarganegaraan seperti jaman PMP adalah alternatif yang mungkin bisa dipilih. Atau menyempurnakan integrasi karakter bangsa menjadi integrasi nilai-nilai Pancasila dalam pelajaran yang sudah ada rasanya lebih realistis.
Kunci keberhasilan penanaman nilai-nilai termasuk nilai-nilai Pancasila di sekolah adalah pembelajaran kontekstual dan pengalaman nyata. Peserta didik perlu contoh tindakan nyata, bukan teori-teori verbal yang tidak ada faktanya. Sekolah adalah miniatur masyarakat nyata yang mesti konsisten dengan dunia di luar sekolah. Saat peserta didik di sekolah diajarkan budaya antri melalui pengalaman langsung, namun saat di luar sekolah mereka tidak menyaksikan budaya tersebut diterapkan oleh sebagian besar masyarakat, maka penilaian nilai-nilai di sekolah akan menjadi sia-sia.
Akhirnya, penulis berharap keinginan untuk mengembalikan pendidikan Pancasila di sekolah oleh sebagian masyarakat, dikaji secara dalam oleh Kemendiknas. Jangan sampai saat program itu diluncurkan ada kontroversi yang berkembang di masyarakat sehingga program itu tidak efektif dan ujung-ujungnya dihentikan. Kita semua masih berharap negeri ini tetap tegak kokoh dengan karakter aslinya, jika itu bisa diwujudkan dengan mengembalikan Pancasila ke sekolah, mengapa tidak? Semoga. (Wahyudi Oetomo)