Rabu, 10 Oktober 2018

Premium Naik, Lalu Dibatalkan, Ada Apa?

Pemerintah sore tadi mengumumkan kenaikan harga BBM jenis premium, setelah siang hari mengumumkan kenaikan harga pertamax dan solar non subsidi. Selang sejam, ada pengumuman susulan bahwa kenaikan harga premium dibatalkan hingga menunggu kesiapan Pertamina.

Menyaksikan kejadian kita jadi bingung, ada apa dengan pemerintah kita? Ada apa pak jokowi? Rasanya aneh, keputusan strategis dan penting harus direvisi selang satu jam hanya karena alasan menunggu kesiapan Pertamina. Pasti banyak yang beranggapan bahwa pemerintah sedang "bersenda gurau", atau menuduh pemerintah melakukan pencitraan untuk kepentingan pilpres.

Kebijakan kenaikan BBM pasti dihasilkan dari kajian yang panjang, dan tidak mungkin keputusan itu dihasilkan dari hasil pembicaran sektoral tanpa koordinasi dengan semua elemen terkait. Masyarakat yang menyaksikan jadi gaduh. Kegaduhan yang sengaja diciptakan? Entahlah, hanya pemerintah yang tahu. 

Para konsumen premium tentu merasa senang dengan pembatalan kenaikan itu. Tapi sampai kapan pemerintah mampu menahan kenaikan harga BBM bersubsidi tersebut? Harga minyak mentah dunia yang terus naik akan membuat keuangan negara akan tersedot karena sebagian komsumsi BBM kita diperoleh dari impor. Menurut pengamat ekonomi, harga keekonomian premium berada dikisaran Rp.8.500 sampai Rp.9.000. Sedangkan pemerintah masih menggunakan harga premium sebesar  Rp.6.550.

Jika dalam seminggu ke depan, atau hingga akhir tahun pemerintah tidak jadi menaikkan harga premium, padahal harga mentah dunia terus naik, maka tuduhan pencitraan akan semakin terarah pada pemerintah. Kita tunggu saja, apakah pemerintah bertindak realistis atau sekedar pencintraan untuk kepentingan pilpres 2019.

Senin, 08 Oktober 2018

Rupiah Melemah Sampai Kapan?

Sore ini rupiah ditutup melemah, Rp. 15.217 per dollar AS. Depreasiasi rupiah sejak 1 Januari 2018 hingga 8 Oktober 2018 menjadi 12,26 persen. Kondisi yang cukup menggelisahkan. Namun, Menkeu Sri Mulyani berusaha mendinginkan suasana. Lagi-lagi dikatakan penyebabnya faktor eksternal, yakni akibat kenaikan imbal hasil (yield) obligasi AS (T-bond) tenor 10 tahun yang telah melewati 3 persen.


Menteri Keuangan, Sri Mulyani, berusaha meyakinkan masyarakat bahwa fundamental ekonomi Indonesia masih relatif kuat, dan aman. Padahal pada satu sisi, cadangan devisa kita terus tergerus karena digunakan untuk mengintervensi pasar agar rupiah tidak melemah kian dalam dan untuk keperluan impor BBM.

Pertanyaannya, hingga kapan rupiah akan terus melemah terhadap dollar? Jika pelemahan rupiah terus terjadi maka efek domino yang ditimbulkan akan dirasakan masyarakat, karena produk yang beredar di masyarakat banyak yang memiliki konten impor. Misalnya, tempe akan menjadi mahal karena sebagian besar konsumsi kedelai masyarakat berasal dari impor. 

Kita juga sangat khawatir efek sosial politik terhadap pelemahan rupiah atas dollar. Di tahun politik ini, semua hal yang bersentuhan dengan kehidupan masyarakat akan memiliki resiko "digoreng" sebagai komoditi politik untuk mengambil keuntungan elektabilitas.

Memori tahun 1998, yang diawali pelemahan rupiah terhadap dollar, lalu ekonomi negara ambruk. Akibatnya muncul gerakan demonstrasi yang dimotori mahasiswa. Ujungnya, presiden Soeharto menyatakan berhenti.

Mudah-mudahan peristiwa buruk itu tidak terjadi lagi, dan ekonomi negeri ini kembali menguat bersama siapa pun presidennya. Aamiin