Senin, 23 Juli 2018

Mbah Google, Membuat Siswa Tidak Kreatif?

Teknologi tumbuh bersama perjalanan waktu. Dua puluh lima tahun silam, saat penulis masih kuliah teknologi informasi masih sangat bersahaja, dan sumber informasi ilmiah hanya bisa diperoleh secara maksimal lewat buku diktat, jurnal, majalah, dan koran. Tapi, kini hadir sumber informasi ilmiah baru yang dapat kita hadirkan di mana saja kita berada tanpa harus kehadiran benda fisik yang bertumpuk-tumpuk. Sumber informasi itu bernama internet.
            Internet kini telah menjadi kebutuhan primer baru setelah sandang, pangan, dan papan. Internet telah menjelma menjadi piranti yang mampu melayani hampir semua kebutuhan hidup manusia. Pesan tiket kereta api, transfer uang, beli barang, daftar kerja, pendaftaran siswa baru, pendaftaran mahasiswa baru, bayar listrik, mengirim surat, komunikasi jarak jauh, melihat berita, nonton televisi, mencari referensi tulisan, dan banyak kegiatan lain yang mampu dilakukan lewat internet.
            Dalam dunia pendidikan, keberadaan internet telah melayani banyak keperluan. Termasuk kebutuhan siswa-siswa kita mencari rujukan dalam mengerjakan tugas-tugasnya. Dalam dunia internet, ada mesin pencari (search engine) yang sangat akrab dikalangan siswa, bahkan menjadi andalan dalam mengerjakan berbagai tugas sekolah, yakni Google. Sebenarnya banyak mesin pencari yang lain, seperti Yahoo, Bing, Ask, dan banyak lagi, namun yang paling akrab di kalangan pelajar adalah Google, atau orang sering menyebutnya dengan mbah Google.
            Google selama ini menjadi sumber informasi yang paling baik bagi pelajar. Google selalu bisa menjawab apa saja yang ditanyakan pelajar. Bila kita sebagai guru memberi tugas karya tulis tentang apa saja kepada siswa kita, bisa ditebak sebagian besar karya tulis mereka berasal dari copy paste materi-materi yang dicari lewat mbah Google. Fenomena tugas copy paste, tumbuh dalam dunia pendidikan kita. Lalu, apakah fenomena ini menggembirakan karena siswa kita melek internet, atau justru menyedihkan karena mereka menjadi tidak kreatif dengan hanya menyalin tugasnya dari internet tanpa ada proses berpikir.
            Perkembangan teknologi akan terus berjalan, dan tidak mungkin terbendung. Menjadi bijak dalam memanfatkan teknologi adalah keharusan. Jangan sampai kehadiran teknologi justru membuat cara berpikir kita terpasung dan kian tidak kreatif. Jika ada seorang dosen mewajibkan  mahasiswanya mengerjakan tugas dengan ketentuan harus ditulis tangan jangan langsung divonis dosen jadul, gaptek,atau dengan sebutan lain yang memiliki arti yang sama. Bisa sang dosen punya maksud yang baik, yakni agar mahasiswanya tidak menjadi mahasiswa malas, hanya bisa copy paste pekerjaan temannya. Kalau ada juga guru yang seperti itu, juga jangan disindir dengan julukan sejenis dengan dosen tadi.
            Pemanfaatan perkembangan teknologi informasi dalam kegiatan pembelajaran harus dilihat sebagai kebutuhan. Namun, kehadiran teknologi meski membawa banyak manfaat akan muncul sisi-sisi negatif yang bila tidak diantisipasi akan sangat merugikan. Memang belum ada studi mengenai pengaruh internet sebagai sebuah produk teknologi terhadap kreativitas siswa. Jika memang kreativitas siswa menjadi rendah akibat keberadaan internet, maka jangan langsung memutuskan untuk tidak lagi menggunakan internet sebagai sumber belajar.
            Kreativitas guru mutlak diperlukan untuk menciptakan jenis kegiatan atau tugas yang meminimalisir kesempatan siswa hanya sekedar menyalin dari internet dalam menyelesaikan tugasnya. Jadikanlah internet sebagai referensi dalam menyelesaikan tugas, bukan sebagai sumber jiplakan tugas yang hanya butuh waktu beberapa menit untuk mengunduhnya, lalu mengeditnya, jadilah tugas mereka.
            Sikap mengkambinghitamkan teknologi informasi sebagai penyebab tidak kreatifnya siswa kita perlu dihilangkan. Bila kemajuan teknologi selalu disikapi dengan apriori padahal kemajuan teknologi banyak membantu pekerjaan manusia, akibatnya kita akan semakin ketinggalan dari bangsa lain. Jadikanlah kemajuan teknologi sebagai sarana meningkatkan kualitas pendidikan. Ibarat sebuah pisau, bisa menjadi barang yang sangat berguna untuk memotong sesuatu, namun dapat juga menjadi senjata pembunuh untuk alat kejahatan. Demikinan juga dengan internet, bisa juga memberikan ekses negatif, namun banyak juga manfaat yang bisa diambil terutama untuk membantu kegiatan pembelajaran di kelas.
            Mengakhiri tulisan ini, penulis berkesimpulan bahwa siswa-siswa kreatif akan tumbuh dari suasana belajar yang menumbuhkan jiwa kreatif. Tugas guru adalah menciptakan suasana belajar kreatif itu. Kreativitas siswa bisa ditumbuhkan melalui fasilitas apa saja, termasuk keberadaan teknologi internet. (Wahyudi Oetomo)

KONTRIBUSI GURU BAGI PERKEMBANGAN KOPERASI

Setiap tanggal 12 Juli kita selalu memperingati hari koperasi, dan saat itu pula kita diingatkan jasa Bapak Koperasi Indonesia, Drs. Moh. Hatta. Berbagai seremonial dilakukan untuk memperingati hari koperasi, mulai dari upacara, lomba-lomba, hingga seminar. Pada saat yang bersamaan kita disadarkan bahwa  banyak orang memperoleh manfaat dari keberadaan koperasi.
            Kehadiran koperasi sangat membantu menopang kebutuhan finansial keluarga anggotanya. Saat anggota koperasi memerlukan dana yang tidak terlalu besar dan bersifat mendadak maka koperasi sering hadir sebagai “dewa penyelamat”. Dengan jasa yang tidak terlalu besar dibandingkan perbankan, serta diakhir tahun mendapat sisa hasil usaha (SHU), koperasi mampu menjadi pilihan utama dalam hal pendanaan bagi anggotanya.
            Koperasi tumbuh menjadi kekuatan ekonomi yang paling kuat menghadapi krisis ekonomi. Saat banyak perbankan runtuh ketika terjadi krisis ekonomi pada tahun 1998, koperasi tampil sebagai kekuatan ekonomi yang mampu eksis menghadapi berbagai macam tantangan eksternal. Memang ada koperasi yang akhirnya rontok dan bubar, namun itu terjadi akibat ulah oknum pengurus yang melakukan penyimpangan .
            Dunia koperasi sempat “galau” dengan hadirnya  UU Koperasi No.17 Tahun 2012, menggantikan UU Koperasi sebelumnya yaitu UU Koperasi  No. 25 Tahun 1992. Kegalauan pegiat koperasi terhadap UU baru tersebut berpangkal dari beberapa pasal dalam UU baru  tersebut yang dikhawatirkan menyebabkan koperasi kehilangan jatidirinya, dan merubah koperasi menjadi badan yang hanya berorietansi pada modal dan bisnis, aspek kekeluargaan dan  demokrasi ekonomi dikhawatirkan menjadi hilang.

            Ditengah kegalauan itu beberapa orang pegiat koperasi dari Jawa Timur mengajukan uji materiel UU No. 17 Tahun 2012 tersebut ke Mahkamah Konstitusi (MK). Melalui proses yang panjang akhirnya MK memutuskan untuk mencabut UU No. 17 Tahun 2012 secara keseluruhan dan memberlakukan kembali UU No. 25 Tahun 1993 hinggal lahir UU yang baru.
Kontribusi Guru Bagi Perkembangan Koperasi
            Ketika berbicara koperasi dan guru, maka ada sinergi yang tidak bisa dipisahkan. Koperasi dan guru telah membentuk pola simbiosis mutualisme, keduanya sama-sama memperoleh keuntungan. Kehadiran koperasi bagi kebanyakan guru sangat terasa manfaatnya,  sedangkan bagi koperasi kontribusi guru baik sebagai anggota, pengurus dan pengawas telah membuat koperasi tetap eksis dan tumbuh kian besar.
            Hampir semua sekolah memiliki koperasi pegawai, baik yang sudah berbadan hukum maupun yang belum.  Koperasi yang tidak berbadan hukum biasanya berwujud koperasi simpan pinjam dan saat modalnya mulai membesar, sebagian modalnya kadang diserahkan kembali kepada anggotanya agar resiko terjadinya penyimpangan dan kredit macet menjadi kecil. Namun, ada juga koperasi yang tidak berbadan hukum yang anggotanya guru-guru memiliki omzet hingga ratusan juta rupiah.
            Ada banyak guru di negeri ini yang memiliki tugas tambahan sebagai pengurus atau pengawas koperasi. Sebagian besar dari guru-guru itu tidak memiliki pengetahuan yang cukup tentang akuntansi. Meski begitu, dengan ketekunan dan hati ikhlas mereka belajar dan pada akhirnya guru-guru tersebut memiliki kompetensi di bidang perkoperasian. Tak jarang pula akhirnya mereka lahir sebagai praktisi koperasi andalan dan menjadi “pakar” koperasi di daerahnya.
            Menjadi pengurus atau pengawas koperasi, bagi seorang guru, menurut penulis,  lebih banyak sebagai kerja sosial. Honor yang mereka terima dengan beban tugas yang kerjakan tidaklah imbang. Saat seorang guru yang merangkap sebagai pengurus koperasi  berhadapan dengan guru lain yang berposisi sebagai anggota yang “nakal” kerap menimbulkan konflik batin. Akhirnya, banyak guru yang tidak tahan menjadi pengurus koperasi karena tak mampu untuk selalu berkonflik dengan teman yang lain dengan alasan menegakkan peraturan yang telah disepakati.
Koperasi dan Sertifikasi Guru
            Bagi guru yang menjadi pengurus atau pengawas koperasi yang tidak memiliki karyawan sehingga semua pekerjaan dirangkap oleh pengurus, maka perlu kepiawaian sang guru untuk membagi waktu antara tugas sekolah yang merupakan tugas wajib dengan tugas sebagai seorang pengurus atau pengawas koperasi. Sejak program sertifikasi guru diberlakukan dan guru wajib mengajar minimal 24 jam pelajaran setiap minggu, hanya sedikit waktu luang bagi guru untuk melakukan aktivitas lain di luar kegiatan belajar mengajar.
            Jumlah guru yang merangkap sebagai pengurus dan pengawas koperasi di negeri ini pasti tidak sedikit. Oleh karena itu perlu ada apresiasi dari pembuat kebijakan terhadap guru yang memiliki tugas ganda tersebut, misalnya mengkonversi jabatan pengurus koperasi dengan sejumlah jam pelajaran. Bila tidak, jabatan sebagai pengurus atau pengawas koperasi akan mulai ditinggalkan oleh guru karena menyita waktu dan lebih memilih fokus dengan kegiatan mengajar. Padahal, koperasi membutuhkan tenaga dan pikiran guru untuk tumbuh menjadi besar dan mapan.
            Kita semua berharap koperasi sebagai kekuatan ekonomi yang tahan banting tetap eksis di semua elemen masyarakat, termasuk di lembaga-lembaga pendidikan (sekolah). Meski guru sekarang telah memiliki pendapatan yang besar, namun kehadiran koperasi di tengah-tengah mereka kelihatannya tetap dibutuhkan. Buktinya transaksi pinjaman guru ke koperasi terus tetap ada. Itu artinya koperasi masih diperlukan guru, dan koperasi masih membutuhkan tenaga dan pemikiran guru agar tumbuh menjadi kekuatan ekonomi yang terus membesar dan mensejahterakan seluruh anggotanya. (Wahyudi Oetomo)