Senin, 23 Juli 2018

Guru Bukan Lagi Pahlawan Tanpa Tanda Jasa?

Engkau sebagai pelita dalam kegelapan
Engkau laksana embun penyejuk dalam kehausan
Engkau patriot pahlawan bangsa…
Pembangun insan cendekia…
Tentu semua orang, khususnya guru tahu penggalan lirik lagu hymne guru di atas. Namun tidak banyak yang tahu kalau akhir dari lagu itu telah mengalami perubahan. Pada tanggal 8 November 2007 , pengarang lagu Hymne Guru, Bapak Sartono, menandatangani surat resmi untuk penggantian lirik lagu karangannya, disaksikan oleh Dirjen PMPTK Depdiknas, Dr. Fasli Jalal Ph.D dan Ketua Pengurus Besar PGRI HM. Rusli.  Yang diganti adalah lirik terakhir,  tanpa tanda jasa diganti dengan …pembangun insan cendekia.
Apakah karena adanya program sertifikasi guru, yang berdampak pada peningkatan kesejahteraan guru, yang mendasari menggantian lirik akhir hymne guru itu. Atau, lirik ..tanpa tanda jasa...dianggap justru merendahkan guru, karena akan terus memposisikan guru sebagai profesi yang tak perlu dihargai jasanya.
Jika program sertifikasi yang berimbas diberikannya tunjangan profesional pendidik (TPP) dianggap sebagai balas jasa pengabdian guru maka istilah “pahlawan tanpa tanda jasa” memang tak pas lagi diberikan pada guru. Namun profesi guru tetap adalah pahlawan, sama dengan profesi lain jika dilakukan dengan hati tulus dan ikhlas.
Saat gaji guru masih sangat kecil, banyak lulusan SMA enggan menjadi guru. Dan kondisi ini oleh sebagian orang dipandang sebagai salah satu penyebab rendahnya mutu pendidikan kita. Guru-guru kita dulu, bukan berasal dari siswa-siswa terbaik, sehingga kualitas guru pun pas-pasan.
Kini, saat kesejahteraan guru kian meningkat, semuanya berlomba-lomba ingin menjadi guru. Potensi ini akan menjadi kekuatan saat perekrutan guru berlangsung secara fair. Jika guru-guru kita secara akademis berkualitas baik, optimisme membangun kualitas pendidikan yang lebih baik akan sangat terbuka. Biarkan, siapa saja yang akan menjadi guru diawali dengan motivasi profit oriented, lalu setelah itu membangun karakter dan mental guru-guru cerdas itu. Karena jadi guru tak cukup cerdas kognitif saja, namun perlu cerdas emosional, cerdas spiritual.
Kementrian Pendidikan dan Kebudayan, dalam kebijakannya menyatakan bahwa profesi guru terbuka bagi semua lulusan program studi (prodi), kependidikan maupun non kependidikan, asal yang bersangkutan lulus PPG (Pendidikan Profesi Guru). Dan keputusan ini ditentang oleh Gerakan Mahasiswa Keguruan Nusantara (GMKN), mereka mengatakan aturan tersebut sangat tidak adil bagi lulusan Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK). Proses pendidikan selama empat tahun di LPTK seperti tidak ada artinya karena disandingkan dengan lulusan non-LPTK yang juga memiliki kesempatan yang sama untuk mengikuti PPG, sama-sama harus menempuh PPG selama 1 atau 2 semester bila mereka ingin menjadi guru.
Rasanya memang tidak adil, lulusan LPTK yang sudah menempuh materi keguruan dan ilmu murninya selama 4 tahun disetarakan dengan lulusan non-LPTK yang sama-sama harus menempuh PPG selama 2 semester. Namun, menurut Direktur Kelembagaan dan Kerjasama Pendidikan Tinggi Kemendikbud Achmad Jazidie menyampaikan, dibukanya kesempatan luas untuk sarjana di luar LPTK hanya untuk menjaring guru di mata pelajaran tertentu di sekolah-sekolah kejuruan. Hal itu sejalan dengan rencana pemerintah memenuhi kebutuhan guru di SMK seiring dengan akan dimulainya rintisan wajib belajar 12 tahun melalui Pendidikan Menengah Universal (PMU) di tahun ajaran 2013-2014. "Kita memerlukan itu karena tak mungkin LPTK mencetak semua guru di bidang produktif, seperti misalnya Teknik Mesin atau Otomotif di SMK," kata Jazidie pada suatu kesempatan.
Menjadi guru tak cukup bermodalkan selembar ijazah, atau selembar sertifikat PPG. Menjadi guru itu panggilan hati. Saat seseorang ingin menjadi guru hanya karena gajinya besar, bersiap-siaplah untuk kecewa. Tuntutan seorang guru profesional itu banyak, misalnya menguasai bahan ajar, menguasai landasan-landasan kependidikan, mampu mengelola program belajar mengajar, mampu mengelola kelas, mampu menggunakan media/sumber belajar lainnya, mampu mengelola interaksi belajar mengajar,mampu menilai prestasi peserta didik untuk kepentingan pengajaran,mengenal fungsi dan program pelayanan bimbingan dan penyuluhan,mengenal penyelenggaraan administrasi sekolah,memahami prinsip-prinsip dan menafsirkan hasil-hasil penelitian pendidikan guna keperluan pengajaran, dan memiliki kepribadian yang tinggi.
Untuk itu, bagi semua yang ingin menjadi guru, atau yang sudah menjadi guru, hendaklah membayar harapan masyarakat dan pemerintah akan peningkatan kualitas pendidikan dengan terpenuhinya peningkatan kesejahteraan guru. Jika tidak, mungkin pemerintah akan berpikir ulang tentang pemberian TPP kepada guru bila kualitas guru dan kualitas peningkatan guru tidak kunjung meningkat pasca pemberian TPP.
Senyampang masih dalam suasana memperingati hari pahlawan 10 Nopember dan hari guru 25 Nopember, kita sebagai guru perlu melakukan instropeksi. Apa yang telah  diberikan kepada bangsa ini? Karena guru terlanjur diberi gelar pahlawan, meski kini bukan lagi tanpa jasa, mestinya semangat kepahlawanan yakni berjuang dengan hati ikhlas terus selalu ditumbuhkan dalam dada setiap guru. Selamat Hari Guru ! (Wahyudi Oetomo)

GURU WAJIB MENGAJAR 24 JAM DAN IMPLIKASINYA

Sertifikasi guru, tak dapat dipungkiri membangun dinamika baru dalam dunia pendidikan, khususnya pada komunitas sekolah.  Perubahan situasi yang tak pernah terbayangkan sebelumnya, guru begitu antusias ikut seminar pendidikan, banyak guru rajin membuat media pendidikan, atau banyak guru yang tidak mau jam mengajarnya dikurangi karena diwajibkan mengajar 24 jam dalam seminggu. Sebuah potret baru dalam dunia pendidikan kita, mungkin sulit kita jumpai pada kurun waktu sebelum diadakan program sertifikasi guru.
            Terbitnya Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No. 39 Tahun 2009, tentang Pemenuhan beban kerja guru dan pengawas satuan pendidikan, menjadi dasar hukum mengenai beban kerja minimal seorang guru. Dalam pasal 1, dijelaskan bahwa : “ Beban kerja guru paling sedikit ditetapkkan 24 jam (dua puluh empat jam) jam tatap muka dan paling banyak 40 (empat puluh) jam tatap muka dalam 1 (satu) minggu pada satu atau lebih satuan pendidikan yang memiliki ijin pendirian dari pemerintah atau pemerintah daerah.”
            Bagi sekolah-sekolah yang kekurangan guru, kebijakan tersebut tidak akan menimbulkan permasalahan. Namun, bagi sekolah-sekolah yang kelebihan guru akan menimbulkan problema baru. Namun, bila mencermati pasal-pasal dalam Permendiknas No.39 tersebut, problema kekurangan jam kerja minimal guru 24 jam akan didapatkan solusi. Pada pasal 2, jika disekolah pangkal (induk) tetap tidak dapat memenuhi kekurangan jam minimal, dapat mengajar pada satuan pendidikan formal yang bukan satuan administrasi pangkalnya baik negeri maupun swasta sebagai guru kelas atau guru mata pelajaran yang sesuai dengan sertifikat pendidik.
            Jika satuan administrasi (sekolah) di luar sekolah pangkalnya, ternyata kondisinya sama, kelebihan tenaga guru, maka kekurangan jam mengajar dapat diberikan tugas tertentu kepada guru yang kekurangan beban minimal 24 jam, misal menjadi wakil kepala sekolah, kepala perpustakaan, kepala laboratorium, yang menurut pasal 1 dalam Permendiknas No. 39 jabatan-jabatan itu setara dengan 12 jam tatap muka. Yang menjadi persoalan, apakah sekolah-sekolah yang memiliki perpustakaan dengan koleksi buku sedikit  kepala perpustakaannya diberi kompensasi 12 jam. Contoh  lain, sebuah sekolah yang memiliki sebuah laboratorium yang jarang digunakan juga diberikan kompensasi 12 jam bagi kepala laboratoriumnya?
            Ada jalan lain untuk memenuhi kekurangan jam mengajar ketika di sekolah induk  seorang guru tidak dapat memenuhi beban minimal 24 jam, maka dapat menambah kekurangan beban mengajarnya dengan menambah di sekolah yang bukan sekolah pangkalnya. Namun, guru tersebut  harus melaksanakan tugas mengajar di sekolah pangkalnya minimal 6 jam tatap muka selama seminggu (pasal 2, ayat 2).
            Guru yang bertugas pada satuan pendidikan layanan khusus yaitu guru yang ditugaskan pada daerah terpencil atau terbelakang, masyarakat adat yang terpencil, dan/atau mengalami bencana alam, bencana sosial, dan tidak mampu dari segi ekonomi tetap dapat memenuhi beban minimal 24 jam tatap muka, dengan cara diusulkan oleh kepala dinas pendidikan provinsi, dinas pendidikan kabupaten/kota, kantor Departemen Agama kabupaten/kota, sesuai dengan kewenangannya kepada Menteri Pendidikan Nasional untuk memperoleh ekuivalensi (pasal 3).
            Dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun sejak berlakunya Peraturan
Menteri Pendidikan Nasional No. 39 Tahun 2009 ini, guru dalam jabatan yang bertugas selain di
satuan pendidikan sebagaimana dimaksud pada Pasal 3, dalam keadaan kelebihan guru pada mata pelajaran tertentu di wilayah kabupaten/kota, dapat memenuhi beban mengajar minimal 24 (dua puluh empat) jam tatap muka dengan cara: a. mengajar mata pelajaran yang paling sesuai dengan rumpun mata pelajaran yang diampunya dan/atau mengajar mata pelajaran lain yang
tidak ada guru mata pelajarannya pada satuan administrasi pangkal atau satuan pendidikan lain;
b. menjadi tutor program Paket A, Paket B, Paket C, Paket C Kejuruan atau program pendidikan keaksaraan; c. menjadi guru bina atau guru pamong pada sekolah terbuka d. menjadi guru inti/instruktur/tutor pada kegiatan Kelompok Kerja Guru/Musyawarah Guru Mata Pelajaran (KKG/MGMP); e. membina kegiatan ektrakurikuler dalam bentuk kegiatan Praja Muda Karana (Pramuka), Olimpiade/Lomba Kompetensi Siswa, Olahraga, Kesenian, Karya Ilmiah Remaja (KIR), Kerohanian, Pasukan Pengibar Bendera (Paskibra), Pecinta Alam (PA), Palang Merah Remaja (PMR), Jurnalistik/Fotografi, Usaha Kesehatan Sekolah (UKS), dan sebagainya; f. membina pengembangan diri peserta didik dalam bentuk kegiatan pelayanan sesuai dengan bakat, minat, kemampuan, sikap dan perilaku siswa dalam belajar serta kehidupan pribadi, sosial, dan pengembangan karir diri;g. melakukan pembelajaran bertim (team teaching) dan/atau;
h. melakukan pembelajaran perbaikan (remedial teaching).
            Ruh dari Permendiknas No. 39 Tahun 2009 adalah pemerataan guru, sehingga mestinya sekolah-sekolah yang kelebihan guru tidak berupaya memanipulasi data beban minimal guru, mencari titik celah untuk menghindari redistribusi guru. Dan, pemerintah khususnya Dinas Pendidikan Kota / Kabupaten hendaknya konsisten menerapkan peraturan ini. Jika peraturan ini secara konsisten diterapkan, maka ketimpangan distribusi guru di daerah pedesaan dan perkotaan akan dapat dieliminasi. Pemerataan guru diharapkan menjadi media pemerataan kualitas pendidikan secara nasional. Semoga. (Wahyudi Oetomo)