Senin, 23 Juli 2018

Menumbuhkan Budi Pekerti Mencegah Kemerosotan Moral Bangsa


Bangsa kita yang terkenal dengan penduduknya yang ramah, santun, suka menolong, hormat pada orang yang lebih tua, toleran, dan sederet sifat yang lain sebagai refleksi bangsa yang berbudi pekerti luhur kini ditengarai  mulai mengalami kemerosotan budi pekerti. Kini, penduduk negeri ini kerap berprilaku sangat bringas, destruktif, egois, individualis, intoleran, tak lagi memiliki sopan santun pada orang yang lebih tua, dan  perilaku lain yang tak mencerminkan sebagai bangsa yang menjunjung tinggi  moral dan budi pekerti luhur. Jika melihat berbagai fakta kemerosotan budi pekerti  penduduk negeri ini maka penumbuhan kembali nilai-nilai luhur bangsa ini melalui penumbuhan budi pekerti di sekolah cukup urgen. Jika tidak, negeri ini terus akan terpuruk karena moral dan budi pekerti rakyatnya terus mengalami kemerosotan.
                   Tempat yang dianggap paling efektif untuk menumbuhkan budi pekerti di dada penduduk negeri ini dimulai di sekolah. Pencanangan program Penumbuhan Budi Pekerti (PBP)  oleh Mendikbud Anies Baswedan salah satu tujuannya adalah menumbuhkan budi pekerti anak bangsa. Menumbuhkan budi pekerti anak di sekolah melalui kegiatan nonkurikuler yang sederhana jelas adalah investasi yang tidak dapat dipetik seketika. Menumbuhkan budi pekerti bisa diibaratkan menanam pohon berusia tahunan, yang bisa kita rasakan buahnya setelah bertahun-tahun kita merawat dan menjaganya.
            Apa yang dicanangkan oleh Mendikbud tentang penumbuhan budi pekerti disekolah sejatinya bukan sesuatu yang baru. Pencanangan program PBP oleh Mendikbud  ini menurut penulis adalah upaya menciptakan momentum baru untuk menggugah kesadaran para praktisi pendidikan dan orang tua akan perlunya upaya terus menerus menumbuhkan budi pekerti peserta didik. Jika kita melihat lingkup kegiatan PBP beserta pengembangannya, terlihat sangat jelas bahwa tujuh hal dalam lingkup kegiatan PBP adalah kegiatan yang sudah biasa dilakukan di sekolah. Misalnya, kegiatan berdoa sebelum dan sesudah pelajaran, melaksanakan upacara bendera, belajar kelompok, pertemuan sekolah dengan orang tua, menggunakan 15 menit sebelum pelajaran untuk membaca buku selain buku mata pelajaran, membiasakan penggunakan sumber daya sekolah (air, listrik, telepon, dan lain-lain) secara efisien, dan mengadakan pameran karya siswa.
            Sebagai upaya menciptakan momentum agar upaya penumbuhan budi pekerti terus dilakukan oleh sekolah dan orang tua maka pencanangan PBP melalui Permendikbud No. 23 Tahun 2015 harus tetap disambut dengan positif dan optimis. Gerakan PBP di sekolah sejatinya telah dilakukan sejak lama dan bersifat rutin. Pertanyaan yang muncul, jika sekolah sudah sejak lama menerapkan PBP dan rutin, mengapa moral dan budi pekerti penduduk negeri ini kian hari terus mengalami kemerosotan? Apa yang salah dengan dunia pendidikan kita?
            Sekali lagi, gerakan penumbuhan budi pekerti adalah investasi jangka panjang. Hasil usaha penumbuhan budi pekerti baru bisa dilihat setelah melewati rangkaian proses yang panjang. Tahapan penumbuhan budi pekerti mengikuti alur : diajarkan – dibiasakan – dilatih konsisten – menjadi kebiasaan – menjadi karakter – menjadi budaya. Upaya penumbuhan budi pekerti yang berujung pada terbentuknya individu-individu berbudi pekerti baik tidak mungkin selesai di satu jenjang pendidikan. Untuk itu, mengukur keberhasilan PBP pada setiap jenjang pendidikan cukup mengukur proses. Pengawas sekolah bisa melakukan monitoring dan evaluasi proses berlangsungnya penumbuhan budi pekerti di sebuah sekolah.
            Untuk mengetahui apakah sebuah sekolah telah melaksanakan tujuh langkah upaya penumbuhan budi pekerti secara konsisten atau tidak, pengawas sekolah dapat melakukan visitasi “dadakan”  ke sekolah binaannya. Datanglah hari senin pagi untuk mengetahui sekolah tersebut rutin mengadakan upacara bendera atau tidak, budaya membuang sampah di tempatnya bisa diamati saat istirahat, untuk mengamati budaya baca lihatlah  volume peminjaman buku non pelajaran di perpustakaan. Menciptakan sekolah sebagai pusat pengajaran dan pusat pendidikan adalah tugas penyelenggara sekolah dan pengawas sekolah punya kewajiban menegur kepala sekolah jika proses penumbuhan budi pekerti sebagai bagian dari proses pendidikan peserta didik tidak berjalan optimal.
            Kita semua pasti sepakat bahwa upaya menumbuhkan budi pekerti yang baik dalam diri peserta didik perlu dilakukan secara sinergi antara sekolah dengan orang tua. Konsistensi penanaman nilai-nilai budi pekerti luhur antara sekolah dan orang tua harus terjaga. Jangan sampai usaha keras dari salah satu pihak untuk membentuk manusia yang berkarakter dan berbudaya baik dimentahkan oleh pihak yang lain. Orang tua perlu juga melakukan fungsi kontrol terhadap optimalisasi usaha sekolah dalam menumbuhkan budi perkerti. Akses orang tua bisa melalui pertemuan rutin antara sekolah dengan orang tua.
            Akhirnya, kita semua tahu bahwa semua sekolah di negeri ini pasti telah melakukan berbagai upaya untuk menumbuhkan budi pekerti peserta didiknya,  jauh sebelum terbitnya Permendiknas tentang PBP. Kehadiran Permendiknas tersebut, mari kita sambut dengan prasangka baik bahwa Mendikbud perlu momentum untuk mengingatkan sekolah dan orang tua bahwa penumbuhan budi pekerti adalah upaya terus menerus. Investasi jangka panjang ini akan kita petik di masa depan.
(Wahyudi Oetomo)

PEKERJA ANAK, PROBLEM KITA SEMUA

Semua anak di negeri ini adalah asset bangsa ini kelak di masa depan. Dan semuanya pasti sepakat bahwa seluruh anak di negeri ini harus tumbuh secara wajar dan sehat, secara fisik dan mental. Tak ada satu pun orang tua yang rela membiarkan anak-anaknya turut bertanggung jawab terhadap kebutuhan keluarga. Meski pada akhirnya sebagian orang tua “terpaksa” membiarkan anak-anak mereka turut membantu ekonomi keluarga karena ketidakmampuan orang tua memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga.
            Pekerja anak (child labour), merujuk pada pekerja  di bawah usia 18 tahun. Pekerja anak tumbuh karena ketidakmampuan orang tua memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga . Sebagian besar tumbuhnya pekerja anak karena faktor kemiskinan. Semakin besar jumlah pekerja anak di negeri ini. maka bisa menjadi indikasi bahwa  angka kemiskinan di negeri ini juga tinggi. Menurut data Komisi Nasional Perlindungan Anak, jumlah pekerja anak di Indonesia pada tahun 2010 sekitar 3,5 juta anak, sedangkan menurut data BPS ada sekitar 4 juta anak usia 7 sampai dengan 18 tahum terpaksa bekerja untuk memenuhi kebutuhan ekonomi keluarganya. Anak-anak pekerja tersebut terdapat diseluruh wilayah Indonesia, tersebar di daerah yang menjadi tempat pekerja seperti pelabuhan, industri, pertambangan, perkebunan, dan rumah tangga.
            Jika angka kemiskinan di negeri ini terus meningkat, maka upaya untuk mengurangi atau bahkan menghapus pekerja anak sangat sulit dilakukan (kalau tidak mau dikatakan mustahil). Tugas mengurangi dan menghapus pekerja anak  secara formal memang ada pada pemerintah, namun bila tidak didukung oleh pihak lain yang bersentuhan dengan persoalan pekerja anak, maka usaha ini akan sangat berat bagi pemerintah.
                Pada tahun 2011 ini, pemerintah menargetkan sebanyak 3.360 pekerja anak dapat ditarik dari tempat kerjanya. Menakertrans Muhaimin Iskandar dalam Rapat Kerja dengan Komisi IX DPR RI mengatakan: "Saya menyatakan warning kepada perusahaan dan orang tua yang memperkerjakan anak. Itu peringatan yang tegas, kami peringatkan sekali lagi,  siapa saja yang melanggar akan segera ditindak sesuai hukum yang berlaku.”
            Menurut Menakertrans, pemerintah berkomitmen untuk menghapus pekerja anak. Komitmen ini terlihat dengan diratifikasinya kedua Konvensi ILO (Organisasi Buruh Internasional) Nomor 138 mengenai Usia Minimum untuk diperbolehkan Bekerja dan Nomor 182 mengenai Pelarangan dan Tindakan segera penghapusan Bentuk-bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak. Selain itu isi substansi tehnis kedua Konvensi ILO terdapat pada Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Oleh  karena itu, para pelanggar bisa dijerat Undang-undang Ketenagakerjaan (UU No. 13 Tahun 2003) dan UU tentang Ratifikasi Konvensi ILO pada Pekerjaan terburuk untuk anak (UU No.20 Tahun 1999 dan UU No 1. Tahun 2000) atau UU Kekerasan Dalam Rumah Tangga.
            Lalu, apakah sekedar memberikan warning kepada perusahan dan orang tua dengan ancaman hukuman yang berat persoalan pekerja anak dengan mudah dapat diselesaikan? Jika tumbuhnya pekerja anak hanya sekedar mengeksploitasi anak untuk memperoleh kepentingan ekonomi, karena upah pekerja anak jauh lebih  murah dari pekerja dewasa, maka memberantas pekerja anak akan mudah dilakukan. Tapi, jika tumbuhnya pekerja anak karena tuntutan pemenuhan kebutuhan perut, maka persoalan pekerja anak tidak cukup diselesaikan dengan cara memberikan peringatan dan ancaman kepada perusahaan dan orang tua yang mendorong praktik pekerja anak.
            Saat orang tua tidak punya pilihan untuk memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga selain memperkerjakan anak adalah memperdagangkan anak (Child trafficking). Kedua bentuk eksploitasi anak tersebut semestinya memang harus dihentikan. Alasan kemiskinan bukan pembenaran untuk mengeksploitasi anak, sehingga masa depannya akan gelap, terutama karena anak-anak tersebut tidak punya kesempatan untuk mengenyam pendidikan yang baik.
            Melakukan penyadaran mengenai pentingnya memberikan ruang tumbuh dan berkembang bagi anak secara sehat dan wajar, kepada orang tua yang berasal dari keluarga miskin harus senantiasa dilakukan oleh pemerintah melalui dinas terkait, atau oleh lembaga swadaya masyarakat, agar anak tumbuh menjadi pribadi yang sehat, mandiri, dan trampil tanpa harus menjadi pekerja anak.
            Upaya penting mengurangi semakin meningkatnya jumlah pekerja anak di negeri ini adalah melalui sentuhan dunia pendidikan. Dunia sekolah melalui guru dapat secara intens memberikan pemahaman khususnya kepada peserta didik yang berasal dari keluarga tidak mampu agar selalu tetap memelihara semangat untuk bersekolah. Sekolah harus selalu mengupayakan agar peserta didik tidak putus sekolah, terutama karena alasan ketidakmampuan membayar biaya sekolah.
            Penanaman kesadaran kepada orang tua agar tidak memaksakan anak turut menanggung beban ekonomi keluarga harus dilakukan secara intens lewat penyuluhan secara berkala di kantong-kantong kemiskinan, ini bisa dilakukan oleh pemerintah melalui dinas sosial, atau oleh komisi perlindungan anak. Pelibatan lembaga swadaya masyarakat yang concern pada penyelamatan masa depan anak juga harus dilakukan. Meskipun upaya menghapus praktik pekerja anak sama sekali adalah pekerjaan mustahil selama kemiskinan mendera sebagian masyarakat kita, namun upaya untuk mengurangi angka pekerja anak di negeri ini harus tetap dilakukan dengan sekuat tenaga. Semua anak di negeri ini harus tumbuh dan berkembang secara wajar, dan memperoleh layanan pendidikan yang optimal. Upaya ini harus dilakukan oleh kita semua, karena masalah pekerja anak adalah masalah kita semua. (Wahyudi Oetomo)