Senin, 23 Juli 2018

SBI/RSBI ANTARA ASA DAN REALITA


Saat mutu pendidikan nasional dalam komparasi internasional berada di papan bawah, pengambil kebijakan pendidikan di negeri ini meluncurkan program ”Sekolah Bertaraf Internasional (SBI)”, dengan obsesi kualitas pendidikan nasional akan meningkat signifikan dan setara dengan negara lain.
            Dasar hukum penyelenggaraan SBI yaitu pasal 50 ayat 3 UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UUSPN 20 / 2003) yang menyebutkan bahwa ”pemerintah dan/atau pemerintah daerah menyelenggarakan sekurang-kurangnya satu satuan pendidikan pada semua jenjang pendidikan untuk dikembangkan menjadi satuan pendidikan bertaraf internasional”.
            Sampai Juni 2008 Departemen Pendidikan Nasional telah menetapkan 260 Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI), dan diharapkan pada tahun 2009 terjaring minimal 112 benar-benar menjadi SBI.
            Fenomena RSBI dan SBI dalam dunia pendidikan kita berhasil mendongkrak animo masyarakat untuk menyekolahkan anak-anak mereka ke sekolah-sekolah yang berlabel SBI/RSBI. Terbukti, pada waktu pendaftaran siswa baru, sekolah-sekolah yang berlabel SBI/RSBI diserbu peminat, meskipun masyarakat sudah tahu bahwa biaya pendidikan di SBI/RSBI terbilang mahal dibandingkan sekolah reguler.
            Masyarakat kita sedang ”gandrung” dengan sesuatu yang berlabel ”internasional”, termasuk dalam memilih tempat pendidikan anak-anaknya. Barangkali, asumsi masyarakat, semua yang berlabel internasional ”pasti” bermutu. Juga, keberhasilan menembus seleksi SBI/RSBI, diyakini oleh sebagian masyarakat akan meningkatkan prestise orang tua. Sehingga banyak orang tua tidak peduli besarnya biaya yang harus ditanggung selama pendidikan anaknya, pokoknya anak mereka lolos penyaringan SBI/RSBI.
            Harapan masyarakat yang sangat besar terhadap keberadaan SBI/RSBI, harus ”dibayar” dengan produk yang betul-betul berlevel internasional oleh pihak pengelola SBI/RSBI. Jika pengelola SBI/RSBI mengacu kepada visi SBI, yaitu ”terwujudnya insan Indonesia yang cerdas dan kompetitif secara internasional”, mestinya produk SBI/RSBI adalah siswa-siswa yang siap berkompetisi di arena dunia internasional.
            Pertanyaan masyarakat, apakah idealisasi dalam visi SBI sudah diterapkan dalam tataran implementasi? Ada beberapa temuan dalam pengelolaan SBI/RSBI yang akan berdampak memunculkan keraguan masayarakat terhadap kesiapan SBI/RSBI untuk melaksanakan visi SBI. Misalnya, temuan Ir. Hafilia R. Ismanto, MM., Direktur Bidang Akademik LBPP- LIA, ” banyak guru mata pelajaran di sekolah SBI/RSBI enggan mengadakan pembelajaran dalam bahasa Inggris. Juga, fakta lain disampaikan Surya Dharma, MPA, PhD., Direktur Tenaga Kependidikan, Ditjen Peningkatan Mutu Pendidikan dan Tenaga Kependidikan, Depdiknas, bahwa dari 260 kepala sekolah Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI) yang mengikuti tes bahasa Inggris, sekitar 50 % nilai TOEIC (Test of English for International Communication) di bawah 245 alias tingkat kemampuannya di bawah elementary (dasar). Hanya sekitar 10 % kepala sekolah yang benar-benar mampu berbahasa Inggris dengan baik, yang sebagian besar berlatar belakang sarjana pendidikan bahasa Inggris.
            Memang, bukan kemampuan bahasa Inggris yang dijadikan tolok ukur sebuah sekolah dijadikan SBI/RSBI. Tapi rasanya lucu bila guru dan kepala sekolah di sekolah bertaraf internasional  tidak memiliki kompetensi berbahasa internasional (bahasa Inggris).
            Sekolah berlabel SBI/RSBI memang tidak sekedar berpengantar bahasa Inggris (bilingual). Sekolah berlabel SBI/ RSBI harus menerapkan Standard Nasional Pendidikan (SNP) plus ”X” (SBI = SNP + X). Dimana, SNP meliputi standard kompetensi lulusan, isi, proses, pendidik dan tenaga pendidikan, sarana dan prasarana, pengelolaan, dan penilaian. Sedangkan ”X” merupakan penguatan, pengayaan, pengembangan, perluasan, pendalaman melalui adapsi atau adopsi terhadap standard pendidikan, baik dari dalam maupun luar negeri, yang diyakini telah memiliki reputasi mutu yang diakui secara internasional.
            Hasil evaluasi kinerja RSBI khususnya tingkat SMA tahun 2008 belum menghasilkan produk yang memuaskan.  Kinerja sekolah hasil evaluasi tahun 2008 pada sembilan pilar mutu masih jauh dari standar yang diharapkan. Misalnya, komponen dan aspek pengelolaan 78, 06 persen, kurikulum 72,74 persen, proses pembelajaran 74,40 persen, penilaian 69,33 persen, pendidik 71,68 persen, sarana dan prasarana 73,41 persen dan pembiayaan 71,94 persen.  
            Sorotan masyarakat atas keberadaan SBI/RSBI adalah mahalnya biaya yang harus ditanggung oleh orang tua. Ada yang memplesetkan SBI dengan akronim ”Sekolah Bertarif Internasional”. Berbeda dengan SD dan SMP reguler yang sudah dilarang memungut biaya sejak Januari 2009, SBI/RSBI masih diperbolehkan memungut biaya. Namun, berdasarkan surat keputusan Menteri Pendidikan Nasional mengenai SBI/RSBI, mekanisme pemungutan biaya SBI/RSBI harus disepakati oleh komite sekolah mengenai jumlah dan alokasinya.
            Mahalnya biaya pendidikan SBI/RSBI, lebih banyak untuk memenuhi kebutuhan melengkapi pencapaian standar sarana prasarana dan infrastruktur SBI/RSBI. Dan, bila pencapaian standar sarana prasarana telah terpenuhi maka logikanya biaya pendidikan SBI/RSBI akan turun dan tidak semahal pada saat program SBI/RSBI diluncurkan. Bila pengelola SBI/RSBI tetap bersikukuh mempertahankan biaya SBI/RSBI pada standard nominal yang tinggi perlu dipertanyakan alokasi pendanaannya.
            Mahalnya biaya pendidikan SBI/RSBI dipandang oleh banyak pemerhati pendidikan termasuk masyarakat, sebagai bentuk diskriminasi program SBI/RSBI terhadap kelompok anak-anak berekonomi lemah, namun memiliki kecerdasan lebih. Jargon ”subsidi silang” dalam menetralisir tuduhan  terhadap SBI/RSBI adalah sekolah khusus untuk orang kaya menurut penulis tidak akan mampu mengeliminasi stigma SBI/RSBI sekolah kaum berduit. Fakta empiris, jumlah siswa tidak mampu yang menikmati subsidi silang jumlahnya terlalu kecil. Proporsi jumlah siswa yang menikmati subsidi silang dari waktu ke waktu harus semakin meningkat seiring dengan turunnya alokasi anggaran untuk pengadaan sarana prasarana SBI/RSBI.
            Masyarakat berharap program SBI/RSBI  tidak menjadi program ”menara gading”, indah namun tak terjangkau oleh sebagian besar masyarakat.  Jangan sampai pengelola SBI/RSBI memanfaatkan program ini sebagai ladang untuk mencari keuntungan materi (profit oriented). Tujuan awal dari SBI/RSBI adalah terwujudnya insan Indonesia yang cerdas dan kompetitif secara internasional, bukan untuk meningkatkan kesejahteraan para pengelola SBI/RSBI. Pengelola SBI/RSBI harus transparan dalam menyusun RAPBS (Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Sekolah), khususnya kepada komite sekolah, sehingga alokasi biaya pengelolaan SBI/RSBI terarah, efesien, transparan, dan akuntabel. Harapannya, biaya SBI/RSBI menjadi tidak terlalu mahal, dan terjangkau oleh sebagian besar masyarakat.
            Akhirnya, SBI/RSBI bukan sekedar sekolah yang berpengantar bahasa Inggris, ruangnya ber AC, gurunya menggunakan lap top, namun lebih dari itu. SBI/RSBI harus didukung oleh sumber daya manusia (SDM) yang mumpuni, guru yang berkompetensi tinggi dan kepala sekolah yang visioner. Jangan sampai SBI/RSBI dengan sekolah reguler hanya berbeda ruang, namun sistem pembelajarannya sama saja. (Wahyudi Oetomo)

SEKULERISASI SEKOLAH


Sekulerisasi sekolah, adalah sepotong fragmen dari sekulerisasi kurikulum pendidikan nasional. Artinya, apa yang terjadi di sekolah sebenarnya adalah implementasi dari struktur kurikulum pendidikan nasional. Kurikulum pendidikan kita secara faktual telah mendesain “sekulerisasi” di sekolah. Minimalisasi pendidikan agama dalam struktur kurikulum pendidikan dasar hingga pendidikan tinggi adalah fakta empirik upaya sekulerisasi sekolah.
            Sekulerisasi sekolah memiliki implikasi buruk terhadap segala upaya menanamkan nilai-nilai keimanan dan ketaqwaan (imtaq), serta peningkatan budi pekerti siswa. Infiltrasi budaya global yang menyerbu negara kita melalui teknologi informasi, sebuah keniscayaan yang sulit untuk dicegah. Ada banyak budaya global yang masuk ke negara kita jauh dari nilai-nilai agama dan budaya nasional. Pornografi, konsumerisme, gaya hidup hedonisme, menyusup dengan cepat ke dalam gaya hidup masyarakat Indonesia, termasuk remaja.
            Berbagai fakta penyimpangan sosial yang dilakukan oleh siswa, dianggap kegagalan sekolah menanamkan nilai-nilai imtaq dan budi pekerti kepada peserta didik.  Kegagalan penanaman nilai-nilai imtaq dan budi pekerti, haruskah selalu disikapi dengan menambah alokasi waktu pelajaran agama dan menambah pelajaran budi pekerti dalam kurikulum pendidikan nasional? Kritik banyak pakar pendidikan bahwa kurikulum pendidikan nasional mulai dari tingkat dasar sampai menengah terlalu padat, mestinya menyadarkan kita bahwa kemungkinan menambah jam pelajaran agama dan memunculkan mata pelajaran budi pekerti bukan pilihan yang tepat.
            Yang menjadi pertanyaan bagi kita, sudahkah kita mengoptimalkan jam pelajaran agama yang ada dan mata pelajaran yang berpotensi menjadi pelajaran integratif  materi budi pekerti? Menambah jam pelajaran agama atau menambah mata pelajaran budi pekerti kelihatannya tidak mungkin dilakukan, karena struktur kurikulum kita yang over loud, kelebihan muatan. Optimalisasi pendekatan keagamaan dan budi pekerti melalui mata pelajaran yang telah ada adalah cara terbaik mengimbangi fenomena sekulerisasi dunia pendidikan.
            Kelemahan praksis pendidikan nasional yang lebih menekankan aspek kognitif dalam evaluasi, menjadikan parameter kualitas out come pendidikan hanya berpijak pada sisi kecerdasan kognitif (Intellectual  Quotient—IQ) . Banyak guru lupa bahwa ada tugas membentuk kecerdasan emosional ( Emotional Quotient –EQ) dan kecerdasan spiritual (Spiritual Quotient—SQ)  pada peserta didiknya. Ketiga macam kecerdasan manusia itu harus semuanya diasah, sehingga tumbuh pribadi-pribadi yang adaptif terhadap berbagai situasi. Sekolah diharapkan menjadi tempat tumbuhnya pribadi-pribadi yang cerdas intelektual, emosional, dan spiritual.
            Menanamkan kecerdasan intelektual, emosional, dan spiritual tidak cukup hanya dengan penjelasan verbal. Ide memunculkan pelajaran budi pekerti, akan bernasib sama dengan pelajaran lain yang hanya berisi teori-teori dan miskin implementasi. Sekulerisasi pendidikan hanya bisa diminimalisasi dengan pembelajaran yang berorientasi pada implementasi nilai-nilai agama dan budi pekerti. Semua guru mata pelajaran harus secara simultan dan sinergis mengintegrasikan nilai-nilai agama dan budi pekerti pada mata pelajarannya masing-masing.
            Penanaman nilai-nilai imtaq dan budi pekerti bukan hanya tanggung jawab guru agama, PKN, atau Bahasa Indonesia, namun semua guru harus menyisihkan waktu untuk menyisipkan nilai-nilai imtaq dan budi pekerti kepada peserta didiknya. Tanamkan nilai-nilai imtaq dan budi pekerti dengan tauladan dan pembelajaran pengalaman langsung. Satu contoh riel aplikasi nilai-nilai imtaq dan budi pekerti akan lebih bermakna daripada seribu kata-kata. Anak-anak dan remaja sekarang akan lebih memperhatikan tauladan daripada sekedar penjelasan verbal.
            Memang, idealisme sering tak paralel dengan kenyataan. Mengimplementasikan penanaman nilai-nilai imtaq dan budi pekerti di kelas kadang harus berbenturan dengan kebijakan kurikulum pendidikan yang menerapkan pencapaian target kurikulum. Guru diharuskan menyelesaikan materi sesuai program yang telah disusun. Dan, ini dapat menjadi alasan guru untuk menolak menyisipkan penanaman nilai-nilai imtaq dan budi pekerti, dengan alasan takut target kurikulum yang harus diselesaikan tidak tercapai.
            Perlu adanya kesamaan visi antara guru, kepala sekolah, dan pengawas sekolah dalam menerapkan integrasi imtaq dan budi pekerti ke dalam semua mata pelajaran. Hal ini bertujuan untuk menghindari perbedaan persepsi terhadap integrasi imtaq dan budi pekerti dalam mata pelajaran, khususnya ketika dilakukan supervisi oleh kepala sekolah atau pengawas sekolah, sehingga guru tidak dianggap melenceng dari skenario pembelajaran saat menyisipkan materi imtaq atau budi pekerti.
            Paradigma pendidikan nasional yang meletakkan nilai UNAS sebagai komponen sangat penting dalam penentuan keberhasilan siswa menenpuh pendidikan di tingkat satuan pendidikan turut memberi andil memperbesar dampak sekulerisasi pendidikan. Praktek kecurangan UNAS di banyak sekolah dapat mementahkan upaya penanaman nilai ketaqwaan, kejujuran, dan budi pekerti. Untuk mengejar target kelulusan maksimal, sekolah melakukan penambahan jam pelajaran, dan optimalisasi materi pelajaran sehingga guru lupa melakukankan tugas mendidik dan membangun karakter peserta didiknya.
            Jika kebijakan pendidikan nasional telah menciptakan sekulerisasi pendidikan, sekolah masih memiliki peluang untuk tetap dapat membentuk karakter peserta didik yang beriman, bertaqwa, dan berbudi pekerti melalui kebijakan lokal tingkat satuan pendidikan. Untuk menanamkan nilai budi pekerti tidak harus membentuk pelajaran budi pekerti. Menanamkan nilai budi pekerti bisa dimulai dari penyambutan siswa masuk sekolah dengan cium tangan pada guru, sehingga tumbuh rasa hormat pada guru.
            Spiritualisasi pendidikan adalah cara lain mengimbangi gejala sekulerisasi pendidikan. Peserta didik selalu ditanamkan kesadarannya bahwa setiap kerja manusia termasuk menuntut ilmu memiliki nilai dan implikasi ketuhanan.  Siswa disadarkan akan pentingnya “asal dan orientasi akhir” dari perjalanan pendidikan dan kehidupan, sehingga melahirkan konsep berpikir yang lebih spiritual bukan hanya materi.
            Degradasi imtaq dan budi pekerti yang terjadi pada peserta didik sebagai imbas sekulerisasi sekolah tidak dapat ditangani secara parsial, pihak sekolah semata (ansich). Pembentukan nilai-nilai imtaq dan budi pekerti juga harus dilakukan di rumah. Konsistensi antara penanaman nilai di sekolah dengan di rumah harus selalu terjaga. Karena jika salah satu pihak, baik sekolah maupun rumah, ada yang tidak konsisten dalam menanamkan nilai-nilai imtaq dan budi pekerti maka usaha sekeras apapun untuk menciptakan pribadi yang beriman, bertaqwa, dan berbudi pekerti yang baik, akan sia-sia belaka. (Wahyudi Oetomo)