Senin, 23 Juli 2018

SAMPAI KAPAN IPM INDONESIA TERPURUK?

Indeks Pembangunan Manusia  (IPM)/ Human Development Index (HDI)  Indonesia tiap tahun berfluktuasi, tapi pergeserannya berkutat di level rendah (ratusan). Sungguh ironi ditengah klaim keberhasilan pembangunan oleh Pemerintahan SBY.  Berdasarkan laporan terbaru, April 2012 (Media. Juni 2012), Indonesia menempati urutan ke 117 dari 177 negara yang disurvei. Peringkat Indonesia selalu kalah dari Malaysia, Thailand, Filipina, apalagi Brunai dan Singapura, kita jauh ketinggalan.
Indikator IPM meliputi tiga aspek pengukuran yaitu,  pembangunan kesehatan, pendidikan, dan ekonomi. Variabelnya  adalah rata-rata usia harapan hidup, rata-rata lama sekolah, dan pendapatan per kapita. Ketiga variabel dasar dalam menentukan IPM berkorelasi dengan indikator keberhasilan pembangunan secara makro. Sebuah daerah (propinsi) atau negara secara keseluruhan mustahil mengklaim pembangunannya berhasil bila IPM-nya rendah. Jika klaim keberhasilan pemerintah selama ini tidak paralel dengan meningkatnya nilai IPM yang disurvei oleh United Nations Development Programme (UNDP), maka klaim tersebut dianggap oleh publik sebagai pepesan kosong, sekedar pencitraan belaka.
Mestinya pemerintah harus lebih keras bekerja agar IPM kita kian meningkat yang menjadi indikasi peningkatan kesejahteraan penduduk negeri ini, dan tidak mengklaim bahwa pemerintah telah berhasil membawa penduduknya kian sejahtera sementara faktanya tingkat kesejahteraan penduduk kian menukik tajam, angka kemiskinan kian meningkat, angka harapan hidup kian rendah, rata-rata lama sekolah sekolah tambah turun, dan pendapatan perkapita semakin rendah.
Disparitas antar propinsi khususnya propinsi-propinsi yang berada di Papua dengan propinsi lain kian tajam. Misalnya, angka  tidak/belum pernah bersekolah di Papua ada 38,38 persen, dan di Papua Barat ada 10,96 persen (sensus penduduk 2010, BPS). Sebagai wilayah yang kaya akan sumber alam, mestinya fakta memilukan di Papua itu tidak boleh terjadi. Gejolak keamanan di wilayah Papua akhir-akhir ini juga turut menghambat peningkatan kualitas pembangunan manusia diwilayah tersebut, dan bisa jadi akibat disparitas hasil pembangunan menjadikan beberapa kelompok masyarakat di Papua ingin melepaskan diri dari Indonesia, karena dianggap pemerintah telah gagal mensejahterakan rakyat Papua, sementara sumber alam Papua sangat berlimpah, sungguh ironi.
Di sektor pendidikan, berdasarkan IPM Indonesia tahun 2011 memberikan kontribusi angka 0,584, artinya rata-rata lama sekolah 5,8 tahun diukur dari penduduk berusia 25 tahun ke atas. Jadi rata-rata penduduk Indonesia yang berusia 25 tahun ke atas di negeri ini pada tahun 2011 hanya berpendidikan SD kelas enam. Lagi-lagi ini adalah fakta yang menyedihkan.
Upaya pemerintah saat ini memang baru akan terhitung dalam IPM beberapa tahun yang akan datang. Untuk meningkatkan angka rata-rata lama sekolah pemerintah mencanangkan program wajib belajar 12 tahun, hingga sekolah menengah atas.  Upaya rintisan pemerintah untuk memperluas akses pendidikan hingga tingkat SMA dengan memberikan dana BOS di tingkat SMA perlu diapresiasi, meski jumlahnya masih sangat kecil yaitu sebesar Rp.125.000,- per siswa/tahun.
Upaya baik oleh pemerintah untuk memperluas akses belajar, yang berimplikasi untuk meningkatkan rata-rata lama belajar sering tidak seiring dengan kebijakan di tingkat unit pelaksana teknis, yakni sekolah. Sekolah, oleh publik, masih dianggap sebagai penghambat upaya perluasan akses wajib belajar. Sekolah dinilai banyak orang telah terjebak pada komersialisasi, dan menjadi tidak terjangkau oleh kelompok masyarakat tidak mampu. Ketika sekolah membebaskan uang SPP, dengan kompensasi dana BOS, biaya-biaya lain sebagai biaya personal tak mampu dibayar oleh orang tua siswa. Biaya seragam, buku, les, transport, ekstrakurikuler, uang gedung, dan biaya-biaya lain yang tidak terjangkau wali murid.
Jika indikasi keberhasilan sektor pendidikan hanya didasarkan pada IPM, dimana variabel penentunya untuk bidang pendidikan hanya rata-rata lama sekolah maka akan menjebak kita pada orientasi kuantitatif. Mestinya upaya peningkatan rata-rata lama sekolah juga dibarengi dengan upaya peningkatan pendidikan secara kualitatif. Berdasarkan survei Political and Economic Risk Consultant (PERC), kualitas pendidikan di Indonesia berada pada urutan ke-12 dari 12 negara di Asia. Posisi Indonesia berada di bawah Vietnam.
Persoalan peningkatan kualitas pendidikan adalah pekerjaan paling berat yang harus dibereskan oleh setiap pemerintah yang berkuasa. Orientasi pendidikan kita yang masih “orientasi kuantitas” harus mulai memberlakukan “orientasi kualitas”. Pemberdayaan sekolah secara konsisten harus dilakukan oleh pemerintah. Intervensi pemerintah yang terlalu dalam terhadap proses pembelajaran harus segera dikurangi. Ujian Nasional (UN) sebagai salah satu contoh intervensi pemerintah pada sistem evaluasi di sekolah harus ditinjau ulang. Manipulasi hasil UN di lapangan dinilai oleh banyak pengamat pendidikan sebagai biang kerok penurunan kualitas pendidikan kita.
Upaya meningkatkan IPM dari sektor kesehatan mesti diarahkan pada peningkatan kualitas pelayanan kesehatan masyarakat. Variabel sektor kesehatan dalam IPM adalah rata-rata usia harapan hidup, yang pada tahun 2011 69,4 tahun, masih tertinggal dari negara tetangga kita Malaysia, 74,2 tahun. Program pelayanan kesehatan terhadap keluarga miskin lewat Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas) dan Jaminan Persalinan (Jampersal) pada tahun 2012 ini pemerintah menganggarkan  Rp 7,4 triliun diharapkan menjadi pintu untuk meningkatkan angka rata-rata harapan hidup penduduk Indonesia. Jangan lagi muncul slogan lucu tapi menyakitkan yaitu “orang miskin dilarang sakit”. Slogan itu muncul atas keprihatinan masyarakat akan mahalnya biaya pelayanan kesehatan di negeri ini.
Peningkatan kualitas kesehatan masyarakat, sangat berkait erat dengan kemampuan ekonomi masyarakat. Pendapatan perkapita penduduk adalah indikator sektor ekonomi dalam IPM. Namun, ketika pendapatan perkapita dihitung dalam angka rata-rata sedangkan pemerataan ekonomi tidak merata di semua wilayah negeri ini, maka angka pendapatan perkapita masyarakat akan menjadi angka semu.
Jika pemerintah beritikat meningkatkan pendapatan perkapita penduduk, maka orientasinya adalah pemberdayaan sektor usaha mikro, kecil, menengah(UMKM), dan koperasi. Karena pelaku sektor tersebut angkanya relatif besar, berdasarkan publikasi Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Republik Indonesia berjumlah 51,3 juta unit usaha, sebuah angka yang cukup besar. Dan, sektor UMKM dan koperasi, selain jumlahnya besar juga daya tahannya terhadap krisis lebih kuat, sehingga pemberdayaan sektor ini lebih aman dan akan berimplikasi langsung pada peningkatan pendapatan masyarakat di lapisan menengah ke bawah.
Jika kita hanya mengandalkan pemerintah, dan masyarakat hanya berpangku tangan tanpa turut serta berperan secara gigih maka upaya berat untuk meningkatkan kualitas manusia indonesia (IPM) akan gagal total, Kita harus bersama-sama membangun negeri ini. Kita pasti akan bisa sejajar atau bahkan mengungguli negara lain. Semoga. (Wahyudi Oetomo)

Belajar Calistung Seraya Bermain


Saat kurikulum pendidikan sebuah lembaga pendidikan terlalu didikte oleh keinginan orang tua, sementara tuntatan dan keinginan orang tua bertentangan dengan konsep kurikulum baku yang terstandarisasi, maka lembaga pendidikan yang demikian tersebut telah menggadaikan  esensi pendidikan yang benar dengan “pemuasan” ambisi sebagian orang tua. Praktik penerapan materi membaca, menulis  dan berhitung (calistung) di Taman Kanak-kanak (TK) secara terstruktur dalam kurikulum pendidikannya adalah contoh bentuk pemaksaan lembaga pendidikan mengakomodasi ambisi orang tua meskipun lembaga pendidikan itu tahu bahwa penerapan Calistung di TK secara terstruktur tidak diperbolehkan.
            Mengacu pada surat edaran Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar Dan Menengah Nomor 1839/C.C2/TU/2009 perihal penyelenggaraan pendidikan Taman Kanak-Kanak dan Penerimaan Siswa Baru Sekolah Dasar, “ pengenalan membaca, menulis dan berhitung (calistung) dilakukan melalui pendekatan yang sesuai dengan tahap perkembangan anak. Oleh karena itu pendidikan di TK tidak diperkenankan mengajarkan materi calistung secara langsung sebagai pembelajaran sendiri-sendiri (fragmented) kepada anak-anak. Konteks pembelajaran calistung di TK hendaknya dilakukan dalam kerangka pengembangan seluruh aspek tumbuh kembang anak, dilakukan melalui pendekatan bermain, dan disesuaikan dengan tugas perkembangan anak. Menciptakan lingkungan yang kaya dengan “keaksaraan“ akan lebih mamacu kesiapan anak untuk memulai kegiatan calistung.”
            Fakta empirik di lapangan, banyak sekolah TK menerapkan materi calistung melampui bingkai yang dibenarkan dalam mengenalkan calistung. Standar pengajaran calistung di TK yang hanya pengenalan banyak terdefiasi menjadi pembelajaran terstruktur. Tidak dapat dipungkiri banyak orang tua ketika menyekolahkan anaknya ke TK memiliki harapan anaknya segera bisa calistung, sebuah niat yang tidak sejalan dengan standard kurikulum yang baku. Anehnya, penyelenggara TK pun mengamini keinginan orang tua itu dan mengabaikan standard kurikulum yang seharusnya diterapkan dalam kurikulum TK.
            Mengajarkan calistung di TK, tidak salah, selama berada pada koridor pengenalan melalui pendekatan bermain dan disesuaikan dengan perkembangan anak. Membiarkan  anak fase praoperasional (2-6 tahun), belajar menggunakan bahasa dan menggambarkan objek dengan imajinasi dan kata-kata melalui aktivitas bermain adalah pembelajaran yang sesuai dengan fase perkembangan kognitif anak TK.
            Memaksakan anak TK untuk belajar calistung secara terstruktur kita bisa analogikan dengan memaksa mangga yang dipetik sebelum matang kemudian kita karbit, pasti rasa mangga yang matang karena karbit dengan yang matang secara alami di pohon akan berbeda. Minimnya edukasi kepada orang tua tentang konsep pendidikan TK yang benar membuat kondisi salah kaprah ini akan terus terjadi. Sekolah TK “terpaksa” mengikuti selera orang tua karena mempertimbangkan nasib pengajar dan eksistensi lembaganya. Ketika sebuah  TK tidak memenuhi selera orang tua, maka TK tersebut akan ditinggalkan dan lama kelamaan TK tersebut akan tutup karena tidak memiliki murid.
            Keinginan orang tua terhadap kemampuan calistung anaknya di TK sering merupakan implikasi dari sebuah sistem kebijakan di sekolah dasar (SD). Meski dilarang, ada beberapa sekolah SD favorit menerapkan pola seleksi masuk dengan menitikberatkan kemampuan calistung pada calon peserta didiknya. Kebijakan ini jelas bertentangan dengan surat edaran Direktorat Jendral Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah yang melarang adanya tes masuk bagi calon peserta didik di SD.
            Sebuah fakta yang memperjelas bahwa terjadinya penyimpangan pembelajaran calistung di TK tidak bisa berdiri sendiri namun adalah implikasi sistem pendidikan di atasnya (SD) adalah kasus dikeluarkannya delapan murid SD yang terletak di Kecamatan Cibalang Garut baru-baru ini karena tidak bisa membaca. Terus,  tugasnya guru SD itu apa?
            Mendikbud saat melakukan sosialisasi Kurikulum 2013 di depan sekitar 350 rektor, pejabat Dinas Pendidikan, kepala sekolah, dan guru se-Jawa Tengah, memerintahkan kepada Kepala Dinas Pendidikan untuk melarang sekolah dasar melakukan tes calistung atau membaca, menulis, dan berhitung saat masuk SD. Menurut Mendikbud, idealnya seorang siswa yang masuk SD baru bisa membaca, menulis, dan berhitung, bukan diajarkan saat taman kanak-kanak.  Mendikbud mengatakan taman kanak-kanak seharusnya diisi siswa untuk bersosialisasi, bukan untuk belajar calistung. "Taman kanak-kanak itu bukan sekolah. Sebab, yang namanya sekolah adalah dimulai dari SD, dan seterusnya," katanya. Oleh karena itu, kata M. Nuh (Mendikbud), untuk mengurangi beban siswa dalam melakukan belajar, sebaiknya di TK tidak diajarkan calistung, dan calistung diajarkan saat kelas 1 SD. "Dalam Kurikulum 2013 beban siswa dalam belajar justru akan menjadi ringan," katanya.
            Saat instruksi Menteri Pendidikan tidak lagi menjadi acuan penyelenggaraan pendidikan di lapangan, maka praksis pendidikan di negeri ini akan kacau. Dengan dalih mengikuti perkembangan zaman, acuan penyelenggaraan pendidikan menjadi diacuhkan. Sekali lagi, di TK hanya diperbolehkan pengenalan calistung, karena perkembangan kognitifnya hanya mampu sebatas itu, bukan pembelajaran calistung terstruktur. Bila dijumpai peserta didik yang memiliki kemampuan di atas rata-rata, bisa karena memiliki kecerdasan lebih atau karena pengenalan lebih dini pembelajaran calistung oleh orang tua di rumah, dan jumlahnya mungkin  tidak banyak, tetap perlu ada perlakuan khusus. Anak-anak berkemampuan lebih tersebut memerlukan bimbingan terpisah agar pengenalan calistung bagi siswa yang lain tetap berjalan efektif.
            Kontradiksi pendapat tentang pengenalan calistung di TK mestinya tidak perlu diperdebatkan lagi. Kita semua (Kemdikbud, TK dan orang tua) harus memegang teguh konsep pelaksanaan pendidikan di TK yang  menganut prinsip: ”Bermain sambil Belajar dan Belajar seraya Bermain”. Memaksakan anak belajar di luar kemampuan kognitifnya sama artinya memaksa mematangkan buah yang belum waktunya. Biarlah anak tumbuh secara alami sesuai tahapan fase perkembangan kognitifnya ! (Wahyudi Oetomo)