Senin, 23 Juli 2018

PENDIDIKAN ANTI KORUPSI


Menurut survei yang dilakukan oleh Lembaga Konsultasi Risiko Politik dan Ekonomi (Political and Economic Risk Consultancy -- PERC) yang dilansir oleh agen berita Perancis AFP, dari skala 0 sampai 10, dimana 0 adalah indikasi bebas korupsi, Indonesia mendapatkan skor 8,32. Riset yang dilakukan pada Maret 2009 itu menempatkan Indonesia sebagai negara terkorup di Asia. Wow, sungguh mengerikan !
            Fakta kronisnya patologi korupsi di negeri ini sungguh memprihatinkan sekaligus menyedihkan. Korupsi telah terjadi di semua lini kehidupan bangsa ini. Penyakit korupsi yang melanda negeri ini berada pada stadium tertinggi, yang dapat menyebabkan negeri ini kehilangan “nyawa”. Korupsi telah berurat dan berakar seperti kanker kronis yang sulit diberantas.
            Gagasan memasukkan pendidikan antikorupsi ke dalam kurikulum pendidikan nasional adalah bagian dari upaya sinergis untuk memberantas korupsi di samping melalui pintu lain. Penanaman nilai-nilai antikorupsi selama ini yang termuat dalam beberapa matapelajaran secara integratif, misalnya dalam pendidikan agama, pendidikan kewarganegaraan, dan bahasa Indonesia telah gagal membentuk manusia Indonesia yang antikorupsi.
            Pendidikan antikorupsi diasumsikan oleh penggagasnya dapat menanamkan nilai-nilai kejujuran dan kesederhanaan, yang pada akhirnya akan menghasilkan manusia Indonesia yang antikorupsi. Pembentukan kesadaran bagi peserta didik sehingga mampu membentuk karakter dan kemudian melakukan aksi melawan korupsi, adalah tujuan dimasukkannya pendidikan antikorupsi ke dalam kurikulum pendidikan nasional.
            Sebenarnya, penanaman nilai antikorupsi dalam kurikulum pendidikan telah terintegrasi sejak lama. Dalam kurikulum pendidikan agama dan pendidikan kewarganegaraan (dulu, Pendidikan Moral Pancasila –PMP) substansi pendidikan antikorupsi telah terintegrasi meski tidak secara eksplisit diberi nama pendidikan antikorupsi. Namun, harus kita akui bahwa penanaman nilai antikorupsi model integrasi selama ini tidak cukup ampuh   menciptakan out put sumber daya manusia (SDM) yang jujur dan antikorupsi.
            Kegagalan pendidikan agama dan pendidikan kewarganegaraan dalam membangun nilai kejujuran, dan anti korupsi terletak pada bangun pendidikan nasional kita yang hingga kini lebih menekankan pada aspek kognitif serta meminimalisir aspek psikomotor dan afektif. Peserta didik terlalu banyak dijejali dengan konsep-konsep teoritis dan jarang diajak untuk berbuat sesuatu yang dapat menumbuhkan nilai-nilai yang bersifat aplikatif. Kegagalan yang sama akan terjadi bila pendidikan anti korupsi ini masuk ke kurikulum pendidikan nasional dengan pola pendekatan yang sama dengan pelajaran pendidikan agama dan pendidikan kewarganegaraan,
            Menjadikan pendidikan antikorupsi sebagai satu mata pelajaran sendiri, tidak sekedar terintegrasi dengan mata pelajaran lain yang relevan akan menyebabkan kurikulum pendidikan kita akan menjadi kembali over loud, kelebihan muatan.  Kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP), yang dipandang oleh sebagian pengamat pendidikan masih terlalu padat, akan semakin padat bila pendidikan antikorupsi ini menjadi sebuah mata pelajaran wajib di sekolah-sekolah.
            Optimalisasi penanaman nilai-nilai antikorupsi pada mata pelajaran yang relevan tanpa harus melalui sebuah mata pelajaran khusus harus dilakukan secara intens. Pendidikan nilai lebih membutuhkan aplikasi daripada sekedar teori. Penanaman nilai pada beberapa mata pelajaran yang selama ini lebih menekankan aspek kognitif, telah melahirkan banyak koruptor, dari kelas teri sampai kelas paus. Potret kebangkrutan banyak “kantin kejujuran” di banyak sekolah adalah gambaran utuh kegagalan penanaman nilai-nilai kejujuran.
            Pendidikan antikorupsi tidak perlu banyak teori. Penanaman nilai-nilai kejujuran lebih banyak membutuhkan praktik, dan guru adalah model terdepan dalam memberikan tauladan menerapkan nilai-nilai kejujuran. Sering, kita sebagai guru, tanpa disadari melakukan korupsi kecil-kecilan, misalnya korupsi waktu. Seorang guru yang sering terlambat masuk kelas akan menanamkan pemahaman dalam diri anak bahwa korupsi waktu adalah sesuatu yang diperbolehkan.
            Konsep learning to do, dalam penanaman nilai apapun akan lebih efektif dari pada sekedar penyampaian verbal, kata-kata tanpa disertai aplikasi nilai dalam kehidupan nyata. Saat seorang guru menyampaikan bahwa korupsi itu dilarang oleh agama dan melanggar hukum, peserta didik harus ditunjukkan tauladan tidak korupsi itu seperti apa. Guru selalu masuk kelas dengan tepat waktu adalah contoh kecil tindakan antikorupsi. Guru harus melakukan penegakan hukum dalam konteks pembelajaran di kelas saat menjumpai seorang peserta didik berbuat tidak jujur saat ulangan. Anak disadarkan bahwa berbuat tidak jujur (termasuk korupsi) akan memperoleh hukuman balasan terhadap tindakan itu (punishment).
            Saat pendidikan antikorupsi menjadi bagian dari kurikulum, entah terintegrasi dengan mata pelajaran yang ada atau berdiri sebagai mata pelajaran, membawa konsekuensi adanya konsistensi antara kajian teoritis dan implementasi nilai-nilai kejujuran dan antikorupsi dalam kehidupan sekolah, rumah tangga dan masyarakat. Jangan sampai guru menanamkan nilai-nilai kejujuran dan antikorupsi, namun di sekolah dipertontonkan perbuatan yang tidak menjunjung tinggi nilai kejujuran. Misalnya, saat Ujian Nasional (Unas), sekolah melalui guru mempertunjukkan sikap yang tidak menjunjung tinggi nilai kejujuran dengan memberikan bocoran jawaban kepada siswa.
            Jika nilai-nilai kejujuran telah disimpan dalam peti besi, dan sekolah merestui praktik kecurangan, maka penanaman nilai-nilai kejujuran yang dikemas dalam bentuk apapun akan kurang bermakna. Ambivalensi (sikap mendua) antara keinginan menanamkan nilai-nilai kejujuran (antikorupsi) dan tumbuhnya sikap permissif terhadap kecurangan di dalam sekolah akan menyebabkan peserta didik menjadi bingung. Akhirnya, peserta didik akan memilih sesuai pilihan hatinya, meski sering pilihan itu hasil bujuk rayuan setan untuk menggelincirkan manusia ke jurang kenistaan.
            Pendidikan antikorupsi, akan bernasib sama dengan pendidikan moral Pancasila dan  pendidikan agama jika dilaksanakan dengan pola pendekatan yang sama, dikuasai konsep dan teorinya namun tidak pernah diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Kegagalan penanaman nilai-nilai dalam kurikulum pendidikan nasional terletak pada terlalu besarnya  porsi pengembangan ranah kognitif dibandingkan dengan ranah psikomotor dan afektif. Evaluasi hasil belajar saat ini lebih banyak digunakan untuk mengukur ranah kognitif.
            Setelah berbagai cara dilakukan untuk memberantas korupsi di negeri ini, namun indeks korupsi di negeri ini tidak pernah menurun, lalu dunia pendidikan digadang-gadang dapat menurunkan angka korupsi secara efektif  melalui kurikulum antikorupsi. Optimisme harus tetap ditanamkan kepada setiap usaha yang dapat membangkitkan negeri ini dari keterpurukan, termasuk memberantas korupsi. Bila usaha-usaha untuk memberantas korupsi selalu dilemahkan, tunggulah kehancuran negeri ini.
            Akhirnya, kita semua berharap pendidikan antikorupsi dalam kurikulum pendidikan nasional dapat memberikan kontribusi positif untuk membangun sebuah peradaban baru di negeri ini, negeri yang bebas korupsi. Semoga. (Wahyudi Oetomo)


KITA HARUS BERUBAH


Saat saya ditawari oleh seorang teman untuk menjadi DF (District Facilitator) dari DBE 3 (Decentralized Basic Education), saya ragu untuk mengiyakan karena saya belum tahu apa itu program DBE 3, maklum saya bukan guru dari sekolah mitra DBE 3. Setelah diyakinkan oleh teman saya bahwa akan banyak manfaat yang diperoleh jika mengikuti program-program DBE, akhirnya saya mengiyakan dan bersedia menjadi salah satu DF mata pelajaran IPA Kabupaten Bangkalan, Jawa Timur.
            Saat mengikuti ToT (Training of Trainer) untuk pelatihan BTL2 (Better Teaching and Learning 2) saya menemukan ada yang berbeda dibandingkan dengan pelatihan-pelatihan lain yang pernah saya ikuti. Jika mengikuti pelatihan lain sering muncul rasa kantuk ketika di dalam ruangan, pada pelatihan ToT BTL2 saya tidak sempat mengalami itu. Peserta pelatihan termasuk saya tidak sempat mengalami rasa kantuk karena setiap sesi kegiatan menuntut semua peserta untuk aktif bergerak, berdiskusi, menempel karya, dan kunjung karya ke kelompok lain.
            Saya baru tersadar bahwa kegiatan pembelajaran yang saya lakukan selama ini jauh dari ideal. Saya jarang sekali menerapkan pembelajaran kooperatif, mengajukan pertanyaan tingkat tinggi, mengaapresiasi karya siswa, atau melakukan refleksi setiap akhir pembelajaran. Pelatihan BTL2 telah membuka kesadaran saya bahwa saya harus berubah.
            Melakukan perubahan adalah sebuah kata kunci untuk meningkatkan kualitas pendidikan. Jika selama ini kita merasa nyaman dengan metode pembelajaran kita yang konvensional, paradigma itu harus segera berubah. Jika selama ini pembelajaran kita di kelas masih teacher center, mulai hari ini harus mengubahnya menjadi siswa yang menjadi pusat pembelajaran.  Pembelajaran kita di kelas harus kontekstual dengan kehidupan sehari-hari. Karena jika pembelajaran kita di kelas hanya teoritis verbal belaka, pembelajaran itu kurang bermakna.
            Saya beruntung masih memiliki kesempatan mengikuti kegiatan pelatihan Pembelajaran Bermakna 3 (BTL3), dan semakin lengkaplah modal saya untuk menciptakan pembelajaran yang ideal di dalam kelas. Tambahan pengetahuan tentang pemetaan kurikulum, pembuatan lembar kerja, rubrik penilaian, jurnal belajar guru dan siswa, pemajangan karya siswa, serta refleksi guru melengkapi pengetahuan yang saya peroleh di pelatihan BTL2.  Ternyata, pembelajaran saya di kelas selama ini masih jauh dari pembelajaran ideal.
            Meskipun saya berasal dari sekolah non mitra DBE, ada keinginan yang kuat untuk mengadopsi semua yang saya peroleh selama mengikuti kegiatan DBE dan diterapkan di sekolah saya, minimal di kelas yang saya ajar. Saya mengamati sebagian besar guru, mungkin termasuk saya, masih menerapkan pola pembelajaran konvensional, yang berpusat pada guru. 
            Jika kita bermimpi kualitas pendidikan kita sejajar dengan negara lain, bahkan lebih unggul maka mengubah paradigma lama praktik pembelajaran kita di kelas menjadi pembelajaran yang menyenangkan  dan berpusat pada siswa adalah kebutuhan yang tidak bisa di tawar. Jika kita tidak mau berubah maka kualitas pembelajaran kita tidak akan memberikan kontribusi yang berarti bagi peningkatan kualitas pendidikan nasional. Kalau tidak sekarang kapan lagi. (Wahyudi Oetomo, SPd. DF mata pelajaran IPA Kab. Bangkalan)