Senin, 23 Juli 2018

Belajar Calistung Seraya Bermain


Saat kurikulum pendidikan sebuah lembaga pendidikan terlalu didikte oleh keinginan orang tua, sementara tuntatan dan keinginan orang tua bertentangan dengan konsep kurikulum baku yang terstandarisasi, maka lembaga pendidikan yang demikian tersebut telah menggadaikan  esensi pendidikan yang benar dengan “pemuasan” ambisi sebagian orang tua. Praktik penerapan materi membaca, menulis  dan berhitung (calistung) di Taman Kanak-kanak (TK) secara terstruktur dalam kurikulum pendidikannya adalah contoh bentuk pemaksaan lembaga pendidikan mengakomodasi ambisi orang tua meskipun lembaga pendidikan itu tahu bahwa penerapan Calistung di TK secara terstruktur tidak diperbolehkan.
            Mengacu pada surat edaran Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar Dan Menengah Nomor 1839/C.C2/TU/2009 perihal penyelenggaraan pendidikan Taman Kanak-Kanak dan Penerimaan Siswa Baru Sekolah Dasar, “ pengenalan membaca, menulis dan berhitung (calistung) dilakukan melalui pendekatan yang sesuai dengan tahap perkembangan anak. Oleh karena itu pendidikan di TK tidak diperkenankan mengajarkan materi calistung secara langsung sebagai pembelajaran sendiri-sendiri (fragmented) kepada anak-anak. Konteks pembelajaran calistung di TK hendaknya dilakukan dalam kerangka pengembangan seluruh aspek tumbuh kembang anak, dilakukan melalui pendekatan bermain, dan disesuaikan dengan tugas perkembangan anak. Menciptakan lingkungan yang kaya dengan “keaksaraan“ akan lebih mamacu kesiapan anak untuk memulai kegiatan calistung.”
            Fakta empirik di lapangan, banyak sekolah TK menerapkan materi calistung melampui bingkai yang dibenarkan dalam mengenalkan calistung. Standar pengajaran calistung di TK yang hanya pengenalan banyak terdefiasi menjadi pembelajaran terstruktur. Tidak dapat dipungkiri banyak orang tua ketika menyekolahkan anaknya ke TK memiliki harapan anaknya segera bisa calistung, sebuah niat yang tidak sejalan dengan standard kurikulum yang baku. Anehnya, penyelenggara TK pun mengamini keinginan orang tua itu dan mengabaikan standard kurikulum yang seharusnya diterapkan dalam kurikulum TK.
            Mengajarkan calistung di TK, tidak salah, selama berada pada koridor pengenalan melalui pendekatan bermain dan disesuaikan dengan perkembangan anak. Membiarkan  anak fase praoperasional (2-6 tahun), belajar menggunakan bahasa dan menggambarkan objek dengan imajinasi dan kata-kata melalui aktivitas bermain adalah pembelajaran yang sesuai dengan fase perkembangan kognitif anak TK.
            Memaksakan anak TK untuk belajar calistung secara terstruktur kita bisa analogikan dengan memaksa mangga yang dipetik sebelum matang kemudian kita karbit, pasti rasa mangga yang matang karena karbit dengan yang matang secara alami di pohon akan berbeda. Minimnya edukasi kepada orang tua tentang konsep pendidikan TK yang benar membuat kondisi salah kaprah ini akan terus terjadi. Sekolah TK “terpaksa” mengikuti selera orang tua karena mempertimbangkan nasib pengajar dan eksistensi lembaganya. Ketika sebuah  TK tidak memenuhi selera orang tua, maka TK tersebut akan ditinggalkan dan lama kelamaan TK tersebut akan tutup karena tidak memiliki murid.
            Keinginan orang tua terhadap kemampuan calistung anaknya di TK sering merupakan implikasi dari sebuah sistem kebijakan di sekolah dasar (SD). Meski dilarang, ada beberapa sekolah SD favorit menerapkan pola seleksi masuk dengan menitikberatkan kemampuan calistung pada calon peserta didiknya. Kebijakan ini jelas bertentangan dengan surat edaran Direktorat Jendral Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah yang melarang adanya tes masuk bagi calon peserta didik di SD.
            Sebuah fakta yang memperjelas bahwa terjadinya penyimpangan pembelajaran calistung di TK tidak bisa berdiri sendiri namun adalah implikasi sistem pendidikan di atasnya (SD) adalah kasus dikeluarkannya delapan murid SD yang terletak di Kecamatan Cibalang Garut baru-baru ini karena tidak bisa membaca. Terus,  tugasnya guru SD itu apa?
            Mendikbud saat melakukan sosialisasi Kurikulum 2013 di depan sekitar 350 rektor, pejabat Dinas Pendidikan, kepala sekolah, dan guru se-Jawa Tengah, memerintahkan kepada Kepala Dinas Pendidikan untuk melarang sekolah dasar melakukan tes calistung atau membaca, menulis, dan berhitung saat masuk SD. Menurut Mendikbud, idealnya seorang siswa yang masuk SD baru bisa membaca, menulis, dan berhitung, bukan diajarkan saat taman kanak-kanak.  Mendikbud mengatakan taman kanak-kanak seharusnya diisi siswa untuk bersosialisasi, bukan untuk belajar calistung. "Taman kanak-kanak itu bukan sekolah. Sebab, yang namanya sekolah adalah dimulai dari SD, dan seterusnya," katanya. Oleh karena itu, kata M. Nuh (Mendikbud), untuk mengurangi beban siswa dalam melakukan belajar, sebaiknya di TK tidak diajarkan calistung, dan calistung diajarkan saat kelas 1 SD. "Dalam Kurikulum 2013 beban siswa dalam belajar justru akan menjadi ringan," katanya.
            Saat instruksi Menteri Pendidikan tidak lagi menjadi acuan penyelenggaraan pendidikan di lapangan, maka praksis pendidikan di negeri ini akan kacau. Dengan dalih mengikuti perkembangan zaman, acuan penyelenggaraan pendidikan menjadi diacuhkan. Sekali lagi, di TK hanya diperbolehkan pengenalan calistung, karena perkembangan kognitifnya hanya mampu sebatas itu, bukan pembelajaran calistung terstruktur. Bila dijumpai peserta didik yang memiliki kemampuan di atas rata-rata, bisa karena memiliki kecerdasan lebih atau karena pengenalan lebih dini pembelajaran calistung oleh orang tua di rumah, dan jumlahnya mungkin  tidak banyak, tetap perlu ada perlakuan khusus. Anak-anak berkemampuan lebih tersebut memerlukan bimbingan terpisah agar pengenalan calistung bagi siswa yang lain tetap berjalan efektif.
            Kontradiksi pendapat tentang pengenalan calistung di TK mestinya tidak perlu diperdebatkan lagi. Kita semua (Kemdikbud, TK dan orang tua) harus memegang teguh konsep pelaksanaan pendidikan di TK yang  menganut prinsip: ”Bermain sambil Belajar dan Belajar seraya Bermain”. Memaksakan anak belajar di luar kemampuan kognitifnya sama artinya memaksa mematangkan buah yang belum waktunya. Biarlah anak tumbuh secara alami sesuai tahapan fase perkembangan kognitifnya ! (Wahyudi Oetomo)

Penggajian Berkeadilan dan Tidak Melanggar UU Guru dan Dosen


Semenjak guru menerima Tunjangan Profesi Guru (TPG), para guru kerap dibuat “olahraga jantung” oleh berbagai kabar “tidak jelas” mengenai TPG. Beberapa waktu yang lalu, para guru dibuat resah ketika ada kabar bahwa Uji Kompetensi Guru (UKG) yang akan dilaksanakan bulan Nopember berhubungan dengan penerimaan TPG. Kabar yang meresahkan terbaru di kalangan guru adalah akan diterapkannya sistem penggajian tunggal (single salary) yang membawa konsekuensi dihapuskannya TPG. Dalam sistem ini hanya ada 2 komponen gaji PNS yakni gaji pokok yang mencapai 75% dari total penghasilan serta capaian kinerja yang prosentasenya adalah 25%.
            Sebenarnya kabar pemberlakuan sistem penggajian tunggal telah santer terdengar pada awal tahun 2015. Namun, hingga usia tahun 2015 hampir berakhir rupanya pemerintah masih belum menerapkan aturan tersebut. Karena sistem penggajian tunggal merupakan amanat Undang-Undang Aparatur Sipil Negara (ASN) maka penerepan UU tersebut tinggal menunggu waktu. Apakah Kementerian Pendayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemenpan RB) akan menerapkan tahun 2016, belum ada informasi yang jelas. Mestinya pemerintah melalui Kemenpan RB harus menyosialisasikan kebijakan tersebut khususnya kepada PNS yang akan terkena dampak dari penerapan aturan tersebut. Jangan sampai ketika aturan tersebut mulai diterapkan muncul gelombang protes dari PNS guru sebagai salah satu pihak yang akan terkena dampak penerapan sistem penggajian tunggal. Jika selama ini PNS guru menerima TPG, maka saat sistem penggajian tunggal diterapkan tunjangan sertifikasi itu akan dihapus.
            Jika benar pemberlakuan sistem penggajian tunggal akan menghapus TPG dan take home pay PNS guru mengalami penurunan drastis pasti akan menimbulkan aksi penolakan dari para guru PNS yang jumlahnya sekitar 1,7 orang. Penulis khawatir aksi penolakan itu akan memicu gerakan mogok mengajar secara nasional, dan itu adalah implikasi serius yang harus diantisipasi oleh pemerintah sebelum merealisasi aturan penggajian tunggal. Jangan sampai tujuan pemerintah melalui Kemenpan RB untuk menerapkan sistem penggajian tunggal yang muaranya adalah agar PNS memberikan pelayanan secara optimal kepada masyarakat justru menjadi kontraproduktif akibat ada sebagian PNS justru merasa dirugikan akibat dari penerapan aturan tersebut.
            Proporsi komponen gaji pokok dan capaian kinerja bagi guru PNS tak begitu penting, karena yang terpenting bagi guru PNS jumlah uang yang mereka bawa pulang (take home pay) besarnya tidak kurang dari jumlah gaji mereka ditambah dengan satu kali gaji pokok. Pemberian tambahan TPG bagi guru yang telah lulus sertifikasi merupakan realisasi UU Guru dan Dosen. Saat muncul kebijakan baru, sementara UU yang lama masih berlaku dan memiliki kekuatan hukum dilaksanakan maka rentan muncul penolakan oleh guru PNS yang selama ini merasakan “nikmatnya” tambahan penghasilan melalui TPG.
            Niat baik pemerintah untuk mengapresiasi PNS yang memiliki kinerja baik dengan memberikan reward yang lebih besar daripada PNS yang malas tentu kita sambut positif. Demikian juga guru PNS, guru yang rajin dan berdedikasi tinggi akan mendapat penghargaan dalam bentuk penghasilan yang lebih dari pada guru yang jarang masuk, mengajar seenaknya, dan tak berprestasi. Mudah-mudahan aturan yang tengah disiapkan pemerintah berkaitan kebijakan penggajian tunggal, yang berangkat dari keinginan meningkatkan kualitas kinerja PNS tidak akan sedikitpun merugikan guru.
            Penulis sepakat jika PNS termasuk guru di dalamnya yang memiliki kinerja baik akan mendapat penghasilan lebih dalam bentuk tunjangan kinerja. Azas keadilan dalam penggajian adalah tuntutan terhadap peningkatan kualitas dan kinerja PNS. Gaji PNS yang rajin dengan yang malas mestinya memang harus berbeda. Bila selama ini antara yang rajin bekerja dengan yang rajin main catur di jam kerja gajinya sama saja. Saatnya pemerintah menghargainya PNS yang berkinerja baik.
            Kita respek terhadap sikat ketua PB PGRI Sulistyo selama ini memperjuangkan nasib guru agar kesejahteraannya lebih baik. Banyak statemen ketua PGRI yang memposisikan membela guru. Mudah-mudahan suara ketua PGRI ini masih di dengar oleh pemerintah sehingga aturan yang akan dikeluarkan oleh pemerintah tidak merugikan guru, aturan penggajian yang berkeadilan dan tidak melanggar UU Guru dan Gosen. Semoga ! (Wahyudi Oetomo)