Senin, 23 Juli 2018

Penggajian Berkeadilan dan Tidak Melanggar UU Guru dan Dosen


Semenjak guru menerima Tunjangan Profesi Guru (TPG), para guru kerap dibuat “olahraga jantung” oleh berbagai kabar “tidak jelas” mengenai TPG. Beberapa waktu yang lalu, para guru dibuat resah ketika ada kabar bahwa Uji Kompetensi Guru (UKG) yang akan dilaksanakan bulan Nopember berhubungan dengan penerimaan TPG. Kabar yang meresahkan terbaru di kalangan guru adalah akan diterapkannya sistem penggajian tunggal (single salary) yang membawa konsekuensi dihapuskannya TPG. Dalam sistem ini hanya ada 2 komponen gaji PNS yakni gaji pokok yang mencapai 75% dari total penghasilan serta capaian kinerja yang prosentasenya adalah 25%.
            Sebenarnya kabar pemberlakuan sistem penggajian tunggal telah santer terdengar pada awal tahun 2015. Namun, hingga usia tahun 2015 hampir berakhir rupanya pemerintah masih belum menerapkan aturan tersebut. Karena sistem penggajian tunggal merupakan amanat Undang-Undang Aparatur Sipil Negara (ASN) maka penerepan UU tersebut tinggal menunggu waktu. Apakah Kementerian Pendayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemenpan RB) akan menerapkan tahun 2016, belum ada informasi yang jelas. Mestinya pemerintah melalui Kemenpan RB harus menyosialisasikan kebijakan tersebut khususnya kepada PNS yang akan terkena dampak dari penerapan aturan tersebut. Jangan sampai ketika aturan tersebut mulai diterapkan muncul gelombang protes dari PNS guru sebagai salah satu pihak yang akan terkena dampak penerapan sistem penggajian tunggal. Jika selama ini PNS guru menerima TPG, maka saat sistem penggajian tunggal diterapkan tunjangan sertifikasi itu akan dihapus.
            Jika benar pemberlakuan sistem penggajian tunggal akan menghapus TPG dan take home pay PNS guru mengalami penurunan drastis pasti akan menimbulkan aksi penolakan dari para guru PNS yang jumlahnya sekitar 1,7 orang. Penulis khawatir aksi penolakan itu akan memicu gerakan mogok mengajar secara nasional, dan itu adalah implikasi serius yang harus diantisipasi oleh pemerintah sebelum merealisasi aturan penggajian tunggal. Jangan sampai tujuan pemerintah melalui Kemenpan RB untuk menerapkan sistem penggajian tunggal yang muaranya adalah agar PNS memberikan pelayanan secara optimal kepada masyarakat justru menjadi kontraproduktif akibat ada sebagian PNS justru merasa dirugikan akibat dari penerapan aturan tersebut.
            Proporsi komponen gaji pokok dan capaian kinerja bagi guru PNS tak begitu penting, karena yang terpenting bagi guru PNS jumlah uang yang mereka bawa pulang (take home pay) besarnya tidak kurang dari jumlah gaji mereka ditambah dengan satu kali gaji pokok. Pemberian tambahan TPG bagi guru yang telah lulus sertifikasi merupakan realisasi UU Guru dan Dosen. Saat muncul kebijakan baru, sementara UU yang lama masih berlaku dan memiliki kekuatan hukum dilaksanakan maka rentan muncul penolakan oleh guru PNS yang selama ini merasakan “nikmatnya” tambahan penghasilan melalui TPG.
            Niat baik pemerintah untuk mengapresiasi PNS yang memiliki kinerja baik dengan memberikan reward yang lebih besar daripada PNS yang malas tentu kita sambut positif. Demikian juga guru PNS, guru yang rajin dan berdedikasi tinggi akan mendapat penghargaan dalam bentuk penghasilan yang lebih dari pada guru yang jarang masuk, mengajar seenaknya, dan tak berprestasi. Mudah-mudahan aturan yang tengah disiapkan pemerintah berkaitan kebijakan penggajian tunggal, yang berangkat dari keinginan meningkatkan kualitas kinerja PNS tidak akan sedikitpun merugikan guru.
            Penulis sepakat jika PNS termasuk guru di dalamnya yang memiliki kinerja baik akan mendapat penghasilan lebih dalam bentuk tunjangan kinerja. Azas keadilan dalam penggajian adalah tuntutan terhadap peningkatan kualitas dan kinerja PNS. Gaji PNS yang rajin dengan yang malas mestinya memang harus berbeda. Bila selama ini antara yang rajin bekerja dengan yang rajin main catur di jam kerja gajinya sama saja. Saatnya pemerintah menghargainya PNS yang berkinerja baik.
            Kita respek terhadap sikat ketua PB PGRI Sulistyo selama ini memperjuangkan nasib guru agar kesejahteraannya lebih baik. Banyak statemen ketua PGRI yang memposisikan membela guru. Mudah-mudahan suara ketua PGRI ini masih di dengar oleh pemerintah sehingga aturan yang akan dikeluarkan oleh pemerintah tidak merugikan guru, aturan penggajian yang berkeadilan dan tidak melanggar UU Guru dan Gosen. Semoga ! (Wahyudi Oetomo)

Merekrut Guru Hebat untuk Kemajuan Bangsa

Berbagai terobosan baru dilakukan oleh perintah saat ini untuk memperbaiki semua aspek kehidupan bangsa ini untuk menuju Indonesia yang lebih baik. Salah satu yang akan dirubah adalah pola rekrutmen guru PNS.  Menurut Mendikbud Anies Baswedan, perlu ada reformasi dalam rekrutmen guru,  karena selama ini menurutnya rekrutmen guru begitu longgar, tanpa ada seleksi kompetensi.
            Meski baru sebatas lontaran pernyataan lisan oleh pejabat Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, namun karena yang berbicara adalah orang nomor satu di Kemdikbud dan diperkuat oleh Direktur Pendidik dan Tenaga Kependidikan (Dirdiktendik) Kemenristekdikti, Supriadi Rustad, tentang perubahan pola rekrutmen guru PNS layak kita anggap sebagai informasi akurat. Ini berarti, bagi sarjana kependidikan yang ingin diangkat menjadi PNS (Pegawai Negeri Sipil) wajib lulus program pendidikan profesi guru (PPG) yang wujudnya adalah praktik mengajar di daerah pedalaman, sama dengan program SM3T (Sarjana Mengajar di Daerah Terdepan, Terluar, dan Tertinggal), setelah mengikuti program mengajar di daerah pedalaman mereka akan diasramakan, total waktu yang diperlukan kedua kegiatan tersebut adalah dua tahun.
            Program guru mendidik di daerah pedalaman, adalah program yang tepat untuk menumbuhkan mental guru sejati, bukan sekedar guru biasa. Guru-guru muda yang mengikuti  praktik mengajar di pedalaman  akan diuji kecintaannya pada negara, komitmennya untuk memajukan bangsa melalui pendidikan. Jika guru-guru yang baru tumbuh dari guru-guru yang memiliki nasionalisme yang tinggi, maka akan lebih mudah membangun dunia pendidikan yang berkualitas.
            Selepas mengikuti program SM3T, guru-guru yang ingin menjadi PNS harus menjalani pendidikan yang diasramakan. Menurut penjelasan Dirdiktendik, Supriadi Rustad, “ketika masa pendidikan asrama, mereka bukan berarti enak-enakan saja. Calon guru pada tahap ini dilatih disiplin waktu yang ketat.” Negeri ini membutuhkan guru-guru yang cinta pada negerinya, sehingga memiliki kesungguhan untuk memajukan negeri ini melalui pendidikan, dan diimplementasikan dengan cara menjadi guru yang bertanggung jawab pada tugasnya. Pola perekrutan guru PNS melalui kombinasi program SM3T dan pendidikan asrama yang disiplin, diharapkan menghasilkan guru-guru hebat yang memiliki semua kompetensi yang dibutuhkan, kompetensi paedagogik, personal, maupun sosial.
            Sebagai sebuah terobosan baru dalam merekrut guru PNS, optimisme terhadap perbaikan kualitas pendidikan di masa depan harus dimunculkan saat pola  ini diterapkan. Namun begitu, ada beberapa hal yang mesti dicermati agar pola baru perekrutan guru PNS ini tidak sekedar bagus pada tataran teori namun tidak konsisten dalam implementasinya. Misalnya, saat program baru ini juga dijadikan sebagai pemetaan kebutuhan guru, maka guru-guru baru yang lolos dalam perekrutan harus bersedia ditempatkan di daerah pedalaman dalam jangka waktu tertentu, misal minimal lima tahun. Jangan sampai guru-guru baru itu hanya menjalani satu sampai dua tahun di pedalaman setelah itu  minta mutasi ke wilayah kabupaten/kota.
            Hal lain yang juga harus diperhatikan oleh pemerintah sebelum merekrut guru-guru baru adalah koordinasi antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah dalam hal formasi guru PNS di daerah. Jangan sampai calon-calon guru yang lolos dalam seleksi PPG, tidak terserap oleh pemerintah daerah karena  tidak ada formasi untuk mereka.
                Kebijakan pemerintah memberi kesempatan kepada sarjana non kependidikan untuk mengikuti seleksi PPG jangan sampai menimbulkan gejolak di kemudian hari. Jika Sarjana non kependidikan hanya diproyeksikan untuk guru produktif di SMK dan tidak kepada semua jurusan maka resiko penentangan dari mahasiswa jurusan kependidikan dapat diminimalisir. Tiga tahun silam puluhan mahasiswa Universitas Negeri Surabaya (UNESA) berdemo di gedung DRPD menolak sistem penerimaan guru melalui PPG yang memberikan kesempatan yang sama kepada sarjana kependidikan dan non kependidikan, dimana menurut mereka tidak adil.
            Kita semua berharap program baru untuk merekrut guru PNS dapat melahirkan guru-guru hebat yang memiliki komitmen untuk memajukan dunia pendidikan nasional. Guru sebagai komponen penting dalam upaya meningkat kualitas pendidikan sudah saatnya digawangi anak-anak bangsa yang hebat, cinta tanah airnya, dan memiliki seluruh kompetensi yang diperlukan oleh seorang guru. Anies Baswedan, Mendikbud, sepakat jika rekrutmen guru diperketat kita akan  mendapatkan guru-guru yang berkualitas. Semoga! (Wahyudi Oetomo)