Senin, 23 Juli 2018

PEKERJA ANAK, PROBLEM KITA SEMUA

Semua anak di negeri ini adalah asset bangsa ini kelak di masa depan. Dan semuanya pasti sepakat bahwa seluruh anak di negeri ini harus tumbuh secara wajar dan sehat, secara fisik dan mental. Tak ada satu pun orang tua yang rela membiarkan anak-anaknya turut bertanggung jawab terhadap kebutuhan keluarga. Meski pada akhirnya sebagian orang tua “terpaksa” membiarkan anak-anak mereka turut membantu ekonomi keluarga karena ketidakmampuan orang tua memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga.
            Pekerja anak (child labour), merujuk pada pekerja  di bawah usia 18 tahun. Pekerja anak tumbuh karena ketidakmampuan orang tua memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga . Sebagian besar tumbuhnya pekerja anak karena faktor kemiskinan. Semakin besar jumlah pekerja anak di negeri ini. maka bisa menjadi indikasi bahwa  angka kemiskinan di negeri ini juga tinggi. Menurut data Komisi Nasional Perlindungan Anak, jumlah pekerja anak di Indonesia pada tahun 2010 sekitar 3,5 juta anak, sedangkan menurut data BPS ada sekitar 4 juta anak usia 7 sampai dengan 18 tahum terpaksa bekerja untuk memenuhi kebutuhan ekonomi keluarganya. Anak-anak pekerja tersebut terdapat diseluruh wilayah Indonesia, tersebar di daerah yang menjadi tempat pekerja seperti pelabuhan, industri, pertambangan, perkebunan, dan rumah tangga.
            Jika angka kemiskinan di negeri ini terus meningkat, maka upaya untuk mengurangi atau bahkan menghapus pekerja anak sangat sulit dilakukan (kalau tidak mau dikatakan mustahil). Tugas mengurangi dan menghapus pekerja anak  secara formal memang ada pada pemerintah, namun bila tidak didukung oleh pihak lain yang bersentuhan dengan persoalan pekerja anak, maka usaha ini akan sangat berat bagi pemerintah.
                Pada tahun 2011 ini, pemerintah menargetkan sebanyak 3.360 pekerja anak dapat ditarik dari tempat kerjanya. Menakertrans Muhaimin Iskandar dalam Rapat Kerja dengan Komisi IX DPR RI mengatakan: "Saya menyatakan warning kepada perusahaan dan orang tua yang memperkerjakan anak. Itu peringatan yang tegas, kami peringatkan sekali lagi,  siapa saja yang melanggar akan segera ditindak sesuai hukum yang berlaku.”
            Menurut Menakertrans, pemerintah berkomitmen untuk menghapus pekerja anak. Komitmen ini terlihat dengan diratifikasinya kedua Konvensi ILO (Organisasi Buruh Internasional) Nomor 138 mengenai Usia Minimum untuk diperbolehkan Bekerja dan Nomor 182 mengenai Pelarangan dan Tindakan segera penghapusan Bentuk-bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak. Selain itu isi substansi tehnis kedua Konvensi ILO terdapat pada Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Oleh  karena itu, para pelanggar bisa dijerat Undang-undang Ketenagakerjaan (UU No. 13 Tahun 2003) dan UU tentang Ratifikasi Konvensi ILO pada Pekerjaan terburuk untuk anak (UU No.20 Tahun 1999 dan UU No 1. Tahun 2000) atau UU Kekerasan Dalam Rumah Tangga.
            Lalu, apakah sekedar memberikan warning kepada perusahan dan orang tua dengan ancaman hukuman yang berat persoalan pekerja anak dengan mudah dapat diselesaikan? Jika tumbuhnya pekerja anak hanya sekedar mengeksploitasi anak untuk memperoleh kepentingan ekonomi, karena upah pekerja anak jauh lebih  murah dari pekerja dewasa, maka memberantas pekerja anak akan mudah dilakukan. Tapi, jika tumbuhnya pekerja anak karena tuntutan pemenuhan kebutuhan perut, maka persoalan pekerja anak tidak cukup diselesaikan dengan cara memberikan peringatan dan ancaman kepada perusahaan dan orang tua yang mendorong praktik pekerja anak.
            Saat orang tua tidak punya pilihan untuk memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga selain memperkerjakan anak adalah memperdagangkan anak (Child trafficking). Kedua bentuk eksploitasi anak tersebut semestinya memang harus dihentikan. Alasan kemiskinan bukan pembenaran untuk mengeksploitasi anak, sehingga masa depannya akan gelap, terutama karena anak-anak tersebut tidak punya kesempatan untuk mengenyam pendidikan yang baik.
            Melakukan penyadaran mengenai pentingnya memberikan ruang tumbuh dan berkembang bagi anak secara sehat dan wajar, kepada orang tua yang berasal dari keluarga miskin harus senantiasa dilakukan oleh pemerintah melalui dinas terkait, atau oleh lembaga swadaya masyarakat, agar anak tumbuh menjadi pribadi yang sehat, mandiri, dan trampil tanpa harus menjadi pekerja anak.
            Upaya penting mengurangi semakin meningkatnya jumlah pekerja anak di negeri ini adalah melalui sentuhan dunia pendidikan. Dunia sekolah melalui guru dapat secara intens memberikan pemahaman khususnya kepada peserta didik yang berasal dari keluarga tidak mampu agar selalu tetap memelihara semangat untuk bersekolah. Sekolah harus selalu mengupayakan agar peserta didik tidak putus sekolah, terutama karena alasan ketidakmampuan membayar biaya sekolah.
            Penanaman kesadaran kepada orang tua agar tidak memaksakan anak turut menanggung beban ekonomi keluarga harus dilakukan secara intens lewat penyuluhan secara berkala di kantong-kantong kemiskinan, ini bisa dilakukan oleh pemerintah melalui dinas sosial, atau oleh komisi perlindungan anak. Pelibatan lembaga swadaya masyarakat yang concern pada penyelamatan masa depan anak juga harus dilakukan. Meskipun upaya menghapus praktik pekerja anak sama sekali adalah pekerjaan mustahil selama kemiskinan mendera sebagian masyarakat kita, namun upaya untuk mengurangi angka pekerja anak di negeri ini harus tetap dilakukan dengan sekuat tenaga. Semua anak di negeri ini harus tumbuh dan berkembang secara wajar, dan memperoleh layanan pendidikan yang optimal. Upaya ini harus dilakukan oleh kita semua, karena masalah pekerja anak adalah masalah kita semua. (Wahyudi Oetomo)

ALASAN GURU MENGAJUKAN PENSIUN DINI HANYA SEKEDAR UANG?


Saat banyak anak muda mulai mendambakan berprofesi sebagai guru, ada fenomena ”aneh” di kalangan guru-guru senior, yaitu semakin meningkatnya guru yang mengajukan pensiun dini. Di Jawa Timur saja ada sekitar 300-an guru pada bulan Maret hingga April 2015 mengajukan pensiun dini ke pemerintah. Kesempatan yang dibuka oleh KemenPAN-RB  kepada PNS untuk mengajukan pensiun dini bagi yang sudah memiliki masa kerja minimal 25 tahun, demi kepentingan efisiensi anggaran dan kinerja birokrasi ternyata pada tataran implementasi tidak mudah dilakukan. Dengan alasan di beberapa daerah masih kekurangan guru, maka pengajuan pensiun dini oleh beberapa guru ditolak pemerintah, seperti di Jawa Timur.
            Fenonema pengajuan pensiun dini di kalangan guru sungguh pasti mengundang banyak tanya. Saat kesejahteraan guru kian meningkat sejalan dengan diberlakukannya program sertifikasi guru, ada yang aneh ketika para guru yang mengalami peningkatan kesejahteraan itu lalu memilih untuk mengajukan pensiun dini.  Ketika ada yang beralasan ingin berwirausaha dengan modal hasil sertifikasi, rasanya alasan itu terlalu pragmatis dan sangat merendahkan profesi guru karena profesi guru hanya dijadikan sarana untuk mencari uang banyak, setelah terkumpul banyak lalu ditinggallah profesi itu.
            Guru-guru yang telah melewati masa kerja 25 tahun tentulah bukan guru yang kebetulan, juga bukan guru-guru “instan”, guru-guru yang telah melewati masa kerja 25 tahun tentulah bukan guru-guru materialistis, karena pasti mereka berangkat dari gaji kecil, dan mereka menjalaninya bertahun-tahun. Pasti akan sangat menyakitkan bila guru-guru senior itu divonis hanya berorientasi materi ketika menjadi seorang guru. Jika guru-guru itu materialistis tentulah tidak akan meninggalkan profesi sebagai guru, apalagi mereka adalah guru yang sudah sertifikasi.  Dana sertfiifikasi yang mereka terima tiap tiga bulan sekali adalah pendapatan pasti, belum tentu jumlah nominal yang sama akan mereka peroleh bila beralih sebagai wirausahawan, apalagi mereka belum punya pengalaman sebagai seorang wirausahawan.
            Perlu ada kajian dan penelitian yang shahih untuk menjawab secara pas mengapa banyak guru senior lebih memilih mengajukan pensiun dini daripada terus menjadi seorang guru dengan tunjangan sertifikasi. Kita semua mungkin sepakat bahwa itikat pemerintah untuk memberikan tunjangan sertifikasi adalah sebagian cara meningkatkan kesejahteraan guru, yang diharapkan dapat meningkatkan kinerjanya dan lebih fokus menjalankan tugasnya. Namun, yang terjadi di lapangan justru kerap membuat suasana di tempat kerja kurang kondusif. Jumlah jam mengajar minimal 24 jam seminggu  sering  menimbulkan konflik antar guru. Ada sebagian guru harus mencari tambahan jam mengajar di sekolah yang lain, dan ini bagi sebagian guru bukan kondisi yang nyaman. Mungkin saja ini menjadi salah satu penyebab bagi sebagian guru memilih mengajukan pensiun dini daripada membuat repot mereka.
            Dugaan penyebab yang lain fenomena pengajuan pensiun dini di kalangan guru adalah penerapan penilaian kinerja guru (PKG). Penilaian kinerja guru bagi sebagian guru juga dianggap merepotkan. Tahapan penilaian kinerja guru mulai dari tahap sebelum pengamatan, selama pengamatan, hingga setelah pengamatan bagi beberapa guru  yang tidak terbiasa diobservasi atau disupervisi adalah momen yang menegangkan. Penilaian kinerja guru dilaksanakan untuk mewujudkan guru yang profesional, namun bagi sebagian guru dianggap menyulitkan guru.  Integrasi antara PKG dengan penghitungan nilai angka kredit guru atas kinerja pembelajaran, pembimbingan, atau pelaksanaan tugas tambahan yang relevan untuk kenaikan pangkat dan jabatan fungsionalnya telah membuat sebagian guru berfikir bahwa untuk naik pangkat saja terlalu banyak prosedur yang harus dilalui oleh seorang guru, lalu mereka akan membandingkan dengan pegawai negeri lain yang bisa naik tanpa melalui prosedur yang rumit.
            Saat bertahun-tahun guru tidak merasa nyaman dengan apa yang dialami maka ketika ada peluang untuk mengajukan pensiun dini maka kesempatan itu akan diambil. Jangan katakan pada guru-guru yang mengajukan pensiun dini itu tidak punya idealisme. Bila yang mengatakan itu adalah pejabat pemerintah di lingkungan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mestinya perlu introspeksi mengapa mulai banyak guru merasa jenuh menjadi guru disaat guru memperoleh pendapatan yang lumayan besar.
Kerap guru harus mengalah dengan sistem dan guru tidak punya keberanian untuk melawannya meskipun bertentangan dengan idealismenya. Ini juga mungkin menjadi penyebab mulai banyak guru mengajukan pensiun dini. Ada banyak guru yang tak mampu mengelak dari tuntutan sistem karena resikonya terlalu besar jika melawan arus, mereka akhirnya memilih patuh. Dengan dalih prestise sekolah dan tekanan penguasa banyak guru terpaksa tunduk pada praktik “kotor” dalam pelaksanaan ujian nasional. Ketika ada peluang untuk mengakhiri itu semua dengan cara mengajukan pensiun dini, maka ditempuhlah jalan itu.
            Jangan buru-buru menuduh pada guru-guru yang mengajukan pensiun dini adalah guru-guru yang tidak punya idealisme dan hanya berorientasi materi. Kita boleh memvonis guru-guru tersebut tidak pantas menjadi guru bila terbukti alasan mereka mengajukan pensiun dini karena ingin berwirausaha bermodalkan uang hasil sertifikasi. Namun, bila bukan itu alasannya tapi karena jenuh dengan sistem yang ada dan membuat mereka tidak bisa berkembang dalam karir dan jabatan, serta karena tidak tahannya para guru itu  terhadap berbagai praktik kotor yang terjadi di sekitar lingkungan kerjanya, maka ada yang perlu diperbaiki dengan sistem yang bersentuhan dengan aktivitas guru sebagai sebuah profesi. Menuntut guru profesional dalam tugasnya adalah kewajiban negara, namun membebani guru terlalu berlebihan dengan tuntutan yang sulit dilaksanakan oleh guru juga tidak bijak. (Wahyudi Oetomo)