Senin, 23 Juli 2018

Membangun Generasi Cerdas Komprehensif

Ibarat generasi emas Indonesia adalah sebuah busana kebesaran yang kelak akan dipakai menjadi busana kebangggaan, saat ini kita tengah merendanya menjadi busana yang indah. Sebuah pekerjaan yang tidak ringan, dan cukup banyak pernak-pernik yang harus disiapkan dalam rangka mencetak generasi emas Indonesia.
            Dalam sambutan memperingati hari pendidikan nasional 2014, Mendikbud, M. Nuh, menyampaikan: “Insya Allah, melalui kurikulum 2013, anak-anak kita akan memiliki kompetensi utuh yang mencakup sikap, pengetahuan, dan keterampilan. Itu semua kita lakukan dalam rangka mempersiapkan generasi emas, yaitu generasi yang kreatif, inovatif, produktif, mampu berpikir orde tinggi, berkarakter, serta cinta dan bangga menjadi bangsa Indonesia, Dengan generasi emas itulah, kita bangun peradaban Indonesia yang unggul, menuju kejayaan Indonesia 2045.”
                Di tengah kontroversi pemberlakuan kurikulum 2013, ternyata bagian penting dari bangunan pendidikan nasional, yakni kurikulum 2013 diletakkan sebagai bagian yang sangat sentral dalam mempersiapkan generasi emas. Kurikulum 2013 yang menurut sebagian pemerhati pendidikan terlalu dipaksakan untuk diterapkan pada tahun pelajaran yang akan datang (2014/2015) telah dianggap sebagai sarana ideal untuk menyiapkan generasi yang unggul.
            Investasi sumber daya manusia (SDM) adalah investasi jangka panjang. Membangun generasi emas di masa depan, sebagai bentuk investasi SDM jangka panjang, dibangun melalui dunia pendidikan yang bermutu. Jangan pernah bermimpi membangun generasi emas yang cerdas komprehensif di masa depan bila kualitas pendidikan nasional masih termarjinalisasi oleh paradigma pendidikan yang berorientasi kuantitas. Bila insan pendidikan beserta pemangku kepentingannya lebih bangga akan kelulusan seratus persen dari pada mengedepankan kejujuran, maka obsesi membangun generasi emas yang cerdas komprehensif hanyalah fatamorgana.
            Harapan membentuk generasi emas melalui grand design pendidikan, yang menekankan pada pendidikan dasar berkualitas dan merata, tentu saja harus tetap ditumbuhkan. Bonus demografi, yakni jumlah penduduk usia produktif yang lebih tinggi dibandingkan jumlah usia anak-anak dan orang tua  pada tahun 2045, akan menjadi bonus yang memiliki nilai tambah jika desain pendidikan nasional mampu membangun generasi yang saat ini masih berada di rentang usia 0 – 20 tahun  menjadi generasi unggul. Namun, bonus itu justru jadi beban bila dunia pendidikan kita tidak mampu mengantarkan generasi “bonus” itu menjadi generasi cerdas komprehensif. Pendidikan yang mencerdaskan sikap, pengetahuan, dan keterampilan yang kini sedang dibangun oleh Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) untuk merealisasikan generasi emas di tahun 2045, sebagai hadiah ulang tahun ke-100 kemerdekaan RI.
            Dinamika dunia pendidikan dua tahun terakhir, sebagai bagian merenda generasi emas, secara objektif sebagian orang mungkin kehilangan optimisme. Berbagai peristiwa dalam dunia pendidikan belakangan ini mendegradasi optimisme itu. Kasus kebocoran soal UN, perkelahian pelajar, kekerasan di sekolah, pelecehan seksual di sekolah, pemalsuan ijazah, penjiplakan karya ilmiah, korupsi dana BOS, penolakan penerapan kurikulum baru, dan beberapa peristiwa lain yang kurang lebih memiliki “rasa” yang sama.
            Jika obsesi merenda generasi emas benar-benar ingin diwujudkan, pemerintah melalui Kemdikbud harus melakukan langkah frontal yang bermuara pada peningkatan kualitas pendidikan. Langkah pertama, menyusun kurikulum yang mengakomodasi kebutuhan siswa yang menguasai kompetensi sikap, pengetahuan, dan keterampilan. Bukan kurikulum yang ganti menteri ganti kurikulum. Kurikulum yang hebat tak akan banyak bermakna bila guru pelaksana di lapangan bukan guru-guru hebat yang berkualitas. Kemdikbud memiliki kewajiban merekrut guru-guru yang berkualitas untuk mengantar generasi emas yang kita diimpikan. Langkah lain yang harus juga dilakukan oleh Kemdikbud adalah menghilangkan praktik-praktik kontraproduktif terhadap peningkatan kualitas pendidikan. Misalnya, penghapusan Ujian Nasional, atau dibiarkan tetap ada namun hanya sebagai alat pemetaan kualitas pendidikan nasional.
            Membebankan upaya menciptakan generasi emas yang cerdas komprehensif hanya kepada pemerintah melalui Kemdikbud sangat tidak adil. Upaya merenda generasi emas melalui peningkatan kualitas pendidikan harus juga dipikul oleh masyarakat dan orang tua. Kontribusi masyarakat dan orang tua bisa dalam bentuk kontribusi apa saja yang penting muaranya memberikan efek stimulasi pada peningkatan kualitas pendidikan, baik formal maupun informal.
            Akhirnya, kita berharap grand desaign yang telah dibangun oleh pemerintahan yang sekarang (era Presiden SBY), sebagai desain jangka panjang tidak serta merta diganti total oleh pemerintahan yang baru. Penyesuaian tetap perlu dilakukan agar seirama dengan visi pemerintahan yang baru, namun  kita berharap road map pendidikan jangka panjang yang konsisten tetap harus kita miliki. (Wahyudi Oetomo)

MENGEMBALIKAN PANCASILA KE SEKOLAH, MENGAPA TIDAK?


Di manakah kini Pancasila berada? Pancasila telah hilang? Maraknya  radikalisme dan kekerasan atas nama suku, agama, ras, budaya dan kian kronisnya korupsi diyakini oleh sebagian orang diakibatkan oleh kian dilupakannya Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara .
            Orde reformasi, memunculkan euforia pada saat itu, dan simbol-simbol orde baru dianggap sebagai bahaya laten yang mesti dikubur dalam-dalam, dan Pancasila ikut dipinggirkan dalam dialektika kehidupan berbangsa. Pancasila pun dalam pendidikan nasional dikikis keberadaannya. Pendidikan Moral Pancasila (PMP), sebagai sebuah mata pelajaran berubah nama menjadi Pendidikan Kewarganegaraan (PKN) tanpa ada embel-embel Pancasila-nya.
Namun, saat reformasi tak mampu memenuhi obsesi sebagian besar masyarakat berupa kesejahteraan dan keamanan, kini banyak orang merindukan masa-masa ketika masa orde baru. Masyarakat semakin muak dengan tontonan kekerasan di media massa berbalut ras, suku, agama, dan budaya. Degradasi nilai-nilai karakter bangsa telah demikian tajam menggejala di sebagian besar masyarakat kita.  Tengok saja tayangan televisi, bentrok antar kampung, peperangan antar suku, tawuran antar pelajar, tawuran antar mahasiswa, pengeboman tempat ibadah, saling hujat antar elit politik, dan kasus korupsi menjadi menu yang tak pernah sepi di layar kaca.
Lalu kemanakah karakter asli bangsa ini? Karakter penduduk Indonesia yang berbudi pekerti luhur, suka menolong, ramah-tamah, sopan-santun, toleransi, dan agamis telah ditelan bumi?  Membiarkan negeri ini terus-menerus dalam kondisi kehilangan karakter aslinya ini akan membuat negeri ini kian terpuruk, bahkan bisa jadi negeri ini akan tercerai-berai. Harus ada gerakan massif untuk menumbuhkan kembali karakter asli bangsa ini yang mulai hilang tergerus oleh pusaran arus zaman.
Dalam kurikulum pendidikan saat ini gencar disosialisasikan penyisipan (integrasi) karakter bangsa pada seluruh mata pelajaran di sekolah. Dunia pendidikan masih dipandang sebagai medium paling efektif untuk menumbuhkan kembali karakter bangsa yang perlahan tapi pasti mulai hilang dalam relung hati penduduk negeri ini. Lalu, apakah cara reaktualisasi karakter bangsa cukup efektif lewat integrasi pada seluruh mata pelajaran yang diajarkan mulai pendidikan dasar hingga menengah atas?
Kenapa tidak memilih cara menghidupkan kembali nilai-nilai budaya bangsa lewat mengembalikan format pendidikan kewarganegaraan ke pendidikan moral Pancasila? Menurut survey Biro Pusat Statistik (BPS) sekitar 80 persen masyarakat melihat Pancasila sebagai sesuatu yang dibutuhkan dan masyarakat menyadari Pancasila merupakan pilar kehidupan berbangsa dan bernegara. Mantan Presiden BJ. Habibie, dalam pidato Peringatan Hari Pancasila di  Jakarta, (1 Juni 2011)  sepakat jika akhirnya pemerintah  mengembalikan Pancasila ke sekolah.
Bagaimana format yang pas mengembalikan Pancasila ke sekolah terserah Kementerian Pendidikan Nasional (Kemendiknas). Bisa mengembalikan pelajaran kewarganegaraan menjadi PMP, bisa juga diintegrasikan kepada mata pelajaran yang ada, atau dalam bentuk muatan lokal. Harus ada kajian yang betul-betul dalam mengenai format penyajian pendidikan pancasila dalam semua jenjang pendidikan. Karena jika tidak, penanaman nilai-nilai pancasila hanya akan menjadi teori-teori verbal yang tidak pernah bersemayam dalam jiwa peserta didik.
Pendidikan Moral Pancasila (PMP) dan penataran P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila), tereleminasi dalam konten pendidikan nasional di era reformasi karena dipandang sebagai bagian simbol orde baru. Untung saja setiap upacara bendera hari senin, teks Pancasila masih dikumandangkan, sehingga anak-anak kita masih mendengar kata Pancasila dan sila-silanya. Saat orde reformasi tak mampu mewujudkan mimpi banyak rakyat akan kesejahteraan dan keamanan, banyak orang merindukan masa-masa orde baru, termasuk sebagian orang menginginkan agar Pancasila kembali diajarkan di sekolah. Keinginan itu didasarkan pada fakta kian hilangnya karakter asli bangsa ini tergerus pusaran waktu dan gempuran budaya asing.
Saat bangsa ini mulai kehilangan karakter aslinya Kemendiknas secara gencar mensosialisasi pengintegrasian nilai-nilai karakter bangsa dalam semua mata pelajaran di semua jenjang pendidikan. Kurikulum pendidikan kita sering diwarnai munculnya program dadakan yang tidak terkonsep secara matang dan instan. Beberapa tahun silam pernah ada program integrasi imtaq dalam semua mata pelajaran, kini program itu nyaris tak berbekas. Jika program integrasi  nilai-nilai karakter bangsa dalam semua mata pelajaran dilakukan tanpa konsep yang jelas dan terencana nasibnya akan sama dengan program-program sebelumnya yang hilang tak berbekas.
Kurikulum pendidikan dasar hingga menengah menurut banyak pengamat dipandang terlalu padat. Memasukkan pelajaran nilai-nilai Pancasila dalam kurikulum yang sudah ada rasanya mustahil, kasihan anak-anak kita yang terlalu banyak pelajaran yang harus dipelajari. Mengintegrasikan dengan pelajaran kewarganegaraan seperti jaman PMP adalah alternatif yang mungkin bisa dipilih. Atau menyempurnakan integrasi karakter bangsa menjadi integrasi nilai-nilai Pancasila dalam pelajaran yang sudah ada rasanya lebih realistis.
Kunci keberhasilan penanaman nilai-nilai termasuk nilai-nilai Pancasila di sekolah adalah pembelajaran kontekstual dan pengalaman nyata. Peserta didik perlu contoh tindakan nyata, bukan teori-teori verbal yang tidak ada faktanya. Sekolah adalah miniatur masyarakat nyata yang mesti konsisten dengan dunia di luar sekolah. Saat peserta didik di sekolah diajarkan budaya antri melalui pengalaman langsung, namun saat di luar sekolah mereka tidak menyaksikan budaya tersebut diterapkan oleh sebagian besar masyarakat, maka penilaian nilai-nilai di sekolah akan menjadi sia-sia.
Akhirnya, penulis berharap keinginan untuk mengembalikan pendidikan Pancasila di sekolah oleh sebagian masyarakat, dikaji secara dalam oleh Kemendiknas. Jangan sampai saat program itu diluncurkan ada kontroversi yang berkembang di masyarakat sehingga program itu tidak efektif dan ujung-ujungnya dihentikan. Kita semua masih berharap negeri ini tetap tegak kokoh dengan karakter aslinya, jika itu bisa diwujudkan dengan mengembalikan Pancasila ke sekolah, mengapa tidak? Semoga. (Wahyudi Oetomo)