Ibarat generasi emas Indonesia adalah sebuah busana
kebesaran yang kelak akan dipakai menjadi busana kebangggaan, saat ini kita
tengah merendanya menjadi busana yang indah. Sebuah pekerjaan yang tidak
ringan, dan cukup banyak pernak-pernik yang harus disiapkan dalam rangka
mencetak generasi emas Indonesia.
Dalam
sambutan memperingati hari pendidikan nasional 2014, Mendikbud, M. Nuh,
menyampaikan: “Insya Allah, melalui kurikulum 2013, anak-anak kita akan
memiliki kompetensi utuh yang mencakup sikap, pengetahuan, dan keterampilan.
Itu semua kita lakukan dalam rangka mempersiapkan generasi emas, yaitu generasi
yang kreatif, inovatif, produktif, mampu berpikir orde tinggi, berkarakter,
serta cinta dan bangga menjadi bangsa Indonesia, Dengan generasi emas itulah,
kita bangun peradaban Indonesia yang unggul, menuju kejayaan Indonesia 2045.”
Di
tengah kontroversi pemberlakuan kurikulum 2013, ternyata bagian penting dari
bangunan pendidikan nasional, yakni kurikulum 2013 diletakkan sebagai bagian
yang sangat sentral dalam mempersiapkan generasi emas. Kurikulum 2013 yang
menurut sebagian pemerhati pendidikan terlalu dipaksakan untuk diterapkan pada
tahun pelajaran yang akan datang (2014/2015) telah dianggap sebagai sarana
ideal untuk menyiapkan generasi yang unggul.
Investasi
sumber daya manusia (SDM) adalah investasi jangka panjang. Membangun generasi
emas di masa depan, sebagai bentuk investasi SDM jangka panjang, dibangun
melalui dunia pendidikan yang bermutu. Jangan pernah bermimpi membangun
generasi emas yang cerdas komprehensif di masa depan bila kualitas pendidikan
nasional masih termarjinalisasi oleh paradigma pendidikan yang berorientasi
kuantitas. Bila insan pendidikan beserta pemangku kepentingannya lebih bangga
akan kelulusan seratus persen dari pada mengedepankan kejujuran, maka obsesi
membangun generasi emas yang cerdas komprehensif hanyalah fatamorgana.
Harapan
membentuk generasi emas melalui grand
design pendidikan, yang menekankan pada pendidikan dasar berkualitas dan
merata, tentu saja harus tetap ditumbuhkan. Bonus demografi, yakni jumlah
penduduk usia produktif yang lebih tinggi dibandingkan jumlah usia anak-anak
dan orang tua pada tahun 2045, akan
menjadi bonus yang memiliki nilai tambah jika desain pendidikan nasional mampu
membangun generasi yang saat ini masih berada di rentang usia 0 – 20 tahun menjadi generasi unggul. Namun, bonus itu
justru jadi beban bila dunia pendidikan kita tidak mampu mengantarkan generasi
“bonus” itu menjadi generasi cerdas komprehensif. Pendidikan yang mencerdaskan sikap,
pengetahuan, dan keterampilan yang kini sedang dibangun oleh Kementrian Pendidikan
dan Kebudayaan (Kemdikbud) untuk merealisasikan generasi emas di tahun 2045,
sebagai hadiah ulang tahun ke-100 kemerdekaan RI.
Dinamika
dunia pendidikan dua tahun terakhir, sebagai bagian merenda generasi emas,
secara objektif sebagian orang mungkin kehilangan optimisme. Berbagai peristiwa
dalam dunia pendidikan belakangan ini mendegradasi optimisme itu. Kasus
kebocoran soal UN, perkelahian pelajar, kekerasan di sekolah, pelecehan seksual
di sekolah, pemalsuan ijazah, penjiplakan karya ilmiah, korupsi dana BOS,
penolakan penerapan kurikulum baru, dan beberapa peristiwa lain yang kurang
lebih memiliki “rasa” yang sama.
Jika
obsesi merenda generasi emas benar-benar ingin diwujudkan, pemerintah melalui
Kemdikbud harus melakukan langkah frontal yang bermuara pada peningkatan
kualitas pendidikan. Langkah pertama, menyusun kurikulum yang mengakomodasi kebutuhan
siswa yang menguasai kompetensi sikap, pengetahuan, dan keterampilan. Bukan
kurikulum yang ganti menteri ganti kurikulum. Kurikulum yang hebat tak akan
banyak bermakna bila guru pelaksana di lapangan bukan guru-guru hebat yang
berkualitas. Kemdikbud memiliki kewajiban merekrut guru-guru yang berkualitas
untuk mengantar generasi emas yang kita diimpikan. Langkah lain yang harus juga
dilakukan oleh Kemdikbud adalah menghilangkan praktik-praktik kontraproduktif
terhadap peningkatan kualitas pendidikan. Misalnya, penghapusan Ujian Nasional,
atau dibiarkan tetap ada namun hanya sebagai alat pemetaan kualitas pendidikan
nasional.
Membebankan
upaya menciptakan generasi emas yang cerdas komprehensif hanya kepada
pemerintah melalui Kemdikbud sangat tidak adil. Upaya merenda generasi emas
melalui peningkatan kualitas pendidikan harus juga dipikul oleh masyarakat dan
orang tua. Kontribusi masyarakat dan orang tua bisa dalam bentuk kontribusi apa
saja yang penting muaranya memberikan efek stimulasi pada peningkatan kualitas
pendidikan, baik formal maupun informal.
Akhirnya,
kita berharap grand desaign yang
telah dibangun oleh pemerintahan yang sekarang (era Presiden SBY), sebagai
desain jangka panjang tidak serta merta diganti total oleh pemerintahan yang
baru. Penyesuaian tetap perlu dilakukan agar seirama dengan visi pemerintahan
yang baru, namun kita berharap road map pendidikan jangka panjang yang
konsisten tetap harus kita miliki. (Wahyudi Oetomo)