Senin, 23 Juli 2018

MENGEMBALIKAN PANCASILA KE SEKOLAH, MENGAPA TIDAK?


Di manakah kini Pancasila berada? Pancasila telah hilang? Maraknya  radikalisme dan kekerasan atas nama suku, agama, ras, budaya dan kian kronisnya korupsi diyakini oleh sebagian orang diakibatkan oleh kian dilupakannya Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara .
            Orde reformasi, memunculkan euforia pada saat itu, dan simbol-simbol orde baru dianggap sebagai bahaya laten yang mesti dikubur dalam-dalam, dan Pancasila ikut dipinggirkan dalam dialektika kehidupan berbangsa. Pancasila pun dalam pendidikan nasional dikikis keberadaannya. Pendidikan Moral Pancasila (PMP), sebagai sebuah mata pelajaran berubah nama menjadi Pendidikan Kewarganegaraan (PKN) tanpa ada embel-embel Pancasila-nya.
Namun, saat reformasi tak mampu memenuhi obsesi sebagian besar masyarakat berupa kesejahteraan dan keamanan, kini banyak orang merindukan masa-masa ketika masa orde baru. Masyarakat semakin muak dengan tontonan kekerasan di media massa berbalut ras, suku, agama, dan budaya. Degradasi nilai-nilai karakter bangsa telah demikian tajam menggejala di sebagian besar masyarakat kita.  Tengok saja tayangan televisi, bentrok antar kampung, peperangan antar suku, tawuran antar pelajar, tawuran antar mahasiswa, pengeboman tempat ibadah, saling hujat antar elit politik, dan kasus korupsi menjadi menu yang tak pernah sepi di layar kaca.
Lalu kemanakah karakter asli bangsa ini? Karakter penduduk Indonesia yang berbudi pekerti luhur, suka menolong, ramah-tamah, sopan-santun, toleransi, dan agamis telah ditelan bumi?  Membiarkan negeri ini terus-menerus dalam kondisi kehilangan karakter aslinya ini akan membuat negeri ini kian terpuruk, bahkan bisa jadi negeri ini akan tercerai-berai. Harus ada gerakan massif untuk menumbuhkan kembali karakter asli bangsa ini yang mulai hilang tergerus oleh pusaran arus zaman.
Dalam kurikulum pendidikan saat ini gencar disosialisasikan penyisipan (integrasi) karakter bangsa pada seluruh mata pelajaran di sekolah. Dunia pendidikan masih dipandang sebagai medium paling efektif untuk menumbuhkan kembali karakter bangsa yang perlahan tapi pasti mulai hilang dalam relung hati penduduk negeri ini. Lalu, apakah cara reaktualisasi karakter bangsa cukup efektif lewat integrasi pada seluruh mata pelajaran yang diajarkan mulai pendidikan dasar hingga menengah atas?
Kenapa tidak memilih cara menghidupkan kembali nilai-nilai budaya bangsa lewat mengembalikan format pendidikan kewarganegaraan ke pendidikan moral Pancasila? Menurut survey Biro Pusat Statistik (BPS) sekitar 80 persen masyarakat melihat Pancasila sebagai sesuatu yang dibutuhkan dan masyarakat menyadari Pancasila merupakan pilar kehidupan berbangsa dan bernegara. Mantan Presiden BJ. Habibie, dalam pidato Peringatan Hari Pancasila di  Jakarta, (1 Juni 2011)  sepakat jika akhirnya pemerintah  mengembalikan Pancasila ke sekolah.
Bagaimana format yang pas mengembalikan Pancasila ke sekolah terserah Kementerian Pendidikan Nasional (Kemendiknas). Bisa mengembalikan pelajaran kewarganegaraan menjadi PMP, bisa juga diintegrasikan kepada mata pelajaran yang ada, atau dalam bentuk muatan lokal. Harus ada kajian yang betul-betul dalam mengenai format penyajian pendidikan pancasila dalam semua jenjang pendidikan. Karena jika tidak, penanaman nilai-nilai pancasila hanya akan menjadi teori-teori verbal yang tidak pernah bersemayam dalam jiwa peserta didik.
Pendidikan Moral Pancasila (PMP) dan penataran P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila), tereleminasi dalam konten pendidikan nasional di era reformasi karena dipandang sebagai bagian simbol orde baru. Untung saja setiap upacara bendera hari senin, teks Pancasila masih dikumandangkan, sehingga anak-anak kita masih mendengar kata Pancasila dan sila-silanya. Saat orde reformasi tak mampu mewujudkan mimpi banyak rakyat akan kesejahteraan dan keamanan, banyak orang merindukan masa-masa orde baru, termasuk sebagian orang menginginkan agar Pancasila kembali diajarkan di sekolah. Keinginan itu didasarkan pada fakta kian hilangnya karakter asli bangsa ini tergerus pusaran waktu dan gempuran budaya asing.
Saat bangsa ini mulai kehilangan karakter aslinya Kemendiknas secara gencar mensosialisasi pengintegrasian nilai-nilai karakter bangsa dalam semua mata pelajaran di semua jenjang pendidikan. Kurikulum pendidikan kita sering diwarnai munculnya program dadakan yang tidak terkonsep secara matang dan instan. Beberapa tahun silam pernah ada program integrasi imtaq dalam semua mata pelajaran, kini program itu nyaris tak berbekas. Jika program integrasi  nilai-nilai karakter bangsa dalam semua mata pelajaran dilakukan tanpa konsep yang jelas dan terencana nasibnya akan sama dengan program-program sebelumnya yang hilang tak berbekas.
Kurikulum pendidikan dasar hingga menengah menurut banyak pengamat dipandang terlalu padat. Memasukkan pelajaran nilai-nilai Pancasila dalam kurikulum yang sudah ada rasanya mustahil, kasihan anak-anak kita yang terlalu banyak pelajaran yang harus dipelajari. Mengintegrasikan dengan pelajaran kewarganegaraan seperti jaman PMP adalah alternatif yang mungkin bisa dipilih. Atau menyempurnakan integrasi karakter bangsa menjadi integrasi nilai-nilai Pancasila dalam pelajaran yang sudah ada rasanya lebih realistis.
Kunci keberhasilan penanaman nilai-nilai termasuk nilai-nilai Pancasila di sekolah adalah pembelajaran kontekstual dan pengalaman nyata. Peserta didik perlu contoh tindakan nyata, bukan teori-teori verbal yang tidak ada faktanya. Sekolah adalah miniatur masyarakat nyata yang mesti konsisten dengan dunia di luar sekolah. Saat peserta didik di sekolah diajarkan budaya antri melalui pengalaman langsung, namun saat di luar sekolah mereka tidak menyaksikan budaya tersebut diterapkan oleh sebagian besar masyarakat, maka penilaian nilai-nilai di sekolah akan menjadi sia-sia.
Akhirnya, penulis berharap keinginan untuk mengembalikan pendidikan Pancasila di sekolah oleh sebagian masyarakat, dikaji secara dalam oleh Kemendiknas. Jangan sampai saat program itu diluncurkan ada kontroversi yang berkembang di masyarakat sehingga program itu tidak efektif dan ujung-ujungnya dihentikan. Kita semua masih berharap negeri ini tetap tegak kokoh dengan karakter aslinya, jika itu bisa diwujudkan dengan mengembalikan Pancasila ke sekolah, mengapa tidak? Semoga. (Wahyudi Oetomo)

Mbah Google, Membuat Siswa Tidak Kreatif?

Teknologi tumbuh bersama perjalanan waktu. Dua puluh lima tahun silam, saat penulis masih kuliah teknologi informasi masih sangat bersahaja, dan sumber informasi ilmiah hanya bisa diperoleh secara maksimal lewat buku diktat, jurnal, majalah, dan koran. Tapi, kini hadir sumber informasi ilmiah baru yang dapat kita hadirkan di mana saja kita berada tanpa harus kehadiran benda fisik yang bertumpuk-tumpuk. Sumber informasi itu bernama internet.
            Internet kini telah menjadi kebutuhan primer baru setelah sandang, pangan, dan papan. Internet telah menjelma menjadi piranti yang mampu melayani hampir semua kebutuhan hidup manusia. Pesan tiket kereta api, transfer uang, beli barang, daftar kerja, pendaftaran siswa baru, pendaftaran mahasiswa baru, bayar listrik, mengirim surat, komunikasi jarak jauh, melihat berita, nonton televisi, mencari referensi tulisan, dan banyak kegiatan lain yang mampu dilakukan lewat internet.
            Dalam dunia pendidikan, keberadaan internet telah melayani banyak keperluan. Termasuk kebutuhan siswa-siswa kita mencari rujukan dalam mengerjakan tugas-tugasnya. Dalam dunia internet, ada mesin pencari (search engine) yang sangat akrab dikalangan siswa, bahkan menjadi andalan dalam mengerjakan berbagai tugas sekolah, yakni Google. Sebenarnya banyak mesin pencari yang lain, seperti Yahoo, Bing, Ask, dan banyak lagi, namun yang paling akrab di kalangan pelajar adalah Google, atau orang sering menyebutnya dengan mbah Google.
            Google selama ini menjadi sumber informasi yang paling baik bagi pelajar. Google selalu bisa menjawab apa saja yang ditanyakan pelajar. Bila kita sebagai guru memberi tugas karya tulis tentang apa saja kepada siswa kita, bisa ditebak sebagian besar karya tulis mereka berasal dari copy paste materi-materi yang dicari lewat mbah Google. Fenomena tugas copy paste, tumbuh dalam dunia pendidikan kita. Lalu, apakah fenomena ini menggembirakan karena siswa kita melek internet, atau justru menyedihkan karena mereka menjadi tidak kreatif dengan hanya menyalin tugasnya dari internet tanpa ada proses berpikir.
            Perkembangan teknologi akan terus berjalan, dan tidak mungkin terbendung. Menjadi bijak dalam memanfatkan teknologi adalah keharusan. Jangan sampai kehadiran teknologi justru membuat cara berpikir kita terpasung dan kian tidak kreatif. Jika ada seorang dosen mewajibkan  mahasiswanya mengerjakan tugas dengan ketentuan harus ditulis tangan jangan langsung divonis dosen jadul, gaptek,atau dengan sebutan lain yang memiliki arti yang sama. Bisa sang dosen punya maksud yang baik, yakni agar mahasiswanya tidak menjadi mahasiswa malas, hanya bisa copy paste pekerjaan temannya. Kalau ada juga guru yang seperti itu, juga jangan disindir dengan julukan sejenis dengan dosen tadi.
            Pemanfaatan perkembangan teknologi informasi dalam kegiatan pembelajaran harus dilihat sebagai kebutuhan. Namun, kehadiran teknologi meski membawa banyak manfaat akan muncul sisi-sisi negatif yang bila tidak diantisipasi akan sangat merugikan. Memang belum ada studi mengenai pengaruh internet sebagai sebuah produk teknologi terhadap kreativitas siswa. Jika memang kreativitas siswa menjadi rendah akibat keberadaan internet, maka jangan langsung memutuskan untuk tidak lagi menggunakan internet sebagai sumber belajar.
            Kreativitas guru mutlak diperlukan untuk menciptakan jenis kegiatan atau tugas yang meminimalisir kesempatan siswa hanya sekedar menyalin dari internet dalam menyelesaikan tugasnya. Jadikanlah internet sebagai referensi dalam menyelesaikan tugas, bukan sebagai sumber jiplakan tugas yang hanya butuh waktu beberapa menit untuk mengunduhnya, lalu mengeditnya, jadilah tugas mereka.
            Sikap mengkambinghitamkan teknologi informasi sebagai penyebab tidak kreatifnya siswa kita perlu dihilangkan. Bila kemajuan teknologi selalu disikapi dengan apriori padahal kemajuan teknologi banyak membantu pekerjaan manusia, akibatnya kita akan semakin ketinggalan dari bangsa lain. Jadikanlah kemajuan teknologi sebagai sarana meningkatkan kualitas pendidikan. Ibarat sebuah pisau, bisa menjadi barang yang sangat berguna untuk memotong sesuatu, namun dapat juga menjadi senjata pembunuh untuk alat kejahatan. Demikinan juga dengan internet, bisa juga memberikan ekses negatif, namun banyak juga manfaat yang bisa diambil terutama untuk membantu kegiatan pembelajaran di kelas.
            Mengakhiri tulisan ini, penulis berkesimpulan bahwa siswa-siswa kreatif akan tumbuh dari suasana belajar yang menumbuhkan jiwa kreatif. Tugas guru adalah menciptakan suasana belajar kreatif itu. Kreativitas siswa bisa ditumbuhkan melalui fasilitas apa saja, termasuk keberadaan teknologi internet. (Wahyudi Oetomo)