Senin, 23 Juli 2018

PENDIDIKAN BERWAWASAN LINGKUNGAN


Banyak orang Indonesia menjadi sangat disiplin ketika berada di Singapura, bahkan mau membuang bungkus permen saja tidak berani di sembarang tempat. Namun, sayang ketika kembali ke tanah air, mereka kembali pada tabiat aslinya, suka membuang sampah sembarangan.
            Pada konteks yang lain,  saat berada di sekolah, ada banyak sekolah yang mampu membuat siswanya merasa malu membuang sampah sembarangan, walau terkadang awalnya mereka merasa terpaksa melakukannya.
            Ada adagium: “ala bisa karena biasa”, yang mesti menjadi acuan setiap usaha membentuk pola hidup, termasuk pola hidup berwawasan lingkungan. Saat orang Indonesia bisa sangat peduli lingkungan ketika berada di Singapura, itu artinya orang Indonesia bisa menjadi disiplin bila kondisi eksternal dirinya konsisten menegakkan kedisiplinan. Sangsi yang tegas terhadap setiap pelanggaran adalah bagian yang integral dengan upaya membangun kedisiplinan masyarakat untuk peduli kepada kebersihan dan kesehatan lingkungan.
            Demikian juga di sekolah, sebagai komunitas mini dari masyarakat luas, sekolah menjadi embrio penumbuhan sikap peduli lingkungan hidup. Ada banyak sekolah berhasil menjadikan sekolah sebagai tempat pembelajaran dan penyadaran warga sekolah, sehingga di kemudian hari warga sekolah tersebut dapat turut bertanggung jawab dalam upaya-upaya penyelamatan lingkungan hidup dan pembangunan berkelanjutan.
            Optimisme menjadikan sekolah sebagai sarana untuk menciptakan manusia Indonesia yang berwawasan lingkungan harus terus ditumbuhkan. Kegagalan dunia sekolah di waktu lalu menumbuhkan kesadaran peduli terhadap lingkungan yang ditunjukkan dari semakin liarnya manusia merusak lingkungan mestinya tidak menjadi penghalang untuk terus  berusaha menanamkan kesadaran kepada seluruh manusia Indonesia untuk cinta pada lingkungan. Perlu kajian yang lebih dalam untuk memilih strategi yang paling efektif mengintegrasikan pendidikan lingkungan hidup dalam kurikulum pendidikan, agar kegagalan  dunia pendidikan menanamkan kepedulian terhadap lingkungan tidak terulang lagi.
            Ada fenomena menarik di dunia sekolah untuk membangun kesadaran berwawasan lingkungan bagi semua warga sekolah melalui program “Adiwiyata”. Adiwiyata adalah salah satu program dari Kementrian Negara Lingkungan Hidup yang bekerja sama dengan Departemen Pendidikan Nasional. Program ini berupaya mendorong terciptanya pengetahuan dan kesadaran warga sekolah dalam upaya pelestarian lingkungan hidup. Dalam program ini diharapkan setiap warga sekolah dapat ikut terlibat dalam kegiatan sekolah menuju lingkungan yang sehat dan menghindarkan dampak lingkungan yang negatif.
            Tujuan dari program  Adiwiyata adalah menciptakan kondisi yang baik bagi sekolah untuk menjadi tempat pembelajaran dan penyadaran warga sekolah (guru, murid, dan pekerja lainnya), sehingga di kemudian hari warga sekolah tersebut dapat turut bertanggung jawab dalam upaya-upaya penyelamatan lingkungan dan pembangunan berkelanjutan.
            Dalam praktiknya, untuk mewujudkan sekolah Adiwiyata, yang peduli dan berbudaya lingkungan tidaklah mudah, memerlukan beberapa kebijakan sekolah yang mendukung dilaksanakannya kegiatan-kegiatan pendidikan lingkungan hidup oleh semua warga sekolah . Dimulai dari visi dan misi sekolah yang peduli dan berbudaya lingkungan, kebijakan sekolah dalam mengembangkan pembelajaran pendidikan lingkungan hidup, peningkatan kapasitas sumber daya manusia (tenaga kependidikan dan non-kependidikan) di bidang pendidikan lingkungan hidup, kebijakan sekolah dalam upaya penghematan sumber daya alam, kebijakan sekolah yang mendukung terciptanya lingkungan sekolah yang bersih dan sehat, kebijakan sekolah untuk pengalokasian dan penggunaan dana bagi kegiatan yang berkait dengan masalah lingkungan, hingga pengembangan kurikulum berbasis lingkungan hidup kepada para siswa.
            Dalam pengembangan kurikulum berbasis lingkungan pilihan penyampaian materi lingkungan hidup kepada para siswa antara dilakukan melalui kurikulum secara terintegrasi atau monolitik, tidak relevan lagi didiskusikan. Kurikulum pendidikan kita yang overloud, rasanya tidak mungkin mengkonstruksi pendidikan lingkungan hidup sebagai sebuah mata pelajaran. Kegagalan pendekatan integrasi materi lingkungan hidup kepada mata pelajaran relevan di masa lampau, memerlukan  kajian yang dalam sehingga tidak terulang kembali. Perlu pengembangan materi, model pembelajaran dan metode belajar yang bervariasi untuk mengintegrasi materi lingkungan hidup ke dalam mata pelajaran yang ada. Agar lebih kontekstual, penanaman konsep lingkungan hidup harus dikaitkan dengan persoalan lingkungan sehari-hari (isu lokal).
            Pembelajaran kontekstual adalah kata kunci dalam penanaman nilai kepedulian lingkungan di sekolah. Penanaman nilai-nilai di sekolah tidak cukup hanya “mengobral kata-kata”, namun harus lebih banyak perbuatan. Misalnya, penyadaran pentingnya membuang sampah di tempatnya tidak cukup hanya lewat kata-kata (talk only), namun siswa harus mampu menerapkan di sekolah. Untuk tahap awal, pemberian hukuman kepada siswa yang melanggar larangan membuang sampah di sembarang tempat harus dilakukan. Pemahaman bahwa limbah organik berupa sampah makhluk hidup dapat dimanfaatkan untuk pupuk harus dipraktikkan, misalnya siswa diajak untuk membuat kompos.
            Secara prinsip semua mata pelajaran dapat menjadi relevan diintegrasikan pendidikan berwawasan lingkungan. Namun, bila ingin fokus kepada mata pelajaran tertentu agar lebih efektif, ada beberapa mata pelajaran yang sangat relevan disisipi materi pendidikan berwawasan lingkungan, antara lain: IPA, IPS, Bahasa Indonesia, Pendidikan Kewarganegaraan, atau Pendidikan Agama. Agar penanaman kecintaan pada lingklungan hidup lebih efektif dan tidak mengulang kegagalan program yang sama pada tahun 1996 – 2001 perlu pelatihan khusus menyiapkan guru-guru melaksanakan program tersebut. Termasuk, kesiapan perangkat kurikulum sebagai panduan baku melaksanakan program tersebut.
            Pelaksanaan pendidikan berwawasan lingkungan mulai dari pendidikan dasar, sangat mendesak untuk direalisasikan. Berbagai fakta empirik kerusakan lingkungan yang disebabkan oleh ulah manusia demikian mudah tersaji di hadapan kita. Banjir, longsor, pencemaran lingkungan, pemanasan global, atau kebakaran hutan adalah bencana lingkungan yang mengancam eksistensi manusia. Perlu penyadaran yang lebih massif tentang perlunya menjaga kelestarian lingkungan, dan media yang dinilai efektif adalah lewat dunia pendidikan. Bila ini tidak segera dilakukan implikasinya sangat mahal, yaitu ancaman atas eksistensi manusia. Kalau tidak sekarang, kapan lagi?
(Wahyudi Oetomo)

Sarjana Menganggur, Fenomena yang Menggelisahkan


Jika ada orang menganggur, dan orang itu hanya lulusan sekolah dasar atau bahkan tidak pernah sekolah, kita umumnya memaklumkan realita itu. Namun jika yang menganggur itu adalah seorang sarjana kita sering menganggapnya aneh. “Jika hanya untuk menganggur, buat apa sekolah lama-lama dan memerlukan biaya mahal. Kalau hanya untuk menganggur lebih baik tidak usah kuliah!”, barangkali kata-kata itu yang akan dilontarkan oleh orang terhadap sarjana menganggur.
            Fenomena sarjana menganggur, tidak hanya terjadi pada tahun belakangan ini. Problema sarjana menganggur menjadi persoalan klasik sejak dulu, dan hingga kini belum terselesaikan. Perlu kajian yang komprehensif untuk menemukan akar permasalahannya sehingga akumulasi pengangguran intelektual ini tidak terus menggelembung.
            Idealnya antara dunia perguruan tinggi dengan dunia kerja ada link and match – keterkaitan dan kecocokan. Asumsi sementara, dunia pendidikan tinggi kita tidak mampu memenuhi standard kebutuhan dunia kerja sehingga para sarjana tidak terserap di dunia kerja. Dunia kerja akan lebih memilih tenaga kerja non sarjana dengan kompetensi yang tidak kalah dengan sarjana, misalnya alumni sekolah kejuruan. Jika dunia kerja merekrut tenaga kerja baru lulusan sarjana tentu memiliki kompensasi gaji yang lebih tinggi daripada merekrut lulusan sekolah menengah kejuruan, dengan kualitas kompetensi yang hampir sama.
            Apalagi sekarang ada fenomena di dunia pendidikan tinggi, munculnya perguruan-perguruan tinggi swasta yang mengadakan perkuliahan seminggu sekali, dan lulus dalam waktu yang super cepat. Lulusan dari perguruan tinggi yang model seperti ini bisa dipastikan memiliki kompetensi rendah. Lulusan perguruan-perguruan tinggi ternama dengan kualitas baik dijamin lulusannya tidak akan kesulitan mencari kerja. Bahkan banyak perguruan tinggi yang mahasiswanya sebelum lulus sudah diterima di perusahaan-perusahaan besar.
            Perguruan tinggi harus melakukan analisa kebutuhan tenaga kerja. Mestinya, jurusan yang sudah jenuh lulusannya tidak perlu lagi dibuka jurusan tersebut. Jika analisa ini tidak dilakukan bisa dipastikan sarjana jurusan tertentu akan sulit mencari pekerjaan, karena lebih besar “penawaran” daripada “permintaan”. Jurus aji mumpung dalam membuka jurusan di perguruan tinggi harus segera ditinggalkan. Sekarang ini banyak perguruan tinggi membuka program keguruan, karena animo masyarakat untuk menjadi guru sangat tinggi. Bisa dipastikan lima tahun yang akan datang akan banyak sarjana keguruan yang menganggur karena kebutuhan guru tidak sebesar jumlah lulusan sarjana keguruan.
            Asumsi yang lain mengapa sarjana di negeri ini banyak yang menganggur, adalah lemahnya jiwa enterpreneur di dalam diri para sarjana negeri ini. Sarjana kita kalau tidak bekerja menjadi pegawai negeri atau bekerja di perusahaan besar tidak mau bekerja. Jiwa untuk berwirausaha di kalangan pemuda khususnya para sarjana relatif rendah. Buktinya sarjana menganggur sangat banyak. Seandainya mereka punya keberanian untuk berwirausaha jumlah sarjana mengganggur pasti akan menurun drastis. Memang pemerintah perlu memfasilitasi para sarjana itu menciptakan lapangan kerja sendiri dengan pemberian kredit murah kepada sarjana, kalau perlu tanpa agunan, barangkali agunannya cukup ijazah sarjananya.
            Pada tahun 2009, pemerintah mengalokasikan dana Rp. 108 miliar untuk pendidikan kewirausahaan. Jiwa kewirausahaan bisa ditumbuhkan lewat pendidikan. Sehingga sarjana tidak lagi tergantung kepada ketersediaan lapangan kerja, mereka bisa menciptakan lapangan kerja sendiri. Peluang kerja itu bukan hanya ditunggu tapi harus diciptakan oleh para sarjana.
            Membiarkan para sarjana terus menganggur dan jumlahnya terus menumpuk tentu saja memiliki konsekuensi sosial yang sangat beragam. Penumpukan sarjana menganggur akan menjadi sebuah bom waktu yang bisa meledak kapan saja. Para sarjana itu sebenarnya adalah aset bangsa yang perlu diberdayakan keberadaannya untuk mendukung kontinyuitas pembangunan. Membiarkan para sarjana tersebut tanpa diberi akses untuk menyumbangkan potensinya untuk kemajuan bangsa ini adalah kerugian yang besar.
            Implikasi negatif yang paling menggelisahkan terhadap akumulasi sarjana menganggur adalah berkembangnya kriminalitas yang diotaki oleh pengangguran intelektual tersebut. Meski tidak ada data resmi mengenai korelasi sarjana menganggur dengan kriminalitas intelektual, namun potensi negatif dari sarjana menganggur diyakini ada. Meminimalisir aktualisasi potensi kriminalitas intelektual oleh sarjana mengganggur jauh lebih baik dibandingkan menunggu realitas merebaknya kejahatan intelektual yang diotaki oleh sarjana menganggur.
            Langkah komprehensif harus dilakukan untuk mengurangi akumulasi sarjana menganggur. Perguruan tinggi, kementrian pendidikan nasional, dunia usaha, dan individu sarjana harus bersinergi untuk mengurangi secara kontinyu jumlah sarjana menganggur. Jika mengatasi sarjana menganggur secara parsial, akan sulit mencari jalan keluar.
            Paradoksi antara biaya pendidikan mahal dengan sarjana menganggur memberi banyak pelajaran bagi masyarakat. Pengorbanan biaya untuk meraih gelar sarjana tidak selalu paralel dengan ekspektasi masyarakat tentang masa depan seorang sarjana. Kesuksesan seseorang, termasuk sarjana, lebih banyak ditentukan oleh individu masing-masing, bukan perguruan tinggi, pemerintah, dunia usaha. Sarjana bukan tiket satu-satunya untuk meraih kesuksesan hidup. Banyak orang yang tidak sarjana juga bisa meraih kesuksesan. Mestinya nilai tambah gelar kesarjanaan bagi seseorang dioptimalkan untuk menciptakan peluang kerja, bukan justru menunggu pekerjaan.  
            Akhirnya, kita semua berharap jika semua pihak yang bersentuhan dengan problema sarjana menganggur telah melakukan sinergi untuk mencari solusi atas akumulasi sarjana menganggur, persoalan sarjana menganggur bukan lagi ancaman namun potensi positif yang akan menjadi kekuatan berarti menyukseskan pembangunan nasional. Semoga. (Wahyudi Oetomo)