Senin, 23 Juli 2018

Sarjana Menganggur, Fenomena yang Menggelisahkan


Jika ada orang menganggur, dan orang itu hanya lulusan sekolah dasar atau bahkan tidak pernah sekolah, kita umumnya memaklumkan realita itu. Namun jika yang menganggur itu adalah seorang sarjana kita sering menganggapnya aneh. “Jika hanya untuk menganggur, buat apa sekolah lama-lama dan memerlukan biaya mahal. Kalau hanya untuk menganggur lebih baik tidak usah kuliah!”, barangkali kata-kata itu yang akan dilontarkan oleh orang terhadap sarjana menganggur.
            Fenomena sarjana menganggur, tidak hanya terjadi pada tahun belakangan ini. Problema sarjana menganggur menjadi persoalan klasik sejak dulu, dan hingga kini belum terselesaikan. Perlu kajian yang komprehensif untuk menemukan akar permasalahannya sehingga akumulasi pengangguran intelektual ini tidak terus menggelembung.
            Idealnya antara dunia perguruan tinggi dengan dunia kerja ada link and match – keterkaitan dan kecocokan. Asumsi sementara, dunia pendidikan tinggi kita tidak mampu memenuhi standard kebutuhan dunia kerja sehingga para sarjana tidak terserap di dunia kerja. Dunia kerja akan lebih memilih tenaga kerja non sarjana dengan kompetensi yang tidak kalah dengan sarjana, misalnya alumni sekolah kejuruan. Jika dunia kerja merekrut tenaga kerja baru lulusan sarjana tentu memiliki kompensasi gaji yang lebih tinggi daripada merekrut lulusan sekolah menengah kejuruan, dengan kualitas kompetensi yang hampir sama.
            Apalagi sekarang ada fenomena di dunia pendidikan tinggi, munculnya perguruan-perguruan tinggi swasta yang mengadakan perkuliahan seminggu sekali, dan lulus dalam waktu yang super cepat. Lulusan dari perguruan tinggi yang model seperti ini bisa dipastikan memiliki kompetensi rendah. Lulusan perguruan-perguruan tinggi ternama dengan kualitas baik dijamin lulusannya tidak akan kesulitan mencari kerja. Bahkan banyak perguruan tinggi yang mahasiswanya sebelum lulus sudah diterima di perusahaan-perusahaan besar.
            Perguruan tinggi harus melakukan analisa kebutuhan tenaga kerja. Mestinya, jurusan yang sudah jenuh lulusannya tidak perlu lagi dibuka jurusan tersebut. Jika analisa ini tidak dilakukan bisa dipastikan sarjana jurusan tertentu akan sulit mencari pekerjaan, karena lebih besar “penawaran” daripada “permintaan”. Jurus aji mumpung dalam membuka jurusan di perguruan tinggi harus segera ditinggalkan. Sekarang ini banyak perguruan tinggi membuka program keguruan, karena animo masyarakat untuk menjadi guru sangat tinggi. Bisa dipastikan lima tahun yang akan datang akan banyak sarjana keguruan yang menganggur karena kebutuhan guru tidak sebesar jumlah lulusan sarjana keguruan.
            Asumsi yang lain mengapa sarjana di negeri ini banyak yang menganggur, adalah lemahnya jiwa enterpreneur di dalam diri para sarjana negeri ini. Sarjana kita kalau tidak bekerja menjadi pegawai negeri atau bekerja di perusahaan besar tidak mau bekerja. Jiwa untuk berwirausaha di kalangan pemuda khususnya para sarjana relatif rendah. Buktinya sarjana menganggur sangat banyak. Seandainya mereka punya keberanian untuk berwirausaha jumlah sarjana mengganggur pasti akan menurun drastis. Memang pemerintah perlu memfasilitasi para sarjana itu menciptakan lapangan kerja sendiri dengan pemberian kredit murah kepada sarjana, kalau perlu tanpa agunan, barangkali agunannya cukup ijazah sarjananya.
            Pada tahun 2009, pemerintah mengalokasikan dana Rp. 108 miliar untuk pendidikan kewirausahaan. Jiwa kewirausahaan bisa ditumbuhkan lewat pendidikan. Sehingga sarjana tidak lagi tergantung kepada ketersediaan lapangan kerja, mereka bisa menciptakan lapangan kerja sendiri. Peluang kerja itu bukan hanya ditunggu tapi harus diciptakan oleh para sarjana.
            Membiarkan para sarjana terus menganggur dan jumlahnya terus menumpuk tentu saja memiliki konsekuensi sosial yang sangat beragam. Penumpukan sarjana menganggur akan menjadi sebuah bom waktu yang bisa meledak kapan saja. Para sarjana itu sebenarnya adalah aset bangsa yang perlu diberdayakan keberadaannya untuk mendukung kontinyuitas pembangunan. Membiarkan para sarjana tersebut tanpa diberi akses untuk menyumbangkan potensinya untuk kemajuan bangsa ini adalah kerugian yang besar.
            Implikasi negatif yang paling menggelisahkan terhadap akumulasi sarjana menganggur adalah berkembangnya kriminalitas yang diotaki oleh pengangguran intelektual tersebut. Meski tidak ada data resmi mengenai korelasi sarjana menganggur dengan kriminalitas intelektual, namun potensi negatif dari sarjana menganggur diyakini ada. Meminimalisir aktualisasi potensi kriminalitas intelektual oleh sarjana mengganggur jauh lebih baik dibandingkan menunggu realitas merebaknya kejahatan intelektual yang diotaki oleh sarjana menganggur.
            Langkah komprehensif harus dilakukan untuk mengurangi akumulasi sarjana menganggur. Perguruan tinggi, kementrian pendidikan nasional, dunia usaha, dan individu sarjana harus bersinergi untuk mengurangi secara kontinyu jumlah sarjana menganggur. Jika mengatasi sarjana menganggur secara parsial, akan sulit mencari jalan keluar.
            Paradoksi antara biaya pendidikan mahal dengan sarjana menganggur memberi banyak pelajaran bagi masyarakat. Pengorbanan biaya untuk meraih gelar sarjana tidak selalu paralel dengan ekspektasi masyarakat tentang masa depan seorang sarjana. Kesuksesan seseorang, termasuk sarjana, lebih banyak ditentukan oleh individu masing-masing, bukan perguruan tinggi, pemerintah, dunia usaha. Sarjana bukan tiket satu-satunya untuk meraih kesuksesan hidup. Banyak orang yang tidak sarjana juga bisa meraih kesuksesan. Mestinya nilai tambah gelar kesarjanaan bagi seseorang dioptimalkan untuk menciptakan peluang kerja, bukan justru menunggu pekerjaan.  
            Akhirnya, kita semua berharap jika semua pihak yang bersentuhan dengan problema sarjana menganggur telah melakukan sinergi untuk mencari solusi atas akumulasi sarjana menganggur, persoalan sarjana menganggur bukan lagi ancaman namun potensi positif yang akan menjadi kekuatan berarti menyukseskan pembangunan nasional. Semoga. (Wahyudi Oetomo)

SBI/RSBI ANTARA ASA DAN REALITA


Saat mutu pendidikan nasional dalam komparasi internasional berada di papan bawah, pengambil kebijakan pendidikan di negeri ini meluncurkan program ”Sekolah Bertaraf Internasional (SBI)”, dengan obsesi kualitas pendidikan nasional akan meningkat signifikan dan setara dengan negara lain.
            Dasar hukum penyelenggaraan SBI yaitu pasal 50 ayat 3 UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UUSPN 20 / 2003) yang menyebutkan bahwa ”pemerintah dan/atau pemerintah daerah menyelenggarakan sekurang-kurangnya satu satuan pendidikan pada semua jenjang pendidikan untuk dikembangkan menjadi satuan pendidikan bertaraf internasional”.
            Sampai Juni 2008 Departemen Pendidikan Nasional telah menetapkan 260 Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI), dan diharapkan pada tahun 2009 terjaring minimal 112 benar-benar menjadi SBI.
            Fenomena RSBI dan SBI dalam dunia pendidikan kita berhasil mendongkrak animo masyarakat untuk menyekolahkan anak-anak mereka ke sekolah-sekolah yang berlabel SBI/RSBI. Terbukti, pada waktu pendaftaran siswa baru, sekolah-sekolah yang berlabel SBI/RSBI diserbu peminat, meskipun masyarakat sudah tahu bahwa biaya pendidikan di SBI/RSBI terbilang mahal dibandingkan sekolah reguler.
            Masyarakat kita sedang ”gandrung” dengan sesuatu yang berlabel ”internasional”, termasuk dalam memilih tempat pendidikan anak-anaknya. Barangkali, asumsi masyarakat, semua yang berlabel internasional ”pasti” bermutu. Juga, keberhasilan menembus seleksi SBI/RSBI, diyakini oleh sebagian masyarakat akan meningkatkan prestise orang tua. Sehingga banyak orang tua tidak peduli besarnya biaya yang harus ditanggung selama pendidikan anaknya, pokoknya anak mereka lolos penyaringan SBI/RSBI.
            Harapan masyarakat yang sangat besar terhadap keberadaan SBI/RSBI, harus ”dibayar” dengan produk yang betul-betul berlevel internasional oleh pihak pengelola SBI/RSBI. Jika pengelola SBI/RSBI mengacu kepada visi SBI, yaitu ”terwujudnya insan Indonesia yang cerdas dan kompetitif secara internasional”, mestinya produk SBI/RSBI adalah siswa-siswa yang siap berkompetisi di arena dunia internasional.
            Pertanyaan masyarakat, apakah idealisasi dalam visi SBI sudah diterapkan dalam tataran implementasi? Ada beberapa temuan dalam pengelolaan SBI/RSBI yang akan berdampak memunculkan keraguan masayarakat terhadap kesiapan SBI/RSBI untuk melaksanakan visi SBI. Misalnya, temuan Ir. Hafilia R. Ismanto, MM., Direktur Bidang Akademik LBPP- LIA, ” banyak guru mata pelajaran di sekolah SBI/RSBI enggan mengadakan pembelajaran dalam bahasa Inggris. Juga, fakta lain disampaikan Surya Dharma, MPA, PhD., Direktur Tenaga Kependidikan, Ditjen Peningkatan Mutu Pendidikan dan Tenaga Kependidikan, Depdiknas, bahwa dari 260 kepala sekolah Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI) yang mengikuti tes bahasa Inggris, sekitar 50 % nilai TOEIC (Test of English for International Communication) di bawah 245 alias tingkat kemampuannya di bawah elementary (dasar). Hanya sekitar 10 % kepala sekolah yang benar-benar mampu berbahasa Inggris dengan baik, yang sebagian besar berlatar belakang sarjana pendidikan bahasa Inggris.
            Memang, bukan kemampuan bahasa Inggris yang dijadikan tolok ukur sebuah sekolah dijadikan SBI/RSBI. Tapi rasanya lucu bila guru dan kepala sekolah di sekolah bertaraf internasional  tidak memiliki kompetensi berbahasa internasional (bahasa Inggris).
            Sekolah berlabel SBI/RSBI memang tidak sekedar berpengantar bahasa Inggris (bilingual). Sekolah berlabel SBI/ RSBI harus menerapkan Standard Nasional Pendidikan (SNP) plus ”X” (SBI = SNP + X). Dimana, SNP meliputi standard kompetensi lulusan, isi, proses, pendidik dan tenaga pendidikan, sarana dan prasarana, pengelolaan, dan penilaian. Sedangkan ”X” merupakan penguatan, pengayaan, pengembangan, perluasan, pendalaman melalui adapsi atau adopsi terhadap standard pendidikan, baik dari dalam maupun luar negeri, yang diyakini telah memiliki reputasi mutu yang diakui secara internasional.
            Hasil evaluasi kinerja RSBI khususnya tingkat SMA tahun 2008 belum menghasilkan produk yang memuaskan.  Kinerja sekolah hasil evaluasi tahun 2008 pada sembilan pilar mutu masih jauh dari standar yang diharapkan. Misalnya, komponen dan aspek pengelolaan 78, 06 persen, kurikulum 72,74 persen, proses pembelajaran 74,40 persen, penilaian 69,33 persen, pendidik 71,68 persen, sarana dan prasarana 73,41 persen dan pembiayaan 71,94 persen.  
            Sorotan masyarakat atas keberadaan SBI/RSBI adalah mahalnya biaya yang harus ditanggung oleh orang tua. Ada yang memplesetkan SBI dengan akronim ”Sekolah Bertarif Internasional”. Berbeda dengan SD dan SMP reguler yang sudah dilarang memungut biaya sejak Januari 2009, SBI/RSBI masih diperbolehkan memungut biaya. Namun, berdasarkan surat keputusan Menteri Pendidikan Nasional mengenai SBI/RSBI, mekanisme pemungutan biaya SBI/RSBI harus disepakati oleh komite sekolah mengenai jumlah dan alokasinya.
            Mahalnya biaya pendidikan SBI/RSBI, lebih banyak untuk memenuhi kebutuhan melengkapi pencapaian standar sarana prasarana dan infrastruktur SBI/RSBI. Dan, bila pencapaian standar sarana prasarana telah terpenuhi maka logikanya biaya pendidikan SBI/RSBI akan turun dan tidak semahal pada saat program SBI/RSBI diluncurkan. Bila pengelola SBI/RSBI tetap bersikukuh mempertahankan biaya SBI/RSBI pada standard nominal yang tinggi perlu dipertanyakan alokasi pendanaannya.
            Mahalnya biaya pendidikan SBI/RSBI dipandang oleh banyak pemerhati pendidikan termasuk masyarakat, sebagai bentuk diskriminasi program SBI/RSBI terhadap kelompok anak-anak berekonomi lemah, namun memiliki kecerdasan lebih. Jargon ”subsidi silang” dalam menetralisir tuduhan  terhadap SBI/RSBI adalah sekolah khusus untuk orang kaya menurut penulis tidak akan mampu mengeliminasi stigma SBI/RSBI sekolah kaum berduit. Fakta empiris, jumlah siswa tidak mampu yang menikmati subsidi silang jumlahnya terlalu kecil. Proporsi jumlah siswa yang menikmati subsidi silang dari waktu ke waktu harus semakin meningkat seiring dengan turunnya alokasi anggaran untuk pengadaan sarana prasarana SBI/RSBI.
            Masyarakat berharap program SBI/RSBI  tidak menjadi program ”menara gading”, indah namun tak terjangkau oleh sebagian besar masyarakat.  Jangan sampai pengelola SBI/RSBI memanfaatkan program ini sebagai ladang untuk mencari keuntungan materi (profit oriented). Tujuan awal dari SBI/RSBI adalah terwujudnya insan Indonesia yang cerdas dan kompetitif secara internasional, bukan untuk meningkatkan kesejahteraan para pengelola SBI/RSBI. Pengelola SBI/RSBI harus transparan dalam menyusun RAPBS (Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Sekolah), khususnya kepada komite sekolah, sehingga alokasi biaya pengelolaan SBI/RSBI terarah, efesien, transparan, dan akuntabel. Harapannya, biaya SBI/RSBI menjadi tidak terlalu mahal, dan terjangkau oleh sebagian besar masyarakat.
            Akhirnya, SBI/RSBI bukan sekedar sekolah yang berpengantar bahasa Inggris, ruangnya ber AC, gurunya menggunakan lap top, namun lebih dari itu. SBI/RSBI harus didukung oleh sumber daya manusia (SDM) yang mumpuni, guru yang berkompetensi tinggi dan kepala sekolah yang visioner. Jangan sampai SBI/RSBI dengan sekolah reguler hanya berbeda ruang, namun sistem pembelajarannya sama saja. (Wahyudi Oetomo)