Senin, 23 Juli 2018

INFOTAINMENT : DIBENCI SEKALIGUS DIGILAI MASYARAKAT


Setiap orang cenderung memiliki kebutuhan mengidolakan  figur orang lain sebagai patron hidup, atau bahkan menjadi motivasi ekstrinsik yang luar biasa pengaruhnya. Figur itu bisa seorang  tokoh agama, olahragawan, penyair, ilmuwan, negarawan, pengusaha, atau artis. Saat ada program televisi yang menayangkan tokoh idola masyarakat, misalnya artis, maka sebagian besar perhatian masyarakat tersedot untuk mengikuti setiap aktivitas sang idola. Jadilah tayangan infotainment  menjadi idola sebagian masyarakat Indonesia, khususnya remaja.
            Tergila-gilanya remaja terhadap tayangan infotainment menjadi indikasi bahwa figur idola remaja didominasi oleh figur artis. Tokoh-tokoh non artis mulai kehilangan tempat di hati para remaja, dan menempatkan artis sebagai figur panutan. Padahal banyak artis prilakunya tidak layak dijadikan panutan. Tokoh-tokoh ilmuwan, menteri, atlet, atau remaja dan pelajar berprestasi sangat jarang menjadi figur idola remaja. Sangatlah wajar bila sumber informasi yang mengupas kehidupan tokoh idola, baik berupa media cetak atau elektronik, akan banyak diburu remaja dan masyarakat pada umumnya. Seorang penggemar atau fans tokoh tertentu akan mati-matian memburu informasi yang mengupas berbagai sisi kehidupan sang tokoh idola.
                Menjamurnya acara infotainment di televisi tidak terlepas dari hukum pasar, ada permintaan ada penawaran. Rasanya sulit untuk menghilangkan sama sekali tayangan infotainment  selama masyarakat masih menyukainya. Jika ada penelitian yang sahih bahwa infotainment memiliki pengaruh buruk terhadap perkembangan mental remaja dan masyarakat keseluruhan, maka akan menjadi dasar yang kuat untuk menghentikan tayangan infotainment. Jika tidak, sangatlah sulit untuk menghapuskan sama sekali tayangan infotaintmen.
            Masyarakat kita begitu menggilai infotainment adalah cerminan masyarakat kita belum cukup cerdas memilih tontonan. Masyarakat kita lebih tertarik pada intrik-intrik seputar selebritis daripada menyaksikan tayangan-tayangan yang bermuatan tuntunan, seperti Rahasia Sunnah, Kick Andy, atau Mario Teguh Golden Ways. Infotainment lebih banyak mengajari masyarakat menggunjing privasi orang lain (ghibah).
            Wacana pelibatan Lembaga Sensor untuk membatasi konten infotainment memang masih pro dan kontra. Namun, penertiban dan pengawasan program infotainment di televisi rasanya memang sudah dibutuhkan. Ada yang berpendapat bahwa infotainment bukanlah sebuah karya jurnalistik faktual semata, sehingga perlu ada sensor terhadap konten yang disajikan. Sering infotainment memuat opini yang tidak berdasar pada fakta, sehingga sang artis merasa tayangan infotainment sebagai fitnah. Masyarakat pun tidak memiliki  kemampuan menyaring apakah tayangan infotainment berangkat dari fakta atau sekedar opini. Masyarakat sering menyimpulkan secara spontan, bahwa materi tayangan infotainment adalah realita empirik yang dialami oleh sang artis. Dan ini bila sering dilakukan oleh infotainment, maka masyarakat selalu akan dijejali dengan tayangan-tayangan “bohong”.
            Penolakan berbagai elemen masyarakat terhadap tayangan infotainment belum sepenuhnya merepresentasi keinginan sebagian besar masyarakat. Termasuk saat Majelis Ulama Indonesia (MUI) dengan tegas mengeluarkan fatwa bahwa tayangan infotainment adalah haram. Faktanya, sebagian besar masyarakat masih menggilai acara infotainment. Jika benar tayangan infotainment itu menjadi tayangan yang membodohi dan membius masyarakat dengan kehidupan hedonisme yang glamour ala selebritis pasti akan menimbulkan ekses negatif di masyarakat, khususnya para remaja. Remaja akan memiliki kecenderungan melakupan duplikasi kehidupan sang idola dalam kehidupannya. Mulai dari penampilan, sampai cara hidup sang idola akan mati-matian ditiru para remaja. Remaja kita akan menjadi terbiasa berkhayal, dan lupa dengan kehidupan nyata.
            Anak-anak dan remaja adalah aset penting bagi sebuah bangsa, yang akan memberi warna di masa depan. Jika anak-anak dan remaja tumbuh dan berkembang dalam atmosfir lingkungan yang tidak edukatif, kelak kita akan mendapati mereka dalam keadaaan tidak memiliki jatidiri dan karakter individu yang ideal. Remaja dan anak-anak kita kelak akan menjadi manusia dewasa yang  selalu tidak percaya diri.
            Selama pemerintah tidak pernah secara tegas melarang tayangan infotainment, maka kita akan tetap mendapatkan kenyataan bahwa tayangan  itu akan terus menjadi sajian favorit banyak orang. Jika pemerintah tidak dapat menghentikan semua tayangan infotainment karena tidak memiliki alasan yang kuat untuk melakukannya maka pemerintah perlu menerbitkan regulasi untuk memberi rambu-rambu tayangan infotainment yang konstrukstif, bukan yang membodohi masyarakat.   Pemerintah bisa mewadahi keinginan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) untuk menyensor tayangan infotainment dalam bentuk menyusun  regulasi tentang lembaga sensor infotainment. Masyarakat harus dilindungi dari tayangan televisi yang tidak mendidik.
            Selain itu, perlu juga dilakukan kajian mengapa masyarakat kita termasuk remajanya menggilai tayangan infotainment. Apakah masyarakat kita terlalu jenuh dengan persoalan hidup yang dijumpai sehari-hari, sehingga mereka memerlukan sarana untuk mengurangi kejenuhan itu dengan menyaksikan tayangan yang menampilkan sosok-sosok cantik dan tampan? Ataukah, ini kegagalan dunia pendidikan mencerdaskan bangsa ini secara keseluruhan, sehingga masyarakat kita masih menyukai tontonan yang tidak mencerdaskan?
            Jangan sampai pemerintah membuat regulasi pembatasan tayangan infotainment namun tetap membiarkan masyarakat tidak cerdas memilih tontonan. Adalah tugas kita semua mencerdaskan masyarakat agar lebih selektif memilih program televisi. Dunia pendidikan yang tengah gencar mensosialisasi pendidikan karakter, dapat memainkan peran yang sentral dalam mencerdaskan para remaja, dan tidak terjebak pada budaya populis yang sering manipulatif, dan menipu. Penyadaran akan pentingnya menanamkan kesadaran beragama yang lebih intens dalam dinamika remaja adalah tanggung jawab semua pihak (guru, orang tua, juga pemerintah). Bila karakter asli bangsa telah kembali, yakni cinta Tuhan dan kebenaran, jujur, suka menolong, empati, kasing sayang, adil, dan menjunjung tinggi nilai kemanusian, maka secara alami tontonan-tontonan yang tidak mendidik akan ditinggalkan oleh masyarakat.
            Namun, hanya membiarkan masyarakat secara bebas menentukan tayangan yang harus ditonton tanpa dibekali dengan upaya pencerdasan masyarakat, rasanya seperti membiarkan seekor kancil sekandang dengan srigala. Sang kancil yang cerdas hanya punya satu pilihan, yaitu diterkam sang srigala.  Jangan biarkan tayangan infotainment “menerkam”  remaja dan anak-anak kita !
(Wahyudi Oetomo)

Menjaga Kelestarian Bahasa Madura


Sebagai sebuah produk budaya, bahasa Madura dan entitas didalamnya termasuk sastra Madura adalah sebuah kekayaan daerah yang harus dijaga kelestariannya. Ada kekhawatiran yang kian hari makin membesar, saat jembatan Suramadu (Surabaya-Madura) selesai dibangun, nasib bahasa Madura akan terpinggirkan.
Ada fakta empirik yang menggelisahkan,  pada masyarakat perkotaan di kota kabupaten di Madura, dimana bahasa Madura sebagai bahasa ibu mulai tergeser oleh bahasa Indonesia. Banyak anak-anak yang tinggal di Madura kurang fasih berbahasa Madura. Sebuah fakta yang meresahkan semua pemerhati bahasa dan budaya Madura.
            Lalu, apa peran sekolah ikut menjaga eksistensi bahasa Madura? Pada konteks di pulau Madura, di empat kabupaten (Bangkalan, Sampang, Pamekasan, dan Sumenep), pelajaran bahasa Madura diajarkan pada tingkat Sekolah Dasar (SD) sampai Sekolah Menengah Pertama (SMP). Dan,  sekolah  berperan besar ikut melestarikan bahasa Madura , meski ada banyak kekurangan dalam proses pembelajarannya.     
            Sebuah tantangan besar bagi sekolah untuk berperan lebih besar melestarikan bahasa dan budaya Madura. Bahasa Madura, saat ini digunakan oleh sekitar 14 juta orang sebagai bahasa sehari-hari(wikipedia),  baik oleh penduduk yang tinggal di pulau Madura maupun di luar pulau Madura (beberapa kabupaten wilayah pesisir Pasuruan sampai Banyuwangi dan Kalimantan). Namun, besarnya angka pemakai bahasa Madura tidak diimbangi dengan upaya serius melestarikan bahasa Madura. Mengapa tidak serius?
            Ada sebuah fakta yang mengagetkan, cerita seorang teman guru, ada sebuah sekolah yang guru bahasa Madura-nya bukan orang Madura asli, guru pendatang dari pulau Jawa. Mengapa fakta itu terjadi ? Ada beberapa kemungkinan penyebabnya : pertama, di sekolah itu semua gurunya adalah guru pendatang dari pulau Jawa sehingga secara otomatis guru pengajar bahasa Madura, mau tidak mau, harus diajar oleh guru yang bukan penduduk asli, mungkin sekedar menggugurkan kewajiban meski tidak dibekali dengan kemampuan yang cukup tentang bahasa Madura; kemungkinan yang kedua adalah guru tersebut adalah guru pendatang dari Jawa yang sudah lama mengajar di Madura, dan sudah fasih berbahasa Madura, dan dipandang oleh kepala sekolahnya mampu mengajar bahasa Madura.
            Memang, pelajaran bahasa Inggris tidak harus diajarkan oleh orang Inggris. Namun, bila kemampuan berbahasa Madura saja lemah, kemudian mengajar bahasa Madura, bisa dipastikan materi pelajaran yang disampaikan hanya sekedar teori. Akhirnya, kita semua memaklumi dengan pepatah ” tidak ada rotan akar pun jadi”.
            Satu problema, yang barangkali tidak dihadapi dalam pengembangan bahasa Jawa adalah tidak adanya lembaga keguruan yang memiliki jurusan bahasa Madura. Lembaga keguruan yang memiliki fakultas pendidikan bahasa dan sastra, seperti Universitas Negeri Surabaya (UNESA), hanya memiliki jurusan bahasa Jawa. Termasuk perguruan tinggi yang ada di Madura tidak ada satu pun yang membuka jurusan bahasa Madura.
            Keberadaan lembaga keguruan bagi pengembangan bahasa Madura sangat penting. Lembaga sekolah sebagai salah pintu masuk untuk melestarikan bahasa dan sastra Madura tidak bisa dilepaskan dari peran lembaga keguruan dalam mencetak guru bahasa Madura. Peran sentral guru di sekolah dalam memainkan peran pengajaran bahasa dan sastra Madura mengharuskan ada sebuah lembaga yang memproduk guru bahasa Madura. Guru bahasa Madura tidak cukup hanya dicetak secara otodidak, tanpa dibekali kompetensi yang cukup tentang bahasa Madura.
            Fakta yang terjadi di sekolah-sekolah, banyak guru bahasa Madura yang berangkat dari keterpaksaan, karena ketidaksesuaian latar belakang pendidikannya dengan pelajaran yang diajarkan, dan banyak guru lain yang tidak bersedia mengajar pelajaran bahasa Madura. Bila situasi ini selamanya terjadi di dunia pendidikan kita, khususnya di wilayah yang mayoritas bahasa yang digunakan adalah bahasa Madura maka perlahan-lahan pembelajaran bahasa Madura akan semakin tidak bermutu dan murid juga mempelajarinya dengan terpaksa .
            Beruntung masih ada segelintir orang Madura yang masih perduli dengan pengembangan bahasa dan sastra Madura. Orang-orang seperti M. Dradjid, B.A., Abd. Rachem, dan R.P. Abd. Sukur Notoasmoro adalah sedikit orang yang masih punya kepedulian ikut menjaga kelestarian bahasa Madura dengan menyusun buku pelajaran bahasa Madura. Dan, untungnya lagi ada penerbit yang mau mencetak buku pelajaran bahasa Madura.
            Peran pemerintah dalam pengembangan dan pelestarian bahasa Madura di sekolah tidak cukup hanya dengan menerbitkan kurikulum  atau GBPP (Garis-garis Besar Program Pengajaran) bahasa Madura, namun juga memfasilitasi Lembaga Pendidikan Tinggi dan Keguruan (LPTK) untuk membuka jurusan pendidikan bahasa dan sastra Madura.
            Rendahnya kompetensi guru bahasa Madura menjadi penyebab rendahnya minat belajar siswa terhadap pelajaran bahasa Madura. Untuk mencetak guru bahasa Madura yang memiliki kompetensi tinggi memerlukan institusi formal, seperti LPTK. Tidak cukup untuk mencetak guru bahasa Madura yang berkualitas  dengan otodidak, disediakan buku pegangan, dan diikutkan MGMP (Musyawarah Guru Mata Pelajaran).
            Selagi lembaga formal pencetak guru bahasa Madura belum ada, apa yang harus diperbuat oleh guru bahasa Madura yang dicetak secara otodidak itu? Hanya satu, terus berusaha untuk mencintai bahasa Madura sebagai salah satu kebanggaan budaya lokal. Juga selalu berusaha meningkatkan kompetensi diri sehingga selalu menemukan metode-metode menarik untuk mengajarkan bahasa Madura dan menjadi pelajaran yang dicintai oleh semua murid-muridnya.
            Akhirnya, kita semua berharap kehadiran jembatan Suramadu tidak akan memarjinalkan bahasa lokal, bahasa Madura. Peran penting dunia sekolah ikut menjaga kelestarian bahasa Madura perlu di dukung oleh pemerintah dan masyarakat.  Jangan sampai generasi baru yang lahir pasca selesainya jembatan Suramadu hanya mampu berbahasa Indonesia  dan tidak mampu berbicara bahasa Madura. Semoga tidak terjadi ! (Wahyudi Oetomo)