Senin, 23 Juli 2018

Menjaga Kelestarian Bahasa Madura


Sebagai sebuah produk budaya, bahasa Madura dan entitas didalamnya termasuk sastra Madura adalah sebuah kekayaan daerah yang harus dijaga kelestariannya. Ada kekhawatiran yang kian hari makin membesar, saat jembatan Suramadu (Surabaya-Madura) selesai dibangun, nasib bahasa Madura akan terpinggirkan.
Ada fakta empirik yang menggelisahkan,  pada masyarakat perkotaan di kota kabupaten di Madura, dimana bahasa Madura sebagai bahasa ibu mulai tergeser oleh bahasa Indonesia. Banyak anak-anak yang tinggal di Madura kurang fasih berbahasa Madura. Sebuah fakta yang meresahkan semua pemerhati bahasa dan budaya Madura.
            Lalu, apa peran sekolah ikut menjaga eksistensi bahasa Madura? Pada konteks di pulau Madura, di empat kabupaten (Bangkalan, Sampang, Pamekasan, dan Sumenep), pelajaran bahasa Madura diajarkan pada tingkat Sekolah Dasar (SD) sampai Sekolah Menengah Pertama (SMP). Dan,  sekolah  berperan besar ikut melestarikan bahasa Madura , meski ada banyak kekurangan dalam proses pembelajarannya.     
            Sebuah tantangan besar bagi sekolah untuk berperan lebih besar melestarikan bahasa dan budaya Madura. Bahasa Madura, saat ini digunakan oleh sekitar 14 juta orang sebagai bahasa sehari-hari(wikipedia),  baik oleh penduduk yang tinggal di pulau Madura maupun di luar pulau Madura (beberapa kabupaten wilayah pesisir Pasuruan sampai Banyuwangi dan Kalimantan). Namun, besarnya angka pemakai bahasa Madura tidak diimbangi dengan upaya serius melestarikan bahasa Madura. Mengapa tidak serius?
            Ada sebuah fakta yang mengagetkan, cerita seorang teman guru, ada sebuah sekolah yang guru bahasa Madura-nya bukan orang Madura asli, guru pendatang dari pulau Jawa. Mengapa fakta itu terjadi ? Ada beberapa kemungkinan penyebabnya : pertama, di sekolah itu semua gurunya adalah guru pendatang dari pulau Jawa sehingga secara otomatis guru pengajar bahasa Madura, mau tidak mau, harus diajar oleh guru yang bukan penduduk asli, mungkin sekedar menggugurkan kewajiban meski tidak dibekali dengan kemampuan yang cukup tentang bahasa Madura; kemungkinan yang kedua adalah guru tersebut adalah guru pendatang dari Jawa yang sudah lama mengajar di Madura, dan sudah fasih berbahasa Madura, dan dipandang oleh kepala sekolahnya mampu mengajar bahasa Madura.
            Memang, pelajaran bahasa Inggris tidak harus diajarkan oleh orang Inggris. Namun, bila kemampuan berbahasa Madura saja lemah, kemudian mengajar bahasa Madura, bisa dipastikan materi pelajaran yang disampaikan hanya sekedar teori. Akhirnya, kita semua memaklumi dengan pepatah ” tidak ada rotan akar pun jadi”.
            Satu problema, yang barangkali tidak dihadapi dalam pengembangan bahasa Jawa adalah tidak adanya lembaga keguruan yang memiliki jurusan bahasa Madura. Lembaga keguruan yang memiliki fakultas pendidikan bahasa dan sastra, seperti Universitas Negeri Surabaya (UNESA), hanya memiliki jurusan bahasa Jawa. Termasuk perguruan tinggi yang ada di Madura tidak ada satu pun yang membuka jurusan bahasa Madura.
            Keberadaan lembaga keguruan bagi pengembangan bahasa Madura sangat penting. Lembaga sekolah sebagai salah pintu masuk untuk melestarikan bahasa dan sastra Madura tidak bisa dilepaskan dari peran lembaga keguruan dalam mencetak guru bahasa Madura. Peran sentral guru di sekolah dalam memainkan peran pengajaran bahasa dan sastra Madura mengharuskan ada sebuah lembaga yang memproduk guru bahasa Madura. Guru bahasa Madura tidak cukup hanya dicetak secara otodidak, tanpa dibekali kompetensi yang cukup tentang bahasa Madura.
            Fakta yang terjadi di sekolah-sekolah, banyak guru bahasa Madura yang berangkat dari keterpaksaan, karena ketidaksesuaian latar belakang pendidikannya dengan pelajaran yang diajarkan, dan banyak guru lain yang tidak bersedia mengajar pelajaran bahasa Madura. Bila situasi ini selamanya terjadi di dunia pendidikan kita, khususnya di wilayah yang mayoritas bahasa yang digunakan adalah bahasa Madura maka perlahan-lahan pembelajaran bahasa Madura akan semakin tidak bermutu dan murid juga mempelajarinya dengan terpaksa .
            Beruntung masih ada segelintir orang Madura yang masih perduli dengan pengembangan bahasa dan sastra Madura. Orang-orang seperti M. Dradjid, B.A., Abd. Rachem, dan R.P. Abd. Sukur Notoasmoro adalah sedikit orang yang masih punya kepedulian ikut menjaga kelestarian bahasa Madura dengan menyusun buku pelajaran bahasa Madura. Dan, untungnya lagi ada penerbit yang mau mencetak buku pelajaran bahasa Madura.
            Peran pemerintah dalam pengembangan dan pelestarian bahasa Madura di sekolah tidak cukup hanya dengan menerbitkan kurikulum  atau GBPP (Garis-garis Besar Program Pengajaran) bahasa Madura, namun juga memfasilitasi Lembaga Pendidikan Tinggi dan Keguruan (LPTK) untuk membuka jurusan pendidikan bahasa dan sastra Madura.
            Rendahnya kompetensi guru bahasa Madura menjadi penyebab rendahnya minat belajar siswa terhadap pelajaran bahasa Madura. Untuk mencetak guru bahasa Madura yang memiliki kompetensi tinggi memerlukan institusi formal, seperti LPTK. Tidak cukup untuk mencetak guru bahasa Madura yang berkualitas  dengan otodidak, disediakan buku pegangan, dan diikutkan MGMP (Musyawarah Guru Mata Pelajaran).
            Selagi lembaga formal pencetak guru bahasa Madura belum ada, apa yang harus diperbuat oleh guru bahasa Madura yang dicetak secara otodidak itu? Hanya satu, terus berusaha untuk mencintai bahasa Madura sebagai salah satu kebanggaan budaya lokal. Juga selalu berusaha meningkatkan kompetensi diri sehingga selalu menemukan metode-metode menarik untuk mengajarkan bahasa Madura dan menjadi pelajaran yang dicintai oleh semua murid-muridnya.
            Akhirnya, kita semua berharap kehadiran jembatan Suramadu tidak akan memarjinalkan bahasa lokal, bahasa Madura. Peran penting dunia sekolah ikut menjaga kelestarian bahasa Madura perlu di dukung oleh pemerintah dan masyarakat.  Jangan sampai generasi baru yang lahir pasca selesainya jembatan Suramadu hanya mampu berbahasa Indonesia  dan tidak mampu berbicara bahasa Madura. Semoga tidak terjadi ! (Wahyudi Oetomo)


URGENSI PENDIDIKAN LIFE SKILL


Pendidikan kecakapan hidup (life skill) mencakup kecakapan personal, sosial, akademik, dan vokasional. Namun, kecakapan hidup sering  maknanya hanya disempitkan pada kecakapan vokasional, yakni kecakapan mencari pekerjaan, atau menciptakan lapangan pekerjaan. Pendidikan kecakapan hidup yang difokuskan pada kecakapan vokasional hanya tepat diberikan di sekolah kejuruan. Sedangkan pendidikan kecakapan hidup yang komplit, yang mencakup keempat kecakapan hidup, harus diberikan di semua jenjang pendidikan nasional,
            Ada keprihatinan yang dalam terhadap berbagai fakta empirik yang tersaji di hadapan kita berupa kegagalan praksis pendidikan dengan melihat berbagai indikator yang kasat mata. Misalnya, budi pekerti pelajar kian menurun, perkelahian pelajar, praktik pornografi di sekolah, praktik kekerasan siswa senior kepada yuniornya, tingginya angka pengangguran, atau rendahnya mutu siswa negeri ini dalam komparasi internasional.
            Pada tahun 2002 Departemen Pendidikan  Nasional meluncurkan konsep pendidikan berorientasi pada kecakapan hidup (PKBH). Dalam konsep PKBH proses pendidikan harus membekali peserta didik dengan kecakapan hidup yaitu keberanian menghadapi problema hidup dan kehidupan secara wajar tanpa merasa tertekan. Pendidikan yang dapat mensinergikan berbagai mata pelajaran menjadi kecakapan hidup yang diperlukan seseorang di manapun ia berada, bekerja atau tidak bekerja, apapun profesinya.
            Ada idealisme yang sama pada berbagai konsep pendidikan nasional, termasuk pada konsep pendidikan kecakapan hidup, yakni bahwa pendidikan mengoptimalkan potensi yang dimiliki siswa, dan pendidikan harus mendasarkan pada kebutuhan masyarakat yang luas. Meski konsep pendidikan kecakapan hidup telah lama diluncurkan oleh pemerintah, namun belum terasa gregetnya. Konsep PKBH menjadi “mandul” karena kurangnya sosialisasi konsep itu kepada praktisi pendidikan, khususnya guru. Sehingga ada missing link (rantai hilang) antara konsep dan tataran praktis.
            Konsep pendidikan kecakapan hidup, tidak harus mengubah kurikulum pendidikan yang ada. Atau, pendidikan kecakapan hidup tidak perlu menjadi sebuah mata pelajaran tersendiri. Konsep pendidikan hidup harus terintegrasi secara ajeg (kontinyu) kepada semua mata pelajaran yang ada. Masalahnya, banyak guru yang masih belum paham harus mengintegrasikan “apa” ke dalam mata pelajaran yang diajarkannya. Perlu ada sosialisasi yang cukup kepada guru mata pelajaran untuk  selalu memunculkan konsep pendidikan kecakapan hidup pada mata pelajaran yang diajarkannya.
            Sebenarnya, bila kita sebagai guru telah membiasakan diri menggunakan pendekatan belajar mengajar kontekstual, telah memunculkan aspek pendidikan kecakapan hidup. Karena aplikasi pendidikan kecakapan hidup pada dasarnya adalah bagaimana kita mampu mengkaitkan problema kehidupan nyata di masyarakat dan pemecahan ke dalam materi pelajaran. Kecakapan personal dan sosial dapat dibangun di mata pelajaran apa pun. Pembelajaran kooperatif dapat menjadi ajang untuk menumbuhkan kecakapan personal dan sosial. 
            Dalam pembelajaran kooperatif (berkelompok) kecakapan personal dan sosial dapat ditumbuhkan secara optimal. Kelompok sebagai ciri khas pembelajaran kooperatif dapat dianalogikan sebagi miniatur masyarakat. Peserta didik akan berlatih mengatur egonya agar dia dapat selalu diterima di dalam kelompoknya. Peserta didik juga dilatih bagaimana caranya menghormati pendapat orang lain, menghargai perbedaan pendapat, bekerjasama, dan berkomunikasi.
            Selama ini guru hanya memfokuskan kegiatan pembelajaran untuk mengasah  kecakapan akademik. Padahal, peserta didik tidak cukup hanya pandai (cakap akademis), namun ketika di luar sekolah peserta didik juga harus memiliki kecakapan personal, sosial dan vokasional.
            Kecakapan vokasional, sebagai bagian dari kecakapan hidup, dikembangkan secara intens di sekolah kejuruan. Di jenjang SMP dan SMA, kecakapan vokasional juga disisipkan meski dalam porsi yang sangat kecil melalui pendidikan ketrampilan. Ketika bicara kecakapan vokasional, mestinya kita merujuk pada konsep lama yang pernah disampaikan oleh mantan Menteri Pendidikan dan Kebuadayaan kita, Prof. Wardiman Djojonegoro, yakni konsep link and match  (keterkaitan dan kesesuaian) antara dunia sekolah dan dunia industri. Masih dalam jumlah yang sangat besar lembaga-lembaga pendidikan di negeri ini, khususnya SMK (Sekolah Menengah Kejuruan) yang mengalami kesenjangan antara lulusan dan kebutuhan dunia kerja, Ada temuan bahwa  banyak lulusan SMK yang tidak terserap di dunia kerja.
            SMK sebagai sekolah yang dikhususkan untuk menumbuhkan kecakapan vokasional, sudah saatnya untuk ditingkatkan kualitas pengelolaannya, sehingga tumbuh menjadi sekolah yang menjembatani dunia kerja dengan dunia pendidikan. Saat Pemerintah terus berusaha menyeimbangkan rasio SMA dengan SMK, mestinya SMK tidak hanya dikembangkan kuantitasnya, tetapi juga kualitasnya.
            Konsep pendidikan kecakapan hidup bila diterapkan secara konsisten oleh guru dalam kegiatan pembelajarannya diharapkan dunia pendidikan akan menghasilkan lulusan yang memiliki kecakapan personal, sosial, akademik, dan vokasional. Lulusan yang tidak hanya cerdas, namun matang secara emosional, dapat menempatkan dirinya di berbagai keadaan, dapat memecahkan persoalan pribadi dan sosial, dan mampu memasuki dunia kerja.
            Akhirnya, implementasi pendidikan kecakapan hidup tak cukup hanya dengan himbauan, namun perlu dipraktikkan. Perlu ada kegiatan sosialisasi kepada guru melalui workshop, seminar, MGMP, atau forum sejenis. Memang, perlu biaya, namun bila hasilnya memiliki nilai yang jauh lebih besar dari investasi biaya yang dikeluarkan, mengapa tidak dilaksanakan? (Wahyudi Oetomo)