Senin, 23 Juli 2018

URGENSI PENDIDIKAN LIFE SKILL


Pendidikan kecakapan hidup (life skill) mencakup kecakapan personal, sosial, akademik, dan vokasional. Namun, kecakapan hidup sering  maknanya hanya disempitkan pada kecakapan vokasional, yakni kecakapan mencari pekerjaan, atau menciptakan lapangan pekerjaan. Pendidikan kecakapan hidup yang difokuskan pada kecakapan vokasional hanya tepat diberikan di sekolah kejuruan. Sedangkan pendidikan kecakapan hidup yang komplit, yang mencakup keempat kecakapan hidup, harus diberikan di semua jenjang pendidikan nasional,
            Ada keprihatinan yang dalam terhadap berbagai fakta empirik yang tersaji di hadapan kita berupa kegagalan praksis pendidikan dengan melihat berbagai indikator yang kasat mata. Misalnya, budi pekerti pelajar kian menurun, perkelahian pelajar, praktik pornografi di sekolah, praktik kekerasan siswa senior kepada yuniornya, tingginya angka pengangguran, atau rendahnya mutu siswa negeri ini dalam komparasi internasional.
            Pada tahun 2002 Departemen Pendidikan  Nasional meluncurkan konsep pendidikan berorientasi pada kecakapan hidup (PKBH). Dalam konsep PKBH proses pendidikan harus membekali peserta didik dengan kecakapan hidup yaitu keberanian menghadapi problema hidup dan kehidupan secara wajar tanpa merasa tertekan. Pendidikan yang dapat mensinergikan berbagai mata pelajaran menjadi kecakapan hidup yang diperlukan seseorang di manapun ia berada, bekerja atau tidak bekerja, apapun profesinya.
            Ada idealisme yang sama pada berbagai konsep pendidikan nasional, termasuk pada konsep pendidikan kecakapan hidup, yakni bahwa pendidikan mengoptimalkan potensi yang dimiliki siswa, dan pendidikan harus mendasarkan pada kebutuhan masyarakat yang luas. Meski konsep pendidikan kecakapan hidup telah lama diluncurkan oleh pemerintah, namun belum terasa gregetnya. Konsep PKBH menjadi “mandul” karena kurangnya sosialisasi konsep itu kepada praktisi pendidikan, khususnya guru. Sehingga ada missing link (rantai hilang) antara konsep dan tataran praktis.
            Konsep pendidikan kecakapan hidup, tidak harus mengubah kurikulum pendidikan yang ada. Atau, pendidikan kecakapan hidup tidak perlu menjadi sebuah mata pelajaran tersendiri. Konsep pendidikan hidup harus terintegrasi secara ajeg (kontinyu) kepada semua mata pelajaran yang ada. Masalahnya, banyak guru yang masih belum paham harus mengintegrasikan “apa” ke dalam mata pelajaran yang diajarkannya. Perlu ada sosialisasi yang cukup kepada guru mata pelajaran untuk  selalu memunculkan konsep pendidikan kecakapan hidup pada mata pelajaran yang diajarkannya.
            Sebenarnya, bila kita sebagai guru telah membiasakan diri menggunakan pendekatan belajar mengajar kontekstual, telah memunculkan aspek pendidikan kecakapan hidup. Karena aplikasi pendidikan kecakapan hidup pada dasarnya adalah bagaimana kita mampu mengkaitkan problema kehidupan nyata di masyarakat dan pemecahan ke dalam materi pelajaran. Kecakapan personal dan sosial dapat dibangun di mata pelajaran apa pun. Pembelajaran kooperatif dapat menjadi ajang untuk menumbuhkan kecakapan personal dan sosial. 
            Dalam pembelajaran kooperatif (berkelompok) kecakapan personal dan sosial dapat ditumbuhkan secara optimal. Kelompok sebagai ciri khas pembelajaran kooperatif dapat dianalogikan sebagi miniatur masyarakat. Peserta didik akan berlatih mengatur egonya agar dia dapat selalu diterima di dalam kelompoknya. Peserta didik juga dilatih bagaimana caranya menghormati pendapat orang lain, menghargai perbedaan pendapat, bekerjasama, dan berkomunikasi.
            Selama ini guru hanya memfokuskan kegiatan pembelajaran untuk mengasah  kecakapan akademik. Padahal, peserta didik tidak cukup hanya pandai (cakap akademis), namun ketika di luar sekolah peserta didik juga harus memiliki kecakapan personal, sosial dan vokasional.
            Kecakapan vokasional, sebagai bagian dari kecakapan hidup, dikembangkan secara intens di sekolah kejuruan. Di jenjang SMP dan SMA, kecakapan vokasional juga disisipkan meski dalam porsi yang sangat kecil melalui pendidikan ketrampilan. Ketika bicara kecakapan vokasional, mestinya kita merujuk pada konsep lama yang pernah disampaikan oleh mantan Menteri Pendidikan dan Kebuadayaan kita, Prof. Wardiman Djojonegoro, yakni konsep link and match  (keterkaitan dan kesesuaian) antara dunia sekolah dan dunia industri. Masih dalam jumlah yang sangat besar lembaga-lembaga pendidikan di negeri ini, khususnya SMK (Sekolah Menengah Kejuruan) yang mengalami kesenjangan antara lulusan dan kebutuhan dunia kerja, Ada temuan bahwa  banyak lulusan SMK yang tidak terserap di dunia kerja.
            SMK sebagai sekolah yang dikhususkan untuk menumbuhkan kecakapan vokasional, sudah saatnya untuk ditingkatkan kualitas pengelolaannya, sehingga tumbuh menjadi sekolah yang menjembatani dunia kerja dengan dunia pendidikan. Saat Pemerintah terus berusaha menyeimbangkan rasio SMA dengan SMK, mestinya SMK tidak hanya dikembangkan kuantitasnya, tetapi juga kualitasnya.
            Konsep pendidikan kecakapan hidup bila diterapkan secara konsisten oleh guru dalam kegiatan pembelajarannya diharapkan dunia pendidikan akan menghasilkan lulusan yang memiliki kecakapan personal, sosial, akademik, dan vokasional. Lulusan yang tidak hanya cerdas, namun matang secara emosional, dapat menempatkan dirinya di berbagai keadaan, dapat memecahkan persoalan pribadi dan sosial, dan mampu memasuki dunia kerja.
            Akhirnya, implementasi pendidikan kecakapan hidup tak cukup hanya dengan himbauan, namun perlu dipraktikkan. Perlu ada kegiatan sosialisasi kepada guru melalui workshop, seminar, MGMP, atau forum sejenis. Memang, perlu biaya, namun bila hasilnya memiliki nilai yang jauh lebih besar dari investasi biaya yang dikeluarkan, mengapa tidak dilaksanakan? (Wahyudi Oetomo)

PENDIDIKAN ANTI KORUPSI


Menurut survei yang dilakukan oleh Lembaga Konsultasi Risiko Politik dan Ekonomi (Political and Economic Risk Consultancy -- PERC) yang dilansir oleh agen berita Perancis AFP, dari skala 0 sampai 10, dimana 0 adalah indikasi bebas korupsi, Indonesia mendapatkan skor 8,32. Riset yang dilakukan pada Maret 2009 itu menempatkan Indonesia sebagai negara terkorup di Asia. Wow, sungguh mengerikan !
            Fakta kronisnya patologi korupsi di negeri ini sungguh memprihatinkan sekaligus menyedihkan. Korupsi telah terjadi di semua lini kehidupan bangsa ini. Penyakit korupsi yang melanda negeri ini berada pada stadium tertinggi, yang dapat menyebabkan negeri ini kehilangan “nyawa”. Korupsi telah berurat dan berakar seperti kanker kronis yang sulit diberantas.
            Gagasan memasukkan pendidikan antikorupsi ke dalam kurikulum pendidikan nasional adalah bagian dari upaya sinergis untuk memberantas korupsi di samping melalui pintu lain. Penanaman nilai-nilai antikorupsi selama ini yang termuat dalam beberapa matapelajaran secara integratif, misalnya dalam pendidikan agama, pendidikan kewarganegaraan, dan bahasa Indonesia telah gagal membentuk manusia Indonesia yang antikorupsi.
            Pendidikan antikorupsi diasumsikan oleh penggagasnya dapat menanamkan nilai-nilai kejujuran dan kesederhanaan, yang pada akhirnya akan menghasilkan manusia Indonesia yang antikorupsi. Pembentukan kesadaran bagi peserta didik sehingga mampu membentuk karakter dan kemudian melakukan aksi melawan korupsi, adalah tujuan dimasukkannya pendidikan antikorupsi ke dalam kurikulum pendidikan nasional.
            Sebenarnya, penanaman nilai antikorupsi dalam kurikulum pendidikan telah terintegrasi sejak lama. Dalam kurikulum pendidikan agama dan pendidikan kewarganegaraan (dulu, Pendidikan Moral Pancasila –PMP) substansi pendidikan antikorupsi telah terintegrasi meski tidak secara eksplisit diberi nama pendidikan antikorupsi. Namun, harus kita akui bahwa penanaman nilai antikorupsi model integrasi selama ini tidak cukup ampuh   menciptakan out put sumber daya manusia (SDM) yang jujur dan antikorupsi.
            Kegagalan pendidikan agama dan pendidikan kewarganegaraan dalam membangun nilai kejujuran, dan anti korupsi terletak pada bangun pendidikan nasional kita yang hingga kini lebih menekankan pada aspek kognitif serta meminimalisir aspek psikomotor dan afektif. Peserta didik terlalu banyak dijejali dengan konsep-konsep teoritis dan jarang diajak untuk berbuat sesuatu yang dapat menumbuhkan nilai-nilai yang bersifat aplikatif. Kegagalan yang sama akan terjadi bila pendidikan anti korupsi ini masuk ke kurikulum pendidikan nasional dengan pola pendekatan yang sama dengan pelajaran pendidikan agama dan pendidikan kewarganegaraan,
            Menjadikan pendidikan antikorupsi sebagai satu mata pelajaran sendiri, tidak sekedar terintegrasi dengan mata pelajaran lain yang relevan akan menyebabkan kurikulum pendidikan kita akan menjadi kembali over loud, kelebihan muatan.  Kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP), yang dipandang oleh sebagian pengamat pendidikan masih terlalu padat, akan semakin padat bila pendidikan antikorupsi ini menjadi sebuah mata pelajaran wajib di sekolah-sekolah.
            Optimalisasi penanaman nilai-nilai antikorupsi pada mata pelajaran yang relevan tanpa harus melalui sebuah mata pelajaran khusus harus dilakukan secara intens. Pendidikan nilai lebih membutuhkan aplikasi daripada sekedar teori. Penanaman nilai pada beberapa mata pelajaran yang selama ini lebih menekankan aspek kognitif, telah melahirkan banyak koruptor, dari kelas teri sampai kelas paus. Potret kebangkrutan banyak “kantin kejujuran” di banyak sekolah adalah gambaran utuh kegagalan penanaman nilai-nilai kejujuran.
            Pendidikan antikorupsi tidak perlu banyak teori. Penanaman nilai-nilai kejujuran lebih banyak membutuhkan praktik, dan guru adalah model terdepan dalam memberikan tauladan menerapkan nilai-nilai kejujuran. Sering, kita sebagai guru, tanpa disadari melakukan korupsi kecil-kecilan, misalnya korupsi waktu. Seorang guru yang sering terlambat masuk kelas akan menanamkan pemahaman dalam diri anak bahwa korupsi waktu adalah sesuatu yang diperbolehkan.
            Konsep learning to do, dalam penanaman nilai apapun akan lebih efektif dari pada sekedar penyampaian verbal, kata-kata tanpa disertai aplikasi nilai dalam kehidupan nyata. Saat seorang guru menyampaikan bahwa korupsi itu dilarang oleh agama dan melanggar hukum, peserta didik harus ditunjukkan tauladan tidak korupsi itu seperti apa. Guru selalu masuk kelas dengan tepat waktu adalah contoh kecil tindakan antikorupsi. Guru harus melakukan penegakan hukum dalam konteks pembelajaran di kelas saat menjumpai seorang peserta didik berbuat tidak jujur saat ulangan. Anak disadarkan bahwa berbuat tidak jujur (termasuk korupsi) akan memperoleh hukuman balasan terhadap tindakan itu (punishment).
            Saat pendidikan antikorupsi menjadi bagian dari kurikulum, entah terintegrasi dengan mata pelajaran yang ada atau berdiri sebagai mata pelajaran, membawa konsekuensi adanya konsistensi antara kajian teoritis dan implementasi nilai-nilai kejujuran dan antikorupsi dalam kehidupan sekolah, rumah tangga dan masyarakat. Jangan sampai guru menanamkan nilai-nilai kejujuran dan antikorupsi, namun di sekolah dipertontonkan perbuatan yang tidak menjunjung tinggi nilai kejujuran. Misalnya, saat Ujian Nasional (Unas), sekolah melalui guru mempertunjukkan sikap yang tidak menjunjung tinggi nilai kejujuran dengan memberikan bocoran jawaban kepada siswa.
            Jika nilai-nilai kejujuran telah disimpan dalam peti besi, dan sekolah merestui praktik kecurangan, maka penanaman nilai-nilai kejujuran yang dikemas dalam bentuk apapun akan kurang bermakna. Ambivalensi (sikap mendua) antara keinginan menanamkan nilai-nilai kejujuran (antikorupsi) dan tumbuhnya sikap permissif terhadap kecurangan di dalam sekolah akan menyebabkan peserta didik menjadi bingung. Akhirnya, peserta didik akan memilih sesuai pilihan hatinya, meski sering pilihan itu hasil bujuk rayuan setan untuk menggelincirkan manusia ke jurang kenistaan.
            Pendidikan antikorupsi, akan bernasib sama dengan pendidikan moral Pancasila dan  pendidikan agama jika dilaksanakan dengan pola pendekatan yang sama, dikuasai konsep dan teorinya namun tidak pernah diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Kegagalan penanaman nilai-nilai dalam kurikulum pendidikan nasional terletak pada terlalu besarnya  porsi pengembangan ranah kognitif dibandingkan dengan ranah psikomotor dan afektif. Evaluasi hasil belajar saat ini lebih banyak digunakan untuk mengukur ranah kognitif.
            Setelah berbagai cara dilakukan untuk memberantas korupsi di negeri ini, namun indeks korupsi di negeri ini tidak pernah menurun, lalu dunia pendidikan digadang-gadang dapat menurunkan angka korupsi secara efektif  melalui kurikulum antikorupsi. Optimisme harus tetap ditanamkan kepada setiap usaha yang dapat membangkitkan negeri ini dari keterpurukan, termasuk memberantas korupsi. Bila usaha-usaha untuk memberantas korupsi selalu dilemahkan, tunggulah kehancuran negeri ini.
            Akhirnya, kita semua berharap pendidikan antikorupsi dalam kurikulum pendidikan nasional dapat memberikan kontribusi positif untuk membangun sebuah peradaban baru di negeri ini, negeri yang bebas korupsi. Semoga. (Wahyudi Oetomo)