Pendidikan
kecakapan hidup (life skill) mencakup
kecakapan personal, sosial, akademik, dan vokasional. Namun, kecakapan hidup
sering maknanya hanya disempitkan pada
kecakapan vokasional, yakni kecakapan mencari pekerjaan, atau menciptakan
lapangan pekerjaan. Pendidikan kecakapan hidup yang difokuskan pada kecakapan
vokasional hanya tepat diberikan di sekolah kejuruan. Sedangkan pendidikan
kecakapan hidup yang komplit, yang mencakup keempat kecakapan hidup, harus
diberikan di semua jenjang pendidikan nasional,
Ada keprihatinan yang dalam terhadap
berbagai fakta empirik yang tersaji di hadapan kita berupa kegagalan praksis
pendidikan dengan melihat berbagai indikator yang kasat mata. Misalnya, budi
pekerti pelajar kian menurun, perkelahian pelajar, praktik pornografi di
sekolah, praktik kekerasan siswa senior kepada yuniornya, tingginya angka
pengangguran, atau rendahnya mutu siswa negeri ini dalam komparasi
internasional.
Pada tahun 2002 Departemen
Pendidikan Nasional meluncurkan konsep
pendidikan berorientasi pada kecakapan hidup (PKBH). Dalam konsep PKBH proses
pendidikan harus membekali peserta didik dengan kecakapan hidup yaitu keberanian
menghadapi problema hidup dan kehidupan secara wajar tanpa merasa tertekan.
Pendidikan yang dapat mensinergikan berbagai mata pelajaran menjadi kecakapan
hidup yang diperlukan seseorang di manapun ia berada, bekerja atau tidak
bekerja, apapun profesinya.
Ada idealisme yang sama pada
berbagai konsep pendidikan nasional, termasuk pada konsep pendidikan kecakapan
hidup, yakni bahwa pendidikan mengoptimalkan potensi yang dimiliki siswa, dan
pendidikan harus mendasarkan pada kebutuhan masyarakat yang luas. Meski konsep
pendidikan kecakapan hidup telah lama diluncurkan oleh pemerintah, namun belum
terasa gregetnya. Konsep PKBH menjadi “mandul” karena kurangnya sosialisasi
konsep itu kepada praktisi pendidikan, khususnya guru. Sehingga ada missing link (rantai hilang) antara
konsep dan tataran praktis.
Konsep pendidikan kecakapan hidup,
tidak harus mengubah kurikulum pendidikan yang ada. Atau, pendidikan kecakapan
hidup tidak perlu menjadi sebuah mata pelajaran tersendiri. Konsep pendidikan
hidup harus terintegrasi secara ajeg (kontinyu) kepada semua mata pelajaran
yang ada. Masalahnya, banyak guru yang masih belum paham harus mengintegrasikan
“apa” ke dalam mata pelajaran yang diajarkannya. Perlu ada sosialisasi yang
cukup kepada guru mata pelajaran untuk selalu
memunculkan konsep pendidikan kecakapan hidup pada mata pelajaran yang
diajarkannya.
Sebenarnya, bila kita sebagai guru
telah membiasakan diri menggunakan pendekatan belajar mengajar kontekstual,
telah memunculkan aspek pendidikan kecakapan hidup. Karena aplikasi pendidikan
kecakapan hidup pada dasarnya adalah bagaimana kita mampu mengkaitkan problema
kehidupan nyata di masyarakat dan pemecahan ke dalam materi pelajaran.
Kecakapan personal dan sosial dapat dibangun di mata pelajaran apa pun.
Pembelajaran kooperatif dapat menjadi ajang untuk menumbuhkan kecakapan
personal dan sosial.
Dalam pembelajaran kooperatif
(berkelompok) kecakapan personal dan sosial dapat ditumbuhkan secara optimal.
Kelompok sebagai ciri khas pembelajaran kooperatif dapat dianalogikan sebagi
miniatur masyarakat. Peserta didik akan berlatih mengatur egonya agar dia dapat
selalu diterima di dalam kelompoknya. Peserta didik juga dilatih bagaimana
caranya menghormati pendapat orang lain, menghargai perbedaan pendapat,
bekerjasama, dan berkomunikasi.
Selama ini guru hanya memfokuskan
kegiatan pembelajaran untuk mengasah
kecakapan akademik. Padahal, peserta didik tidak cukup hanya pandai
(cakap akademis), namun ketika di luar sekolah peserta didik juga harus memiliki
kecakapan personal, sosial dan vokasional.
Kecakapan vokasional, sebagai bagian
dari kecakapan hidup, dikembangkan secara intens di sekolah kejuruan. Di
jenjang SMP dan SMA, kecakapan vokasional juga disisipkan meski dalam porsi
yang sangat kecil melalui pendidikan ketrampilan. Ketika bicara kecakapan
vokasional, mestinya kita merujuk pada konsep lama yang pernah disampaikan oleh
mantan Menteri Pendidikan dan Kebuadayaan kita, Prof. Wardiman Djojonegoro,
yakni konsep link and match (keterkaitan dan kesesuaian) antara dunia
sekolah dan dunia industri. Masih dalam jumlah yang sangat besar
lembaga-lembaga pendidikan di negeri ini, khususnya SMK (Sekolah Menengah
Kejuruan) yang mengalami kesenjangan antara lulusan dan kebutuhan dunia kerja,
Ada temuan bahwa banyak lulusan SMK yang
tidak terserap di dunia kerja.
SMK sebagai sekolah yang dikhususkan
untuk menumbuhkan kecakapan vokasional, sudah saatnya untuk ditingkatkan
kualitas pengelolaannya, sehingga tumbuh menjadi sekolah yang menjembatani
dunia kerja dengan dunia pendidikan. Saat Pemerintah terus berusaha
menyeimbangkan rasio SMA dengan SMK, mestinya SMK tidak hanya dikembangkan
kuantitasnya, tetapi juga kualitasnya.
Konsep pendidikan kecakapan hidup
bila diterapkan secara konsisten oleh guru dalam kegiatan pembelajarannya
diharapkan dunia pendidikan akan menghasilkan lulusan yang memiliki kecakapan
personal, sosial, akademik, dan vokasional. Lulusan yang tidak hanya cerdas,
namun matang secara emosional, dapat menempatkan dirinya di berbagai keadaan,
dapat memecahkan persoalan pribadi dan sosial, dan mampu memasuki dunia kerja.
Akhirnya, implementasi pendidikan
kecakapan hidup tak cukup hanya dengan himbauan, namun perlu dipraktikkan.
Perlu ada kegiatan sosialisasi kepada guru melalui workshop, seminar, MGMP,
atau forum sejenis. Memang, perlu biaya, namun bila hasilnya memiliki nilai
yang jauh lebih besar dari investasi biaya yang dikeluarkan, mengapa tidak
dilaksanakan? (Wahyudi Oetomo)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar