Saat mutu pendidikan nasional dalam komparasi internasional berada di papan
bawah, pengambil kebijakan pendidikan di negeri ini meluncurkan program
”Sekolah Bertaraf Internasional (SBI)”, dengan obsesi kualitas pendidikan
nasional akan meningkat signifikan dan setara dengan negara lain.
Dasar hukum
penyelenggaraan SBI yaitu pasal 50 ayat 3 UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional (UUSPN 20 / 2003) yang menyebutkan bahwa ”pemerintah
dan/atau pemerintah daerah menyelenggarakan sekurang-kurangnya satu satuan
pendidikan pada semua jenjang pendidikan untuk dikembangkan menjadi satuan
pendidikan bertaraf internasional”.
Sampai Juni 2008 Departemen
Pendidikan Nasional telah menetapkan 260 Rintisan Sekolah Bertaraf
Internasional (RSBI), dan diharapkan pada tahun 2009 terjaring minimal 112
benar-benar menjadi SBI.
Fenomena RSBI dan SBI
dalam dunia pendidikan kita berhasil mendongkrak animo masyarakat untuk
menyekolahkan anak-anak mereka ke sekolah-sekolah yang berlabel SBI/RSBI.
Terbukti, pada waktu pendaftaran siswa baru, sekolah-sekolah yang berlabel
SBI/RSBI diserbu peminat, meskipun masyarakat sudah tahu bahwa biaya pendidikan
di SBI/RSBI terbilang mahal dibandingkan sekolah reguler.
Masyarakat kita sedang
”gandrung” dengan sesuatu yang berlabel ”internasional”, termasuk dalam memilih
tempat pendidikan anak-anaknya. Barangkali, asumsi masyarakat, semua yang
berlabel internasional ”pasti” bermutu. Juga, keberhasilan menembus seleksi
SBI/RSBI, diyakini oleh sebagian masyarakat akan meningkatkan prestise orang
tua. Sehingga banyak orang tua tidak peduli besarnya biaya yang harus
ditanggung selama pendidikan anaknya, pokoknya anak mereka lolos penyaringan
SBI/RSBI.
Harapan masyarakat yang
sangat besar terhadap keberadaan SBI/RSBI, harus ”dibayar” dengan produk yang
betul-betul berlevel internasional oleh pihak pengelola SBI/RSBI. Jika
pengelola SBI/RSBI mengacu kepada visi SBI, yaitu ”terwujudnya insan Indonesia
yang cerdas dan kompetitif secara internasional”, mestinya produk SBI/RSBI
adalah siswa-siswa yang siap berkompetisi di arena dunia internasional.
Pertanyaan masyarakat,
apakah idealisasi dalam visi SBI sudah diterapkan dalam tataran implementasi? Ada
beberapa temuan dalam pengelolaan SBI/RSBI yang akan berdampak memunculkan
keraguan masayarakat terhadap kesiapan SBI/RSBI untuk melaksanakan visi SBI.
Misalnya, temuan Ir. Hafilia R. Ismanto, MM., Direktur Bidang Akademik LBPP-
LIA, ” banyak guru mata pelajaran di sekolah SBI/RSBI enggan mengadakan
pembelajaran dalam bahasa Inggris. Juga, fakta lain disampaikan Surya Dharma,
MPA, PhD., Direktur Tenaga Kependidikan, Ditjen Peningkatan Mutu Pendidikan dan
Tenaga Kependidikan, Depdiknas, bahwa dari 260 kepala sekolah Rintisan Sekolah
Bertaraf Internasional (RSBI) yang mengikuti tes bahasa Inggris, sekitar 50 %
nilai TOEIC (Test of English for
International Communication) di bawah 245 alias tingkat kemampuannya di
bawah elementary (dasar). Hanya
sekitar 10 % kepala sekolah yang benar-benar mampu berbahasa Inggris dengan
baik, yang sebagian besar berlatar belakang sarjana pendidikan bahasa Inggris.
Memang, bukan kemampuan
bahasa Inggris yang dijadikan tolok ukur sebuah sekolah dijadikan SBI/RSBI.
Tapi rasanya lucu bila guru dan kepala sekolah di sekolah bertaraf
internasional tidak memiliki kompetensi
berbahasa internasional (bahasa Inggris).
Sekolah berlabel SBI/RSBI
memang tidak sekedar berpengantar bahasa Inggris (bilingual). Sekolah berlabel SBI/ RSBI harus menerapkan Standard
Nasional Pendidikan (SNP) plus ”X” (SBI
= SNP + X). Dimana, SNP meliputi standard kompetensi lulusan, isi, proses,
pendidik dan tenaga pendidikan, sarana dan prasarana, pengelolaan, dan
penilaian. Sedangkan ”X” merupakan penguatan, pengayaan, pengembangan,
perluasan, pendalaman melalui adapsi atau adopsi terhadap standard pendidikan,
baik dari dalam maupun luar negeri, yang diyakini telah memiliki reputasi mutu
yang diakui secara internasional.
Hasil evaluasi kinerja RSBI
khususnya tingkat SMA tahun 2008 belum menghasilkan produk yang memuaskan. Kinerja sekolah hasil evaluasi tahun 2008
pada sembilan pilar mutu masih jauh dari standar yang diharapkan. Misalnya,
komponen dan aspek pengelolaan 78, 06 persen, kurikulum 72,74 persen, proses
pembelajaran 74,40 persen, penilaian 69,33 persen, pendidik 71,68 persen,
sarana dan prasarana 73,41 persen dan pembiayaan 71,94 persen.
Sorotan masyarakat atas
keberadaan SBI/RSBI adalah mahalnya biaya yang harus ditanggung oleh orang tua.
Ada yang memplesetkan SBI dengan akronim ”Sekolah
Bertarif Internasional”. Berbeda
dengan SD dan SMP reguler yang sudah dilarang memungut biaya sejak Januari
2009, SBI/RSBI masih diperbolehkan memungut biaya. Namun, berdasarkan surat
keputusan Menteri Pendidikan Nasional mengenai SBI/RSBI, mekanisme pemungutan
biaya SBI/RSBI harus disepakati oleh komite sekolah mengenai jumlah dan
alokasinya.
Mahalnya biaya pendidikan
SBI/RSBI, lebih banyak untuk memenuhi kebutuhan melengkapi pencapaian standar
sarana prasarana dan infrastruktur SBI/RSBI. Dan, bila pencapaian standar
sarana prasarana telah terpenuhi maka logikanya biaya pendidikan SBI/RSBI akan
turun dan tidak semahal pada saat program SBI/RSBI diluncurkan. Bila pengelola
SBI/RSBI tetap bersikukuh mempertahankan biaya SBI/RSBI pada standard nominal
yang tinggi perlu dipertanyakan alokasi pendanaannya.
Mahalnya biaya pendidikan
SBI/RSBI dipandang oleh banyak pemerhati pendidikan termasuk masyarakat,
sebagai bentuk diskriminasi program SBI/RSBI terhadap kelompok anak-anak
berekonomi lemah, namun memiliki kecerdasan lebih. Jargon ”subsidi silang”
dalam menetralisir tuduhan terhadap
SBI/RSBI adalah sekolah khusus untuk orang kaya menurut penulis tidak akan
mampu mengeliminasi stigma SBI/RSBI sekolah kaum berduit. Fakta empiris, jumlah
siswa tidak mampu yang menikmati subsidi silang jumlahnya terlalu kecil.
Proporsi jumlah siswa yang menikmati subsidi silang dari waktu ke waktu harus
semakin meningkat seiring dengan turunnya alokasi anggaran untuk pengadaan
sarana prasarana SBI/RSBI.
Masyarakat berharap
program SBI/RSBI tidak menjadi program
”menara gading”, indah namun tak terjangkau oleh sebagian besar
masyarakat. Jangan sampai pengelola
SBI/RSBI memanfaatkan program ini sebagai ladang untuk mencari keuntungan
materi (profit oriented). Tujuan awal
dari SBI/RSBI adalah terwujudnya insan Indonesia yang cerdas dan kompetitif
secara internasional, bukan untuk meningkatkan kesejahteraan para pengelola
SBI/RSBI. Pengelola SBI/RSBI harus transparan dalam menyusun RAPBS (Rancangan
Anggaran Pendapatan dan Belanja Sekolah), khususnya kepada komite sekolah,
sehingga alokasi biaya pengelolaan SBI/RSBI terarah, efesien, transparan, dan
akuntabel. Harapannya, biaya SBI/RSBI menjadi tidak terlalu mahal, dan
terjangkau oleh sebagian besar masyarakat.
Akhirnya, SBI/RSBI bukan
sekedar sekolah yang berpengantar bahasa Inggris, ruangnya ber AC, gurunya
menggunakan lap top, namun lebih dari itu. SBI/RSBI harus didukung oleh sumber
daya manusia (SDM) yang mumpuni, guru yang berkompetensi tinggi dan kepala
sekolah yang visioner. Jangan sampai SBI/RSBI dengan sekolah reguler hanya
berbeda ruang, namun sistem pembelajarannya sama saja. (Wahyudi Oetomo)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar