Jika ada orang
menganggur, dan orang itu hanya lulusan sekolah dasar atau bahkan tidak pernah
sekolah, kita umumnya memaklumkan realita itu. Namun jika yang menganggur itu adalah
seorang sarjana kita sering menganggapnya aneh. “Jika hanya untuk menganggur,
buat apa sekolah lama-lama dan memerlukan biaya mahal. Kalau hanya untuk
menganggur lebih baik tidak usah kuliah!”, barangkali kata-kata itu yang akan
dilontarkan oleh orang terhadap sarjana menganggur.
Fenomena sarjana menganggur, tidak hanya terjadi pada
tahun belakangan ini. Problema sarjana menganggur menjadi persoalan klasik
sejak dulu, dan hingga kini belum terselesaikan. Perlu kajian yang komprehensif
untuk menemukan akar permasalahannya sehingga akumulasi pengangguran
intelektual ini tidak terus menggelembung.
Idealnya antara dunia perguruan tinggi dengan dunia kerja
ada link and match – keterkaitan dan
kecocokan. Asumsi sementara, dunia pendidikan tinggi kita tidak mampu memenuhi
standard kebutuhan dunia kerja sehingga para sarjana tidak terserap di dunia
kerja. Dunia kerja akan lebih memilih tenaga kerja non sarjana dengan
kompetensi yang tidak kalah dengan sarjana, misalnya alumni sekolah kejuruan.
Jika dunia kerja merekrut tenaga kerja baru lulusan sarjana tentu memiliki
kompensasi gaji yang lebih tinggi daripada merekrut lulusan sekolah menengah
kejuruan, dengan kualitas kompetensi yang hampir sama.
Apalagi sekarang ada fenomena di dunia pendidikan tinggi,
munculnya perguruan-perguruan tinggi swasta yang mengadakan perkuliahan
seminggu sekali, dan lulus dalam waktu yang super cepat. Lulusan dari perguruan
tinggi yang model seperti ini bisa dipastikan memiliki kompetensi rendah.
Lulusan perguruan-perguruan tinggi ternama dengan kualitas baik dijamin
lulusannya tidak akan kesulitan mencari kerja. Bahkan banyak perguruan tinggi
yang mahasiswanya sebelum lulus sudah diterima di perusahaan-perusahaan besar.
Perguruan tinggi harus melakukan analisa kebutuhan tenaga
kerja. Mestinya, jurusan yang sudah jenuh lulusannya tidak perlu lagi dibuka
jurusan tersebut. Jika analisa ini tidak dilakukan bisa dipastikan sarjana
jurusan tertentu akan sulit mencari pekerjaan, karena lebih besar “penawaran”
daripada “permintaan”. Jurus aji mumpung dalam membuka jurusan di perguruan
tinggi harus segera ditinggalkan. Sekarang ini banyak perguruan tinggi membuka
program keguruan, karena animo masyarakat untuk menjadi guru sangat tinggi.
Bisa dipastikan lima
tahun yang akan datang akan banyak sarjana keguruan yang menganggur karena
kebutuhan guru tidak sebesar jumlah lulusan sarjana keguruan.
Asumsi yang lain mengapa sarjana di negeri ini banyak
yang menganggur, adalah lemahnya jiwa enterpreneur di dalam diri para sarjana
negeri ini. Sarjana kita kalau tidak bekerja menjadi pegawai negeri atau
bekerja di perusahaan besar tidak mau bekerja. Jiwa untuk berwirausaha di
kalangan pemuda khususnya para sarjana relatif rendah. Buktinya sarjana
menganggur sangat banyak. Seandainya mereka punya keberanian untuk berwirausaha
jumlah sarjana mengganggur pasti akan menurun drastis. Memang pemerintah perlu
memfasilitasi para sarjana itu menciptakan lapangan kerja sendiri dengan
pemberian kredit murah kepada sarjana, kalau perlu tanpa agunan, barangkali
agunannya cukup ijazah sarjananya.
Pada tahun 2009, pemerintah mengalokasikan dana Rp. 108
miliar untuk pendidikan kewirausahaan. Jiwa kewirausahaan bisa ditumbuhkan
lewat pendidikan. Sehingga sarjana tidak lagi tergantung kepada ketersediaan
lapangan kerja, mereka bisa menciptakan lapangan kerja sendiri. Peluang kerja
itu bukan hanya ditunggu tapi harus diciptakan oleh para sarjana.
Membiarkan para sarjana terus menganggur dan jumlahnya
terus menumpuk tentu saja memiliki konsekuensi sosial yang sangat beragam.
Penumpukan sarjana menganggur akan menjadi sebuah bom waktu yang bisa meledak
kapan saja. Para sarjana itu sebenarnya adalah
aset bangsa yang perlu diberdayakan keberadaannya untuk mendukung kontinyuitas
pembangunan. Membiarkan para sarjana tersebut tanpa diberi akses untuk menyumbangkan
potensinya untuk kemajuan bangsa ini adalah kerugian yang besar.
Implikasi negatif yang paling menggelisahkan terhadap
akumulasi sarjana menganggur adalah berkembangnya kriminalitas yang diotaki
oleh pengangguran intelektual tersebut. Meski tidak ada data resmi mengenai
korelasi sarjana menganggur dengan kriminalitas intelektual, namun potensi
negatif dari sarjana menganggur diyakini ada. Meminimalisir aktualisasi potensi
kriminalitas intelektual oleh sarjana mengganggur jauh lebih baik dibandingkan
menunggu realitas merebaknya kejahatan intelektual yang diotaki oleh sarjana
menganggur.
Langkah komprehensif harus dilakukan untuk mengurangi
akumulasi sarjana menganggur. Perguruan tinggi, kementrian pendidikan nasional,
dunia usaha, dan individu sarjana harus bersinergi untuk mengurangi secara
kontinyu jumlah sarjana menganggur. Jika mengatasi sarjana menganggur secara
parsial, akan sulit mencari jalan keluar.
Paradoksi antara biaya pendidikan
mahal dengan sarjana menganggur memberi banyak pelajaran bagi masyarakat.
Pengorbanan biaya untuk meraih gelar sarjana tidak selalu paralel dengan
ekspektasi masyarakat tentang masa depan seorang sarjana. Kesuksesan seseorang,
termasuk sarjana, lebih banyak ditentukan oleh individu masing-masing, bukan
perguruan tinggi, pemerintah, dunia usaha. Sarjana bukan tiket satu-satunya
untuk meraih kesuksesan hidup. Banyak orang yang tidak sarjana juga bisa meraih
kesuksesan. Mestinya nilai tambah gelar kesarjanaan bagi seseorang dioptimalkan
untuk menciptakan peluang kerja, bukan justru menunggu pekerjaan.
Akhirnya, kita semua berharap jika
semua pihak yang bersentuhan dengan problema sarjana menganggur telah melakukan
sinergi untuk mencari solusi atas akumulasi sarjana menganggur, persoalan
sarjana menganggur bukan lagi ancaman namun potensi positif yang akan menjadi
kekuatan berarti menyukseskan pembangunan nasional. Semoga. (Wahyudi Oetomo)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar