Saat banyak anak muda
mulai mendambakan berprofesi sebagai guru, ada fenomena ”aneh” di kalangan
guru-guru senior, yaitu semakin meningkatnya guru yang mengajukan pensiun dini.
Di Jawa Timur saja ada sekitar 300-an guru pada bulan Maret hingga April 2015
mengajukan pensiun dini ke pemerintah. Kesempatan yang dibuka oleh KemenPAN-RB kepada PNS untuk mengajukan pensiun dini bagi
yang sudah memiliki masa kerja minimal 25 tahun, demi kepentingan efisiensi anggaran
dan kinerja birokrasi ternyata pada tataran implementasi tidak mudah dilakukan.
Dengan alasan di beberapa daerah masih kekurangan guru, maka pengajuan pensiun
dini oleh beberapa guru ditolak pemerintah, seperti di Jawa Timur.
Fenonema
pengajuan pensiun dini di kalangan guru sungguh pasti mengundang banyak tanya.
Saat kesejahteraan guru kian meningkat sejalan dengan diberlakukannya program
sertifikasi guru, ada yang aneh ketika para guru yang mengalami peningkatan
kesejahteraan itu lalu memilih untuk mengajukan pensiun dini. Ketika ada yang beralasan ingin berwirausaha
dengan modal hasil sertifikasi, rasanya alasan itu terlalu pragmatis dan sangat
merendahkan profesi guru karena profesi guru hanya dijadikan sarana untuk
mencari uang banyak, setelah terkumpul banyak lalu ditinggallah profesi itu.
Guru-guru
yang telah melewati masa kerja 25 tahun tentulah bukan guru yang kebetulan,
juga bukan guru-guru “instan”, guru-guru yang telah melewati masa kerja 25
tahun tentulah bukan guru-guru materialistis, karena pasti mereka berangkat
dari gaji kecil, dan mereka menjalaninya bertahun-tahun. Pasti akan sangat
menyakitkan bila guru-guru senior itu divonis hanya berorientasi materi ketika
menjadi seorang guru. Jika guru-guru itu materialistis tentulah tidak akan
meninggalkan profesi sebagai guru, apalagi mereka adalah guru yang sudah
sertifikasi. Dana sertfiifikasi yang
mereka terima tiap tiga bulan sekali adalah pendapatan pasti, belum tentu
jumlah nominal yang sama akan mereka peroleh bila beralih sebagai wirausahawan,
apalagi mereka belum punya pengalaman sebagai seorang wirausahawan.
Perlu
ada kajian dan penelitian yang shahih untuk menjawab secara pas mengapa banyak
guru senior lebih memilih mengajukan pensiun dini daripada terus menjadi
seorang guru dengan tunjangan sertifikasi. Kita semua mungkin sepakat bahwa
itikat pemerintah untuk memberikan tunjangan sertifikasi adalah sebagian cara
meningkatkan kesejahteraan guru, yang diharapkan dapat meningkatkan kinerjanya
dan lebih fokus menjalankan tugasnya. Namun, yang terjadi di lapangan justru kerap
membuat suasana di tempat kerja kurang kondusif. Jumlah jam mengajar minimal 24
jam seminggu sering menimbulkan konflik antar guru. Ada sebagian
guru harus mencari tambahan jam mengajar di sekolah yang lain, dan ini bagi
sebagian guru bukan kondisi yang nyaman. Mungkin saja ini menjadi salah satu
penyebab bagi sebagian guru memilih mengajukan pensiun dini daripada membuat
repot mereka.
Dugaan
penyebab yang lain fenomena pengajuan pensiun dini di kalangan guru adalah penerapan
penilaian kinerja guru (PKG). Penilaian kinerja guru bagi sebagian guru juga dianggap
merepotkan. Tahapan penilaian kinerja guru mulai dari tahap sebelum pengamatan,
selama pengamatan, hingga setelah pengamatan bagi beberapa guru yang tidak terbiasa diobservasi atau
disupervisi adalah momen yang menegangkan. Penilaian kinerja guru dilaksanakan
untuk mewujudkan guru yang profesional, namun bagi sebagian guru dianggap
menyulitkan guru. Integrasi antara PKG
dengan penghitungan nilai angka kredit guru atas kinerja pembelajaran,
pembimbingan, atau pelaksanaan tugas tambahan yang relevan untuk kenaikan
pangkat dan jabatan fungsionalnya telah membuat sebagian guru berfikir bahwa
untuk naik pangkat saja terlalu banyak prosedur yang harus dilalui oleh seorang
guru, lalu mereka akan membandingkan dengan pegawai negeri lain yang bisa naik
tanpa melalui prosedur yang rumit.
Saat
bertahun-tahun guru tidak merasa nyaman dengan apa yang dialami maka ketika ada
peluang untuk mengajukan pensiun dini maka kesempatan itu akan diambil. Jangan
katakan pada guru-guru yang mengajukan pensiun dini itu tidak punya idealisme.
Bila yang mengatakan itu adalah pejabat pemerintah di lingkungan Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan mestinya perlu introspeksi mengapa mulai banyak guru
merasa jenuh menjadi guru disaat guru memperoleh pendapatan yang lumayan besar.
Kerap guru harus
mengalah dengan sistem dan guru tidak punya keberanian untuk melawannya
meskipun bertentangan dengan idealismenya. Ini juga mungkin menjadi penyebab
mulai banyak guru mengajukan pensiun dini. Ada banyak guru yang tak mampu
mengelak dari tuntutan sistem karena resikonya terlalu besar jika melawan arus,
mereka akhirnya memilih patuh. Dengan dalih prestise sekolah dan tekanan
penguasa banyak guru terpaksa tunduk pada praktik “kotor” dalam pelaksanaan
ujian nasional. Ketika ada peluang untuk mengakhiri itu semua dengan cara
mengajukan pensiun dini, maka ditempuhlah jalan itu.
Jangan
buru-buru menuduh pada guru-guru yang mengajukan pensiun dini adalah guru-guru
yang tidak punya idealisme dan hanya berorientasi materi. Kita boleh memvonis
guru-guru tersebut tidak pantas menjadi guru bila terbukti alasan mereka
mengajukan pensiun dini karena ingin berwirausaha bermodalkan uang hasil
sertifikasi. Namun, bila bukan itu alasannya tapi karena jenuh dengan sistem
yang ada dan membuat mereka tidak bisa berkembang dalam karir dan jabatan,
serta karena tidak tahannya para guru itu
terhadap berbagai praktik kotor yang terjadi di sekitar lingkungan
kerjanya, maka ada yang perlu diperbaiki dengan sistem yang bersentuhan dengan
aktivitas guru sebagai sebuah profesi. Menuntut guru profesional dalam tugasnya
adalah kewajiban negara, namun membebani guru terlalu berlebihan dengan
tuntutan yang sulit dilaksanakan oleh guru juga tidak bijak. (Wahyudi Oetomo)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar