Perhatian pemerintah empat tahun terakhir ini terhadap
kesejahteraan guru sungguh luar biasa. Sebagai wujud amanat UU No. 14 Tahun 2005
tentang Guru dan Dosen, pemerintah memiliki tekad yang kuat untuk meningkatkan
kesejahteraan guru. Melalui program sertifikasi guru yang berimplikasi
diberikannya tunjangan profesi bagi guru yang telah lulus sertifikasi diyakini
akan memberikan korelasi positif terhadap peningkatan kualitas pendidikan
nasional.
Menurut
banyak pemerhati pendidikan, rendahnya mutu pendidikan nasional salah satu
penyebabnya adalah rendahnya tingkat kesejahteraan guru, sehingga banyak guru
memiliki profesi sampingan untuk memenuhi kebutuhan dapurnya, dan itu berdampak
kepada semakin rendahnya intensitas waktu untuk kegiatan keguruannya, misalnya
tidak sempat mengoreksi ulangan siswanya, atau tidak punya waktu untuk
menyiapkan rencana pembelajaran.
Saat
pemerintah belum memiliki kemampuan untuk memberikan tunjangan profesi kepada
semua guru, jadilah pemerintah memberikan tunjangan itu secara selektif dengan
memberi kesempatan kepada guru yang lebih lama masa kerjanya dan sudah sarjana
terlebih dahulu mengikuti program ini. Guru-guru
yang belum mengikuti program sertifikasi guru merasa diperlakukan
diskriminatif, padahal kinerja mereka tidak kalah dengan guru-guru yang sudah
mengikuti sertifikasi guru.
Perintah
rupanya responsif terhadap kegelisahan guru-guru yang belum mengikuti
sertifikasi guru, dengan dikeluarkannya Perpres no: 52 Tahun 2009 tentang
penetapan tambahan penghasilan bagi guru PNS yang belum mendapatkan tunjangan
profesi sebesar 250 ribu rupiah perbulan. Tambahan penghasilan bagi guru-guru yang belum
mengikuti sertifikasi guru akan memperkecil jurang pemisah besar penghasilan
antara guru yang sudah ikut sertifikasi dan yang belum mengikuti program
tersebut. Kecemburuan sosial terhadap guru-guru yang sudah disertifikasi
karena mendapat tunjangan profesi yang
belum dinikmati oleh guru lain akan diminimalisir saat guru-guru yang belum disertifikasi
mendapat tambahan penghasilan.
Saat
guru yang sudah lulus sertifikasi dan yang belum mengikuti sertifikasi telah
memperoleh tambahan penghasilan diharapkan akan membawa dampak peningkatan
kinerja profesional para guru di negeri ini. Pertanyaan terbesar saat ini,
apakah nilai milyaran rupiah yang dikeluarkan pemerintah dalam pemberian
tunjangan profesi dan tambahan penghasilan bagi guru yang belum mengikuti
sertifikasi telah dibayar dengan perubahan kinerja para guru dalam konteks
meningkatkan kualitas pendidikan nasional?
Perlu
ada penelitian yang sahih tentang korelasi peningkatan penghasilan guru
terhadap peningkatan profesionalismenya. Selama ini pemerintah menyandarkan
kebijakannya pada asumsi bahwa salah satu pilar peningkatan kualitas pendidikan
ada pada peningkatan kesejahteraan guru. Banyak pakar pendidikan yang
berpendapat bahwa lambatnya laju peningkatan kualtas pendidikan nasional karena
rendahnya penghasilan guru. Lalu, lahirlah UU No. 14 Tahun 2005 tentang Guru
dan Dosen, yang orientasi utamanya adalah meningkatkan kesejahteraan guru dan
dosen, yang diyakini akan berimplikasi positif terhadap peningkatan kualitas
pendidikan nasional.
Namun,
banyak fakta empirik di depan mata, guru-guru yang telah memperoleh tunjangan
profesi tidak menunjukkan peningkatan kinerja profesionalnya. Bahkan, banyak
yang justru makin melemah semangatnya, karena dianggap sertifikasi guru adalah
puncak karir seorang guru. Banyak guru,
pada saat menyusun portofolio, semua perangkat pembelajarannya lengkap, namun
setelah lulus sertifikasi tak pernah lagi membuat dan memperbaharui perangkat
pembelajarannya.
Jika
kontrol pasca sertifikasi guru tidak pernah dilakukan oleh pemerintah, dana
milyaran rupiah untuk program ini tidak akan berdampak signifikan terhadap
peningkatan kualitas pendidikan nasional. Mestinya, harus ada re-sertifikasi
dalam kurun waktu tertentu dengan tujuan menjaga kontinyuitas kinerja
profesional guru-guru yang telah disertifikasi. Karena jika tidak, kinerja
guru-guru yang telah disertifikasi akan terus melorot karena merasa posisinya
“aman”, dan akan selamanya menerima tunjangan profesi.
Lembaga
Penjaminan Mutu Pendidikan (LPMP) dapat menjadi institusi yang berwenang
melakukan pemantauan kinerja guru. Lembaga ini akan memantau kinerja guru yang
telah disertifikasi dan memperoleh tunjangan profesi apakah benar-benar
melaksanakan tugas dengan baik dan profesional. Inisiatif pemantauan kinerja
guru itu telah dimulai oleh LPMP Sumatera Utara, meski masih merasa berat
karena jumlah guru yang harus dipantau jumlahnya sangat banyak, demikian juga
rendahnya anggaran yang tersedia untuk pemantauan tersebut.
Setelah
kinerja guru yang telah disertifikasi dipantau dan dinilai kinerjanya, ternyata
dijumpai penurunan kinerja, misalnya mengajar kurang dari 24 jam pelajaran,
sering absen mengajar, maka perlu ada
sangsi yang tegas terhadap guru yang bersangkutan. Membekukan tunjangan
profesinya atau mencabut tunjangan tersebut. Sangsi terberatnya adalah mencabut
sertifikat profesinya karena tidak mereprentasikan seorang guru yang bergelar
guru profesional.
Pemberdayaan
lembaga pemantau kinerja guru bersertifikasi perlu dioptimalkan. Jika tidak ada
satu pun lembaga pemantau kinerja guru bersertifikasi maka diprediksi akan
berdampak terhadap penurunan kinerja profesional guru bersertifikasi.
Kekhawatiran penurunan kinerja profesional guru bersertifikasi sangat beralasan
karena ada keyakinan di benak guru bersertifikat guru profesional akan
seterusnya hingga pensiun menerima tunjangan profesi. Setelah lulus sertifikasi
banyak guru yang justru semakin menurun kinerjanya.
Jika
seorang guru telah memiliki kinerja yang baik sudah sewajarnya bila pemerintah
memberikan reward penghasilan yang memadai.
Jangan sampai guru yang memiliki kinerja buruk justru yang menikmati
penghasilan lebih, sedangkan yang memiliki kinerja bagus tidak menikmati tambahan
penghasilan tersebut.
Alokasi
dana milyaran rupiah yang dikeluarkan pemerintah jangan sampai tidak memiliki
korelasi positif dengan peningkatan kualitas pendidikan nasional. Komitmen
pemerintah untuk meningkatkan kualitas pendidikan nasional melalui peningkatan
kesejahteraan guru harus direspon positif oleh segenap guru. Terlalu mahal
biaya yang harus dibayar oleh pemerintah bila kinerja guru profesional hanya
biasa-biasa saja. Jika menurut hasil evaluasi yang dilakukan oleh pemerintah,
misalnya oleh LPMP, menunjukkan tidak ada korelasi positif antara program
sertifikasi guru dengan peningkatan kualitas pendidikan nasional, keberadaan
program sertifikasi guru perlu ditinjau ulang. Kalau ingin program sertifikasi
guru tetap dipertahankan perlu ada program re-sertifikasi secara periodik bagi
guru-guru yang telah disertifikasi untuk menjaga stabilitas kinerja
profesionalnya. (Wahyudi Oetomo)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar