Saat kurikulum pendidikan sebuah lembaga
pendidikan terlalu didikte oleh keinginan orang tua, sementara tuntatan dan
keinginan orang tua bertentangan dengan konsep kurikulum baku yang
terstandarisasi, maka lembaga pendidikan yang demikian tersebut telah menggadaikan esensi pendidikan yang benar dengan
“pemuasan” ambisi sebagian orang tua. Praktik penerapan materi membaca, menulis
dan berhitung (calistung) di Taman
Kanak-kanak (TK) secara terstruktur dalam kurikulum pendidikannya adalah contoh
bentuk pemaksaan lembaga pendidikan mengakomodasi ambisi orang tua meskipun
lembaga pendidikan itu tahu bahwa penerapan Calistung di TK secara terstruktur
tidak diperbolehkan.
Mengacu
pada surat edaran
Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar Dan Menengah Nomor
1839/C.C2/TU/2009 perihal penyelenggaraan pendidikan Taman Kanak-Kanak dan
Penerimaan Siswa Baru Sekolah Dasar, “ pengenalan
membaca, menulis dan berhitung (calistung) dilakukan melalui pendekatan yang
sesuai dengan tahap perkembangan anak. Oleh karena itu pendidikan di TK tidak
diperkenankan mengajarkan materi calistung secara langsung sebagai pembelajaran
sendiri-sendiri (fragmented) kepada anak-anak. Konteks pembelajaran
calistung di TK hendaknya dilakukan dalam kerangka pengembangan seluruh aspek tumbuh
kembang anak, dilakukan melalui pendekatan bermain, dan disesuaikan dengan
tugas perkembangan anak. Menciptakan lingkungan yang kaya dengan “keaksaraan“
akan lebih mamacu kesiapan anak untuk memulai kegiatan calistung.”
Fakta
empirik di lapangan, banyak sekolah TK menerapkan materi calistung melampui
bingkai yang dibenarkan dalam mengenalkan calistung. Standar pengajaran
calistung di TK yang hanya pengenalan banyak terdefiasi menjadi pembelajaran terstruktur.
Tidak dapat dipungkiri banyak orang tua ketika menyekolahkan anaknya ke TK
memiliki harapan anaknya segera bisa calistung, sebuah niat yang tidak sejalan
dengan standard kurikulum yang baku. Anehnya, penyelenggara TK pun mengamini
keinginan orang tua itu dan mengabaikan standard kurikulum yang seharusnya
diterapkan dalam kurikulum TK.
Mengajarkan calistung
di TK, tidak salah, selama berada pada koridor pengenalan melalui pendekatan
bermain dan disesuaikan dengan perkembangan anak. Membiarkan anak fase praoperasional (2-6 tahun), belajar
menggunakan bahasa dan menggambarkan objek dengan imajinasi dan kata-kata
melalui aktivitas bermain adalah pembelajaran yang sesuai dengan fase
perkembangan kognitif anak TK.
Memaksakan
anak TK untuk belajar calistung secara terstruktur kita bisa analogikan dengan
memaksa mangga yang dipetik sebelum matang kemudian kita karbit, pasti rasa
mangga yang matang karena karbit dengan yang matang secara alami di pohon akan
berbeda. Minimnya edukasi kepada orang tua tentang konsep pendidikan TK yang
benar membuat kondisi salah kaprah ini akan terus terjadi. Sekolah TK
“terpaksa” mengikuti selera orang tua karena mempertimbangkan nasib pengajar
dan eksistensi lembaganya. Ketika sebuah
TK tidak memenuhi selera orang tua, maka TK tersebut akan ditinggalkan
dan lama kelamaan TK tersebut akan tutup karena tidak memiliki murid.
Keinginan
orang tua terhadap kemampuan calistung anaknya di TK sering merupakan implikasi
dari sebuah sistem kebijakan di sekolah dasar (SD). Meski dilarang, ada
beberapa sekolah SD favorit menerapkan pola seleksi masuk dengan
menitikberatkan kemampuan calistung pada calon peserta didiknya. Kebijakan ini
jelas bertentangan dengan surat edaran Direktorat Jendral Manajemen Pendidikan
Dasar dan Menengah yang melarang adanya tes masuk bagi calon peserta didik di
SD.
Sebuah
fakta yang memperjelas bahwa terjadinya penyimpangan pembelajaran calistung di
TK tidak bisa berdiri sendiri namun adalah implikasi sistem pendidikan di
atasnya (SD) adalah kasus dikeluarkannya delapan
murid SD yang terletak di Kecamatan Cibalang Garut baru-baru
ini karena tidak bisa membaca. Terus,
tugasnya guru SD itu apa?
Mendikbud saat melakukan sosialisasi
Kurikulum 2013 di depan sekitar 350 rektor, pejabat Dinas Pendidikan, kepala sekolah,
dan guru se-Jawa Tengah, memerintahkan kepada Kepala Dinas Pendidikan untuk
melarang sekolah dasar melakukan tes calistung atau membaca, menulis, dan
berhitung saat masuk SD. Menurut Mendikbud, idealnya seorang siswa yang masuk
SD baru bisa membaca, menulis, dan berhitung, bukan diajarkan saat taman
kanak-kanak. Mendikbud mengatakan taman kanak-kanak seharusnya diisi
siswa untuk bersosialisasi, bukan untuk belajar calistung. "Taman
kanak-kanak itu bukan sekolah. Sebab, yang namanya sekolah adalah dimulai dari
SD, dan seterusnya," katanya. Oleh karena itu, kata M. Nuh (Mendikbud),
untuk mengurangi beban siswa dalam melakukan belajar, sebaiknya di TK tidak
diajarkan calistung, dan calistung diajarkan saat kelas 1 SD. "Dalam
Kurikulum 2013 beban siswa dalam belajar justru akan menjadi ringan,"
katanya.
Saat instruksi Menteri Pendidikan
tidak lagi menjadi acuan penyelenggaraan pendidikan di lapangan, maka praksis
pendidikan di negeri ini akan kacau. Dengan dalih mengikuti perkembangan zaman,
acuan penyelenggaraan pendidikan menjadi diacuhkan. Sekali lagi, di TK hanya
diperbolehkan pengenalan calistung, karena perkembangan kognitifnya hanya mampu
sebatas itu, bukan pembelajaran calistung terstruktur. Bila dijumpai peserta
didik yang memiliki kemampuan di atas rata-rata, bisa karena memiliki
kecerdasan lebih atau karena pengenalan lebih dini pembelajaran calistung oleh
orang tua di rumah, dan jumlahnya mungkin tidak banyak, tetap perlu ada perlakuan
khusus. Anak-anak berkemampuan lebih tersebut memerlukan bimbingan terpisah
agar pengenalan calistung bagi siswa yang lain tetap berjalan efektif.
Kontradiksi
pendapat tentang pengenalan calistung di TK mestinya tidak perlu diperdebatkan
lagi. Kita semua (Kemdikbud, TK dan orang tua) harus memegang teguh konsep pelaksanaan
pendidikan di TK yang menganut prinsip: ”Bermain
sambil Belajar dan Belajar seraya Bermain”. Memaksakan anak belajar
di luar kemampuan kognitifnya sama artinya memaksa mematangkan buah yang belum
waktunya. Biarlah anak tumbuh secara alami sesuai tahapan fase perkembangan
kognitifnya ! (Wahyudi Oetomo)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar