Sekulerisasi sekolah, adalah sepotong fragmen dari sekulerisasi
kurikulum pendidikan nasional. Artinya, apa yang terjadi di sekolah sebenarnya
adalah implementasi dari struktur kurikulum pendidikan nasional. Kurikulum
pendidikan kita secara faktual telah mendesain “sekulerisasi” di sekolah.
Minimalisasi pendidikan agama dalam struktur kurikulum pendidikan dasar hingga
pendidikan tinggi adalah fakta empirik upaya sekulerisasi sekolah.
Sekulerisasi
sekolah memiliki implikasi buruk terhadap segala upaya menanamkan nilai-nilai
keimanan dan ketaqwaan (imtaq), serta peningkatan budi pekerti siswa.
Infiltrasi budaya global yang menyerbu negara kita melalui teknologi informasi,
sebuah keniscayaan yang sulit untuk dicegah. Ada banyak budaya global yang
masuk ke negara kita jauh dari nilai-nilai agama dan budaya nasional.
Pornografi, konsumerisme, gaya hidup hedonisme, menyusup dengan cepat ke dalam
gaya hidup masyarakat Indonesia, termasuk remaja.
Berbagai
fakta penyimpangan sosial yang dilakukan oleh siswa, dianggap kegagalan sekolah
menanamkan nilai-nilai imtaq dan budi pekerti kepada peserta didik. Kegagalan penanaman nilai-nilai imtaq dan budi
pekerti, haruskah selalu disikapi dengan menambah alokasi waktu pelajaran agama
dan menambah pelajaran budi pekerti dalam kurikulum pendidikan nasional? Kritik
banyak pakar pendidikan bahwa kurikulum pendidikan nasional mulai dari tingkat
dasar sampai menengah terlalu padat, mestinya menyadarkan kita bahwa
kemungkinan menambah jam pelajaran agama dan memunculkan mata pelajaran budi
pekerti bukan pilihan yang tepat.
Yang
menjadi pertanyaan bagi kita, sudahkah kita mengoptimalkan jam pelajaran agama yang
ada dan mata pelajaran yang berpotensi menjadi pelajaran integratif materi budi pekerti? Menambah jam pelajaran agama
atau menambah mata pelajaran budi pekerti kelihatannya tidak mungkin dilakukan,
karena struktur kurikulum kita yang over
loud, kelebihan muatan. Optimalisasi pendekatan keagamaan dan budi pekerti
melalui mata pelajaran yang telah ada adalah cara terbaik mengimbangi fenomena
sekulerisasi dunia pendidikan.
Kelemahan
praksis pendidikan nasional yang lebih menekankan aspek kognitif dalam
evaluasi, menjadikan parameter kualitas out
come pendidikan hanya berpijak pada sisi kecerdasan kognitif (Intellectual
Quotient—IQ) . Banyak guru lupa bahwa ada tugas membentuk kecerdasan
emosional ( Emotional Quotient –EQ) dan
kecerdasan spiritual (Spiritual Quotient—SQ)
pada peserta didiknya. Ketiga macam
kecerdasan manusia itu harus semuanya diasah, sehingga tumbuh pribadi-pribadi
yang adaptif terhadap berbagai situasi. Sekolah diharapkan menjadi tempat
tumbuhnya pribadi-pribadi yang cerdas intelektual, emosional, dan spiritual.
Menanamkan
kecerdasan intelektual, emosional, dan spiritual tidak cukup hanya dengan
penjelasan verbal. Ide memunculkan pelajaran budi pekerti, akan bernasib sama
dengan pelajaran lain yang hanya berisi teori-teori dan miskin implementasi.
Sekulerisasi pendidikan hanya bisa diminimalisasi dengan pembelajaran yang
berorientasi pada implementasi nilai-nilai agama dan budi pekerti. Semua guru
mata pelajaran harus secara simultan dan sinergis mengintegrasikan nilai-nilai
agama dan budi pekerti pada mata pelajarannya masing-masing.
Penanaman
nilai-nilai imtaq dan budi pekerti bukan hanya tanggung jawab guru agama, PKN,
atau Bahasa Indonesia, namun semua guru harus menyisihkan waktu untuk
menyisipkan nilai-nilai imtaq dan budi pekerti kepada peserta didiknya. Tanamkan
nilai-nilai imtaq dan budi pekerti dengan tauladan dan pembelajaran pengalaman
langsung. Satu contoh riel aplikasi nilai-nilai imtaq dan budi pekerti akan
lebih bermakna daripada seribu kata-kata. Anak-anak dan remaja sekarang akan
lebih memperhatikan tauladan daripada sekedar penjelasan verbal.
Memang,
idealisme sering tak paralel dengan kenyataan. Mengimplementasikan penanaman
nilai-nilai imtaq dan budi pekerti di kelas kadang harus berbenturan dengan
kebijakan kurikulum pendidikan yang menerapkan pencapaian target kurikulum.
Guru diharuskan menyelesaikan materi sesuai program yang telah disusun. Dan,
ini dapat menjadi alasan guru untuk menolak menyisipkan penanaman nilai-nilai
imtaq dan budi pekerti, dengan alasan takut target kurikulum yang harus
diselesaikan tidak tercapai.
Perlu
adanya kesamaan visi antara guru, kepala sekolah, dan pengawas sekolah dalam
menerapkan integrasi imtaq dan budi pekerti ke dalam semua mata pelajaran. Hal
ini bertujuan untuk menghindari perbedaan persepsi terhadap integrasi imtaq dan
budi pekerti dalam mata pelajaran, khususnya ketika dilakukan supervisi oleh
kepala sekolah atau pengawas sekolah, sehingga guru tidak dianggap melenceng
dari skenario pembelajaran saat menyisipkan materi imtaq atau budi pekerti.
Paradigma
pendidikan nasional yang meletakkan nilai UNAS sebagai komponen sangat penting
dalam penentuan keberhasilan siswa menenpuh pendidikan di tingkat satuan
pendidikan turut memberi andil memperbesar dampak sekulerisasi pendidikan.
Praktek kecurangan UNAS di banyak sekolah dapat mementahkan upaya penanaman
nilai ketaqwaan, kejujuran, dan budi pekerti. Untuk mengejar target kelulusan
maksimal, sekolah melakukan penambahan jam pelajaran, dan optimalisasi materi
pelajaran sehingga guru lupa melakukankan tugas mendidik dan membangun karakter
peserta didiknya.
Jika
kebijakan pendidikan nasional telah menciptakan sekulerisasi pendidikan,
sekolah masih memiliki peluang untuk tetap dapat membentuk karakter peserta
didik yang beriman, bertaqwa, dan berbudi pekerti melalui kebijakan lokal tingkat
satuan pendidikan. Untuk menanamkan nilai budi pekerti tidak harus membentuk
pelajaran budi pekerti. Menanamkan nilai budi pekerti bisa dimulai dari
penyambutan siswa masuk sekolah dengan cium tangan pada guru, sehingga tumbuh
rasa hormat pada guru.
Spiritualisasi
pendidikan adalah cara lain mengimbangi gejala sekulerisasi pendidikan. Peserta
didik selalu ditanamkan kesadarannya bahwa setiap kerja manusia termasuk
menuntut ilmu memiliki nilai dan implikasi ketuhanan. Siswa disadarkan akan pentingnya “asal dan
orientasi akhir” dari perjalanan pendidikan dan kehidupan, sehingga melahirkan
konsep berpikir yang lebih spiritual bukan hanya materi.
Degradasi
imtaq dan budi pekerti yang terjadi pada peserta didik sebagai imbas sekulerisasi
sekolah tidak dapat ditangani secara parsial, pihak sekolah semata (ansich). Pembentukan nilai-nilai imtaq
dan budi pekerti juga harus dilakukan di rumah. Konsistensi antara penanaman
nilai di sekolah dengan di rumah harus selalu terjaga. Karena jika salah satu
pihak, baik sekolah maupun rumah, ada yang tidak konsisten dalam menanamkan
nilai-nilai imtaq dan budi pekerti maka usaha sekeras apapun untuk menciptakan
pribadi yang beriman, bertaqwa, dan berbudi pekerti yang baik, akan sia-sia
belaka. (Wahyudi Oetomo)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar