Di
manakah kini Pancasila berada? Pancasila telah hilang? Maraknya radikalisme dan kekerasan atas nama suku,
agama, ras, budaya dan kian kronisnya korupsi diyakini oleh sebagian orang
diakibatkan oleh kian dilupakannya Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara .
Orde
reformasi, memunculkan euforia pada saat itu, dan simbol-simbol orde baru
dianggap sebagai bahaya laten yang mesti dikubur dalam-dalam, dan Pancasila
ikut dipinggirkan dalam dialektika kehidupan berbangsa. Pancasila pun dalam
pendidikan nasional dikikis keberadaannya. Pendidikan Moral Pancasila (PMP),
sebagai sebuah mata pelajaran berubah nama menjadi Pendidikan Kewarganegaraan
(PKN) tanpa ada embel-embel Pancasila-nya.
Namun, saat reformasi tak mampu
memenuhi obsesi sebagian besar masyarakat berupa kesejahteraan dan keamanan,
kini banyak orang merindukan masa-masa ketika masa orde baru. Masyarakat
semakin muak dengan tontonan kekerasan di media massa berbalut ras, suku,
agama, dan budaya. Degradasi nilai-nilai karakter bangsa telah demikian tajam
menggejala di sebagian besar masyarakat kita. Tengok saja tayangan televisi, bentrok antar
kampung, peperangan antar suku, tawuran antar pelajar, tawuran antar mahasiswa,
pengeboman tempat ibadah, saling hujat antar elit politik, dan kasus korupsi menjadi
menu yang tak pernah sepi di layar kaca.
Lalu kemanakah karakter asli bangsa
ini? Karakter penduduk Indonesia yang berbudi pekerti luhur, suka menolong,
ramah-tamah, sopan-santun, toleransi, dan agamis telah ditelan bumi? Membiarkan negeri ini terus-menerus dalam
kondisi kehilangan karakter aslinya ini akan membuat negeri ini kian terpuruk,
bahkan bisa jadi negeri ini akan tercerai-berai. Harus ada gerakan massif untuk
menumbuhkan kembali karakter asli bangsa ini yang mulai hilang tergerus oleh
pusaran arus zaman.
Dalam kurikulum pendidikan saat ini
gencar disosialisasikan penyisipan (integrasi) karakter bangsa pada seluruh
mata pelajaran di sekolah. Dunia pendidikan masih dipandang sebagai medium
paling efektif untuk menumbuhkan kembali karakter bangsa yang perlahan tapi
pasti mulai hilang dalam relung hati penduduk negeri ini. Lalu, apakah cara
reaktualisasi karakter bangsa cukup efektif lewat integrasi pada seluruh mata
pelajaran yang diajarkan mulai pendidikan dasar hingga menengah atas?
Kenapa tidak memilih cara menghidupkan kembali nilai-nilai
budaya bangsa lewat mengembalikan format pendidikan kewarganegaraan ke
pendidikan moral Pancasila? Menurut survey Biro Pusat Statistik (BPS) sekitar
80 persen masyarakat melihat Pancasila sebagai sesuatu yang dibutuhkan dan
masyarakat menyadari Pancasila merupakan pilar kehidupan berbangsa dan
bernegara. Mantan Presiden BJ. Habibie, dalam pidato Peringatan Hari Pancasila
di Jakarta, (1 Juni 2011) sepakat
jika akhirnya pemerintah mengembalikan
Pancasila ke sekolah.
Bagaimana format yang pas mengembalikan Pancasila ke sekolah
terserah Kementerian Pendidikan Nasional (Kemendiknas). Bisa mengembalikan
pelajaran kewarganegaraan menjadi PMP, bisa juga diintegrasikan kepada mata
pelajaran yang ada, atau dalam bentuk muatan lokal. Harus ada kajian yang
betul-betul dalam mengenai format penyajian pendidikan pancasila dalam semua
jenjang pendidikan. Karena jika tidak, penanaman nilai-nilai pancasila hanya
akan menjadi teori-teori verbal yang tidak pernah bersemayam dalam jiwa peserta
didik.
Pendidikan Moral Pancasila (PMP) dan penataran P4 (Pedoman
Penghayatan dan Pengamalan Pancasila), tereleminasi dalam konten pendidikan
nasional di era reformasi karena dipandang sebagai bagian simbol orde baru.
Untung saja setiap upacara bendera hari senin, teks Pancasila masih
dikumandangkan, sehingga anak-anak kita masih mendengar kata Pancasila dan
sila-silanya. Saat orde reformasi tak mampu mewujudkan mimpi banyak rakyat akan
kesejahteraan dan keamanan, banyak orang merindukan masa-masa orde baru,
termasuk sebagian orang menginginkan agar Pancasila kembali diajarkan di
sekolah. Keinginan itu didasarkan pada fakta kian hilangnya karakter asli
bangsa ini tergerus pusaran waktu dan gempuran budaya asing.
Saat bangsa ini mulai kehilangan karakter aslinya
Kemendiknas secara gencar mensosialisasi pengintegrasian nilai-nilai karakter
bangsa dalam semua mata pelajaran di semua jenjang pendidikan. Kurikulum
pendidikan kita sering diwarnai munculnya program dadakan yang tidak terkonsep secara matang dan instan. Beberapa tahun
silam pernah ada program integrasi imtaq dalam semua mata pelajaran, kini
program itu nyaris tak berbekas. Jika program integrasi nilai-nilai karakter bangsa dalam semua mata
pelajaran dilakukan tanpa konsep yang jelas dan terencana nasibnya akan sama dengan
program-program sebelumnya yang hilang tak berbekas.
Kurikulum pendidikan dasar hingga menengah menurut banyak
pengamat dipandang terlalu padat. Memasukkan pelajaran nilai-nilai Pancasila
dalam kurikulum yang sudah ada rasanya mustahil, kasihan anak-anak kita yang
terlalu banyak pelajaran yang harus dipelajari. Mengintegrasikan dengan
pelajaran kewarganegaraan seperti jaman PMP adalah alternatif yang mungkin bisa
dipilih. Atau menyempurnakan integrasi karakter bangsa menjadi integrasi
nilai-nilai Pancasila dalam pelajaran yang sudah ada rasanya lebih realistis.
Kunci keberhasilan penanaman nilai-nilai termasuk
nilai-nilai Pancasila di sekolah adalah pembelajaran kontekstual dan pengalaman
nyata. Peserta didik perlu contoh tindakan nyata, bukan teori-teori verbal yang
tidak ada faktanya. Sekolah adalah miniatur masyarakat nyata yang mesti
konsisten dengan dunia di luar sekolah. Saat peserta didik di sekolah diajarkan
budaya antri melalui pengalaman langsung, namun saat di luar sekolah mereka
tidak menyaksikan budaya tersebut diterapkan oleh sebagian besar masyarakat,
maka penilaian nilai-nilai di sekolah akan menjadi sia-sia.
Akhirnya, penulis berharap keinginan untuk mengembalikan
pendidikan Pancasila di sekolah oleh sebagian masyarakat, dikaji secara dalam
oleh Kemendiknas. Jangan sampai saat program itu diluncurkan ada kontroversi
yang berkembang di masyarakat sehingga program itu tidak efektif dan
ujung-ujungnya dihentikan. Kita semua masih berharap negeri ini tetap tegak
kokoh dengan karakter aslinya, jika itu bisa diwujudkan dengan mengembalikan
Pancasila ke sekolah, mengapa tidak? Semoga. (Wahyudi Oetomo)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar