Sebagai sebuah produk budaya, bahasa Madura dan entitas didalamnya
termasuk sastra Madura adalah sebuah kekayaan daerah yang harus dijaga
kelestariannya. Ada
kekhawatiran yang kian hari makin membesar, saat jembatan Suramadu (Surabaya-Madura)
selesai dibangun, nasib bahasa Madura akan terpinggirkan.
Lalu, apa peran sekolah ikut menjaga
eksistensi bahasa Madura? Pada konteks di pulau Madura, di empat kabupaten (Bangkalan,
Sampang, Pamekasan, dan Sumenep), pelajaran bahasa Madura diajarkan pada
tingkat Sekolah Dasar (SD) sampai Sekolah Menengah Pertama (SMP). Dan, sekolah
berperan besar ikut melestarikan bahasa Madura , meski ada banyak
kekurangan dalam proses pembelajarannya.
Sebuah
tantangan besar bagi sekolah untuk berperan lebih besar melestarikan bahasa dan
budaya Madura. Bahasa Madura, saat ini digunakan oleh sekitar 14 juta orang sebagai bahasa sehari-hari(wikipedia), baik oleh penduduk yang tinggal di pulau Madura
maupun di luar pulau Madura (beberapa kabupaten wilayah pesisir
Pasuruan sampai Banyuwangi dan
Kalimantan). Namun, besarnya
angka pemakai bahasa Madura tidak diimbangi dengan upaya serius melestarikan
bahasa Madura. Mengapa tidak serius?
Ada
sebuah fakta yang mengagetkan, cerita seorang teman guru, ada sebuah sekolah
yang guru bahasa Madura-nya bukan orang Madura asli, guru pendatang dari pulau
Jawa. Mengapa fakta itu terjadi ? Ada beberapa kemungkinan penyebabnya :
pertama, di sekolah itu semua gurunya adalah guru pendatang dari pulau Jawa
sehingga secara otomatis guru pengajar bahasa Madura, mau tidak mau, harus
diajar oleh guru yang bukan penduduk asli, mungkin sekedar menggugurkan
kewajiban meski tidak dibekali dengan kemampuan yang cukup tentang bahasa Madura;
kemungkinan yang kedua adalah guru tersebut adalah guru pendatang dari Jawa
yang sudah lama mengajar di Madura, dan sudah fasih berbahasa Madura, dan
dipandang oleh kepala sekolahnya mampu mengajar bahasa Madura.
Memang,
pelajaran bahasa Inggris tidak harus diajarkan oleh orang Inggris. Namun, bila
kemampuan berbahasa Madura saja lemah, kemudian mengajar bahasa Madura, bisa
dipastikan materi pelajaran yang disampaikan hanya sekedar teori. Akhirnya, kita semua memaklumi dengan
pepatah ” tidak ada rotan akar pun jadi”.
Satu
problema, yang barangkali tidak dihadapi dalam pengembangan bahasa Jawa adalah
tidak adanya lembaga keguruan yang memiliki jurusan bahasa Madura. Lembaga keguruan
yang memiliki fakultas pendidikan bahasa dan sastra, seperti Universitas Negeri
Surabaya (UNESA), hanya memiliki jurusan bahasa Jawa. Termasuk perguruan tinggi
yang ada di Madura tidak ada satu pun yang membuka jurusan bahasa Madura.
Keberadaan
lembaga keguruan bagi pengembangan bahasa Madura sangat penting. Lembaga
sekolah sebagai salah pintu masuk untuk melestarikan bahasa dan sastra Madura
tidak bisa dilepaskan dari peran lembaga keguruan dalam mencetak guru bahasa Madura.
Peran sentral guru di sekolah dalam memainkan peran pengajaran bahasa dan
sastra Madura mengharuskan ada sebuah lembaga yang memproduk guru bahasa Madura.
Guru bahasa Madura tidak cukup hanya dicetak secara otodidak, tanpa dibekali
kompetensi yang cukup tentang bahasa Madura.
Fakta
yang terjadi di sekolah-sekolah, banyak guru bahasa Madura yang berangkat dari
keterpaksaan, karena ketidaksesuaian latar belakang pendidikannya dengan
pelajaran yang diajarkan, dan banyak guru lain yang tidak bersedia mengajar
pelajaran bahasa Madura. Bila situasi ini selamanya terjadi di dunia pendidikan
kita, khususnya di wilayah yang mayoritas bahasa yang digunakan adalah bahasa Madura
maka perlahan-lahan pembelajaran bahasa Madura akan semakin tidak bermutu dan
murid juga mempelajarinya dengan terpaksa .
Beruntung
masih ada segelintir orang Madura yang masih perduli dengan pengembangan bahasa
dan sastra Madura. Orang-orang seperti M. Dradjid, B.A., Abd. Rachem, dan R.P.
Abd. Sukur Notoasmoro adalah sedikit orang yang masih punya kepedulian ikut
menjaga kelestarian bahasa Madura dengan menyusun buku pelajaran bahasa Madura.
Dan, untungnya lagi ada penerbit yang mau mencetak buku pelajaran bahasa Madura.
Peran
pemerintah dalam pengembangan dan pelestarian bahasa Madura di sekolah tidak
cukup hanya dengan menerbitkan kurikulum
atau GBPP (Garis-garis Besar Program Pengajaran) bahasa Madura, namun
juga memfasilitasi Lembaga Pendidikan Tinggi dan Keguruan (LPTK) untuk membuka
jurusan pendidikan bahasa dan sastra Madura.
Rendahnya
kompetensi guru bahasa Madura menjadi penyebab rendahnya minat belajar siswa
terhadap pelajaran bahasa Madura. Untuk mencetak guru bahasa Madura yang
memiliki kompetensi tinggi memerlukan institusi formal, seperti LPTK. Tidak
cukup untuk mencetak guru bahasa Madura yang berkualitas dengan otodidak, disediakan buku pegangan, dan
diikutkan MGMP (Musyawarah Guru Mata Pelajaran).
Selagi
lembaga formal pencetak guru bahasa Madura belum ada, apa yang harus diperbuat
oleh guru bahasa Madura yang dicetak secara otodidak itu? Hanya satu, terus
berusaha untuk mencintai bahasa Madura sebagai salah satu kebanggaan budaya
lokal. Juga selalu berusaha meningkatkan kompetensi diri sehingga selalu
menemukan metode-metode menarik untuk mengajarkan bahasa Madura dan menjadi
pelajaran yang dicintai oleh semua murid-muridnya.
Akhirnya,
kita semua berharap kehadiran jembatan Suramadu tidak akan memarjinalkan bahasa
lokal, bahasa Madura. Peran penting dunia sekolah ikut menjaga kelestarian
bahasa Madura perlu di dukung oleh pemerintah dan masyarakat. Jangan sampai generasi baru yang lahir pasca
selesainya jembatan Suramadu hanya mampu berbahasa Indonesia dan tidak mampu berbicara bahasa Madura.
Semoga tidak terjadi ! (Wahyudi Oetomo)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar