Setiap
orang cenderung memiliki kebutuhan mengidolakan
figur orang lain sebagai patron hidup, atau bahkan menjadi motivasi
ekstrinsik yang luar biasa pengaruhnya. Figur itu bisa seorang tokoh agama, olahragawan, penyair, ilmuwan,
negarawan, pengusaha, atau artis. Saat ada program televisi yang menayangkan
tokoh idola masyarakat, misalnya artis, maka sebagian besar perhatian
masyarakat tersedot untuk mengikuti setiap aktivitas sang idola. Jadilah
tayangan infotainment menjadi idola
sebagian masyarakat Indonesia, khususnya remaja.
Tergila-gilanya remaja terhadap
tayangan infotainment menjadi indikasi bahwa figur idola remaja didominasi oleh
figur artis. Tokoh-tokoh non artis mulai kehilangan tempat di hati para remaja,
dan menempatkan artis sebagai figur panutan. Padahal banyak artis prilakunya
tidak layak dijadikan panutan. Tokoh-tokoh ilmuwan, menteri, atlet, atau remaja
dan pelajar berprestasi sangat jarang menjadi figur idola remaja. Sangatlah
wajar bila sumber informasi yang mengupas kehidupan tokoh idola, baik berupa
media cetak atau elektronik, akan banyak diburu remaja dan masyarakat pada
umumnya. Seorang penggemar atau fans tokoh tertentu akan mati-matian memburu
informasi yang mengupas berbagai sisi kehidupan sang tokoh idola.
Menjamurnya
acara infotainment di televisi tidak terlepas dari hukum pasar, ada permintaan
ada penawaran. Rasanya sulit untuk menghilangkan sama sekali tayangan infotainment selama masyarakat masih menyukainya. Jika ada
penelitian yang sahih bahwa infotainment memiliki pengaruh buruk terhadap
perkembangan mental remaja dan masyarakat keseluruhan, maka akan menjadi dasar
yang kuat untuk menghentikan tayangan infotainment. Jika tidak, sangatlah sulit
untuk menghapuskan sama sekali tayangan infotaintmen.
Masyarakat kita begitu menggilai infotainment
adalah cerminan masyarakat kita belum cukup cerdas memilih tontonan. Masyarakat
kita lebih tertarik pada intrik-intrik seputar selebritis daripada menyaksikan
tayangan-tayangan yang bermuatan tuntunan, seperti Rahasia Sunnah, Kick Andy,
atau Mario Teguh Golden Ways. Infotainment
lebih banyak mengajari masyarakat menggunjing privasi orang lain (ghibah).
Wacana pelibatan Lembaga Sensor
untuk membatasi konten infotainment memang masih pro dan kontra. Namun,
penertiban dan pengawasan program infotainment di televisi rasanya memang sudah
dibutuhkan. Ada yang berpendapat bahwa infotainment bukanlah sebuah karya
jurnalistik faktual semata, sehingga perlu ada sensor terhadap konten yang
disajikan. Sering infotainment memuat opini yang tidak berdasar pada fakta,
sehingga sang artis merasa tayangan infotainment sebagai fitnah. Masyarakat pun
tidak memiliki kemampuan menyaring
apakah tayangan infotainment berangkat dari fakta atau sekedar opini.
Masyarakat sering menyimpulkan secara spontan, bahwa materi tayangan infotainment
adalah realita empirik yang dialami oleh sang artis. Dan ini bila sering
dilakukan oleh infotainment, maka masyarakat selalu akan dijejali dengan
tayangan-tayangan “bohong”.
Penolakan berbagai elemen masyarakat
terhadap tayangan infotainment belum sepenuhnya merepresentasi keinginan sebagian
besar masyarakat. Termasuk saat Majelis Ulama Indonesia (MUI) dengan tegas
mengeluarkan fatwa bahwa tayangan infotainment adalah haram. Faktanya, sebagian
besar masyarakat masih menggilai acara infotainment. Jika benar tayangan infotainment
itu menjadi tayangan yang membodohi dan membius masyarakat dengan kehidupan
hedonisme yang glamour ala selebritis pasti akan menimbulkan ekses negatif di
masyarakat, khususnya para remaja. Remaja akan memiliki kecenderungan melakupan
duplikasi kehidupan sang idola dalam kehidupannya. Mulai dari penampilan,
sampai cara hidup sang idola akan mati-matian ditiru para remaja. Remaja kita
akan menjadi terbiasa berkhayal, dan lupa dengan kehidupan nyata.
Anak-anak dan remaja adalah aset
penting bagi sebuah bangsa, yang akan memberi warna di masa depan. Jika
anak-anak dan remaja tumbuh dan berkembang dalam atmosfir lingkungan yang tidak
edukatif, kelak kita akan mendapati mereka dalam keadaaan tidak memiliki
jatidiri dan karakter individu yang ideal. Remaja dan anak-anak kita kelak akan
menjadi manusia dewasa yang selalu tidak
percaya diri.
Selama pemerintah tidak pernah
secara tegas melarang tayangan infotainment, maka kita akan tetap mendapatkan
kenyataan bahwa tayangan itu akan terus
menjadi sajian favorit banyak orang. Jika pemerintah tidak dapat menghentikan
semua tayangan infotainment karena tidak memiliki alasan yang kuat untuk
melakukannya maka pemerintah perlu menerbitkan regulasi untuk memberi
rambu-rambu tayangan infotainment yang konstrukstif, bukan yang membodohi
masyarakat. Pemerintah bisa mewadahi keinginan Komisi
Penyiaran Indonesia (KPI) untuk menyensor tayangan infotainment dalam bentuk
menyusun regulasi tentang lembaga sensor
infotainment. Masyarakat harus dilindungi dari tayangan televisi yang tidak
mendidik.
Selain itu, perlu juga dilakukan
kajian mengapa masyarakat kita termasuk remajanya menggilai tayangan infotainment.
Apakah masyarakat kita terlalu jenuh dengan persoalan hidup yang dijumpai
sehari-hari, sehingga mereka memerlukan sarana untuk mengurangi kejenuhan itu
dengan menyaksikan tayangan yang menampilkan sosok-sosok cantik dan tampan?
Ataukah, ini kegagalan dunia pendidikan mencerdaskan bangsa ini secara
keseluruhan, sehingga masyarakat kita masih menyukai tontonan yang tidak
mencerdaskan?
Jangan sampai pemerintah membuat
regulasi pembatasan tayangan infotainment namun tetap membiarkan masyarakat
tidak cerdas memilih tontonan. Adalah tugas kita semua mencerdaskan masyarakat
agar lebih selektif memilih program televisi. Dunia pendidikan yang tengah
gencar mensosialisasi pendidikan karakter, dapat memainkan peran yang sentral
dalam mencerdaskan para remaja, dan tidak terjebak pada budaya populis yang
sering manipulatif, dan menipu. Penyadaran akan pentingnya menanamkan kesadaran
beragama yang lebih intens dalam dinamika remaja adalah tanggung jawab semua
pihak (guru, orang tua, juga pemerintah). Bila karakter asli bangsa telah
kembali, yakni cinta Tuhan dan kebenaran, jujur, suka menolong, empati, kasing
sayang, adil, dan menjunjung tinggi nilai kemanusian, maka secara alami
tontonan-tontonan yang tidak mendidik akan ditinggalkan oleh masyarakat.
Namun, hanya membiarkan masyarakat
secara bebas menentukan tayangan yang harus ditonton tanpa dibekali dengan
upaya pencerdasan masyarakat, rasanya seperti membiarkan seekor kancil
sekandang dengan srigala. Sang kancil yang cerdas hanya punya satu pilihan,
yaitu diterkam sang srigala. Jangan
biarkan tayangan infotainment “menerkam”
remaja dan anak-anak kita !
(Wahyudi Oetomo)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar