Semua anak di
negeri ini adalah asset bangsa ini
kelak di masa depan. Dan semuanya pasti sepakat bahwa seluruh anak di negeri
ini harus tumbuh secara wajar dan sehat, secara fisik dan mental. Tak ada satu
pun orang tua yang rela membiarkan anak-anaknya turut bertanggung jawab
terhadap kebutuhan keluarga. Meski pada akhirnya sebagian orang tua “terpaksa”
membiarkan anak-anak mereka turut membantu ekonomi keluarga karena
ketidakmampuan orang tua memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga.
Pekerja
anak (child labour), merujuk pada
pekerja di bawah usia 18 tahun. Pekerja
anak tumbuh karena ketidakmampuan orang tua memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga
. Sebagian besar tumbuhnya pekerja anak karena faktor kemiskinan. Semakin besar
jumlah pekerja anak di negeri ini. maka bisa menjadi indikasi bahwa angka kemiskinan di negeri ini juga tinggi. Menurut
data Komisi Nasional Perlindungan Anak, jumlah pekerja anak di Indonesia pada
tahun 2010 sekitar 3,5 juta anak, sedangkan menurut data BPS ada sekitar 4 juta
anak usia 7 sampai dengan 18 tahum terpaksa bekerja untuk memenuhi kebutuhan
ekonomi keluarganya. Anak-anak pekerja tersebut terdapat diseluruh wilayah
Indonesia, tersebar di daerah yang menjadi tempat pekerja seperti pelabuhan,
industri, pertambangan, perkebunan, dan rumah tangga.
Jika
angka kemiskinan di negeri ini terus meningkat, maka upaya untuk mengurangi
atau bahkan menghapus pekerja anak sangat sulit dilakukan (kalau tidak mau
dikatakan mustahil). Tugas mengurangi dan menghapus pekerja anak secara formal memang ada pada pemerintah,
namun bila tidak didukung oleh pihak lain yang bersentuhan dengan persoalan
pekerja anak, maka usaha ini akan sangat berat bagi pemerintah.
Pada tahun 2011 ini, pemerintah
menargetkan sebanyak 3.360 pekerja anak dapat ditarik dari tempat kerjanya. Menakertrans
Muhaimin Iskandar dalam Rapat Kerja dengan Komisi IX DPR RI mengatakan: "Saya
menyatakan warning kepada perusahaan
dan orang tua yang memperkerjakan anak. Itu peringatan yang tegas, kami
peringatkan sekali lagi, siapa saja yang
melanggar akan segera ditindak sesuai hukum yang berlaku.”
Menurut Menakertrans, pemerintah
berkomitmen untuk menghapus pekerja anak. Komitmen ini terlihat dengan
diratifikasinya kedua Konvensi ILO (Organisasi Buruh Internasional) Nomor 138
mengenai Usia Minimum untuk diperbolehkan Bekerja dan Nomor 182 mengenai
Pelarangan dan Tindakan segera penghapusan Bentuk-bentuk Pekerjaan Terburuk
untuk Anak. Selain itu isi substansi tehnis kedua Konvensi ILO terdapat pada
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Oleh karena itu, para pelanggar bisa dijerat
Undang-undang Ketenagakerjaan (UU No. 13 Tahun 2003) dan UU tentang Ratifikasi
Konvensi ILO pada Pekerjaan terburuk untuk anak (UU No.20 Tahun 1999 dan UU No
1. Tahun 2000) atau UU Kekerasan Dalam Rumah Tangga.
Lalu, apakah sekedar memberikan warning kepada perusahan dan orang tua
dengan ancaman hukuman yang berat persoalan pekerja anak dengan mudah dapat
diselesaikan? Jika tumbuhnya pekerja anak hanya sekedar mengeksploitasi anak
untuk memperoleh kepentingan ekonomi, karena upah pekerja anak jauh lebih murah dari pekerja dewasa, maka memberantas
pekerja anak akan mudah dilakukan. Tapi, jika tumbuhnya pekerja anak karena
tuntutan pemenuhan kebutuhan perut, maka persoalan pekerja anak tidak cukup
diselesaikan dengan cara memberikan peringatan dan ancaman kepada perusahaan
dan orang tua yang mendorong praktik pekerja anak.
Saat orang tua tidak punya pilihan
untuk memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga selain memperkerjakan anak adalah
memperdagangkan anak (Child trafficking). Kedua bentuk eksploitasi anak tersebut semestinya memang harus
dihentikan. Alasan kemiskinan bukan pembenaran untuk mengeksploitasi anak,
sehingga masa depannya akan gelap, terutama karena anak-anak tersebut tidak
punya kesempatan untuk mengenyam pendidikan yang baik.
Melakukan penyadaran mengenai
pentingnya memberikan ruang tumbuh dan berkembang bagi anak secara sehat dan
wajar, kepada orang tua yang berasal dari keluarga miskin harus senantiasa
dilakukan oleh pemerintah melalui dinas terkait, atau oleh lembaga swadaya
masyarakat, agar anak tumbuh menjadi pribadi yang sehat, mandiri, dan trampil
tanpa harus menjadi pekerja anak.
Upaya penting mengurangi semakin
meningkatnya jumlah pekerja anak di negeri ini adalah melalui sentuhan dunia
pendidikan. Dunia sekolah melalui guru dapat secara intens memberikan pemahaman
khususnya kepada peserta didik yang berasal dari keluarga tidak mampu agar
selalu tetap memelihara semangat untuk bersekolah. Sekolah harus selalu
mengupayakan agar peserta didik tidak putus sekolah, terutama karena alasan
ketidakmampuan membayar biaya sekolah.
Penanaman
kesadaran kepada orang tua agar tidak memaksakan anak turut menanggung beban
ekonomi keluarga harus dilakukan secara intens lewat penyuluhan secara berkala
di kantong-kantong kemiskinan, ini bisa dilakukan oleh pemerintah melalui dinas
sosial, atau oleh komisi perlindungan anak. Pelibatan lembaga swadaya
masyarakat yang concern pada
penyelamatan masa depan anak juga harus dilakukan. Meskipun upaya menghapus
praktik pekerja anak sama sekali adalah pekerjaan mustahil selama kemiskinan
mendera sebagian masyarakat kita, namun upaya untuk mengurangi angka pekerja
anak di negeri ini harus tetap dilakukan dengan sekuat tenaga. Semua anak di
negeri ini harus tumbuh dan berkembang secara wajar, dan memperoleh layanan
pendidikan yang optimal. Upaya ini harus dilakukan oleh kita semua, karena
masalah pekerja anak adalah masalah kita semua. (Wahyudi Oetomo)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar